INTERMESO

Dosakah Tak Bisa Punya Anak?

“Saya jadi merasa punya dosa dengan suami, orang tua dan lingkungan juga karena nggak bisa ngasih anak.”

Ilustrasi : Edi Wahyono

Minggu, 29 Agustus 2021

Orang bilang kehidupan sepasang pengantin baru merupakan masa paling indah. Seakan dunia ini hanya milik berdua. Awalnya Nurul, bukan nama sebenarnya, juga mengira demikian. Namun nampaknya Nurul salah besar. Baru satu bulan menjalani pernikahan dengan laki-laki pujaannya, Nurul sempat merasa bagai di atas awan. Hanya sesaat saja, selebihnya kehidupan pernikahan Nurul bagai berjalan di dalam neraka. “Pernikahan itulah awal kehancuran hidup saya,” ucap perempuan berusia 28 tahun mengawali kisahnya.

Nurul tak mengira dapat dipertemukan kembali dengan laki-laki yang sempat ia taksir waktu masih sekolah menengah atas. Siapa sangka pula, laki-laki itu mengajak Nurul melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Bak gayung bersambut, Nurul mengiyakan ajakan itu.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, hati Nurul sedang gundah karena ia sedang menyimpan sebuah rahasia besar. Rahasia itu pada akhirnya ia bawa sampai mereka berdua mengikat janji sehidup semati.

Salahnya saya yang nggak jujur sama pasangan. Saya pikir ya sudahlah, kalau sudah menikah mungkin dia akan terima. Ternyata pasangan saya nggak terima. Ternyata dia pengen banget punya keturunan. Itu yang paling dropnya di hidup saya, saya merasa bersalah sekali karena nggak jujur.”

Iustrasi kehamilan
Foto: Getty Images 

Hasil diagnosa dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2017 lalu, tepatnya setahun sebelum Nurul menikah, harusnya menjadi pertanda bahwa Nurul harus jujur dengan pasangannya. Namun, entah mengapa bibir Nurul terlalu berat untuk bicara. Dirinya masih dibayangi pengalaman pahit dengan pacar sebelumnya.

“Saya tertutup nggak mau kasih tahu soal kondisi saya karena dulu pernah gagal. Pacar sebelumnya nggak mau menerima kondisi saya. Sedangkan waktu itu saya udah usia 25 tahun, tuntutannya dan saya juga pengen cepat nikah,” kata Nurul.

Sejak bertemu dengan dokter di RSCM, Nurul akhirnya paham mengapa dirinya tak kunjung mendapatkan menstruasi seperti perempuan pada umumnya. Dokter memvonis Nurul mengidap sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH). Sindrom ini diambil dari nama masing-masing penemunya. Sindrom ini menyebabkan organ reproduksi internal Nurul, seperti rahim dan vagina tidak berkembang sejak saat lahir.

Karena kondisi ini, mustahil bagi Nurul untuk mengalami menstruasi atau memiliki keturunan. Walaupun Nurul tetap memiliki ovarium, telur dan hormon seks normal. Selain itu, sindrom MRKH Merupakan penyakit langka. informasi dari Kedokteran Nasional Amerika Serikat, MRKH hanya menyerang satu dari 5.000 wanita. Penyebabnya pun hingga kini belum diketahui.

Sepandai-pandainya Nurul bersembunyi, toh, akhirnya ketahuan juga. Kebenaran itu pun hanya sanggup Nurul sampaikan kepada suaminya melalui pesan singkat di aplikasi WhatsApp.

“Salahnya saya yang nggak jujur sama pasangan. Saya pikir ya sudahlah, kalau sudah menikah mungkin dia akan terima. Ternyata pasangan saya nggak terima. Ternyata dia pengen banget punya keturunan. Itu yang paling dropnya di hidup saya, saya merasa bersalah sekali karena nggak jujur,” sesal Nurul.

Dita Anggraeni, pendiri MRKH Indonesia
Foto: 20Detik

Selain itu, Nurul juga tidak tahan dengan pertanyaan perihal momongan yang selalu ditujukan kepadanya. Satu hari semenjak menikah, tiada hari tanpa ditodong pertanyaan ‘Sudah isi belum?’ “Saya jadi merasa punya dosa dengan suami, orang tua, dan lingkungan juga karena nggak bisa ngasih anak,” ucap Nurul dengan suara bergetar.

Tak sedikit perempuan yang mengidap penyakit atau kelainan pada rahim, kemudian dikucilkan keluarga dan masyarakat. Padahal, hal itu di luar kuasa si perempuan. Penelitian yang dilakukan dr. Dyana Safitri Velies, SpOG(K), Mkes, dokter spesialis kebidanan dan kandungan di Siloam Hospitals Lippo Village (SHLV) terhadap pasien MRKH juga menunjukkan hal yang sama. Pasien MRKH kerap dihadapkan pada situasi serupa.

“Paling membebani mereka karena tidak bisa punya anak dan tuntutan untuk punya anak. Karena di Indonesia budaya sangat kental yang menyebutkan bahwa perempuan harus punya anak. Perempuan tidak sempurna kalau belum melahirkan. Hujatan itu yang membuat pasien MRKH semakin berat,” kata Dyana saat dihubungi terpisah.

Setelah mengetahui fakta itu, suami Nurul marah besar. Suaminya bahkan sempat tak pulang ke rumah. Namun secercah harapan sempat datang saat Nurul dipertemukan dengan ibu hamil yang ingin memberikan anaknya untuk diadopsi. Sayangnya anak itu meninggal satu hari setelah dilahirkan. Bulan Agustus ini tepat satu tahun memperingati kepergian anak angkat Nurul.

“Padahal kita sudah senang banget. Kita pikir rumah tangga kita bakal bisa diselamatkan dengan kehadiran anak ini,” lirih anak pertama dari empat bersaudara ini.

Masih dalam suasana berkabung, suami Nurul pergi meninggalkannya begitu saja. “Dua minggu setelah anak itu meninggal, suami saya udah aja ninggalin saya sampai hari ini. Secara agama sekarang saya sudah cerai. Tapi secara hukum belum karena belum diurusin. Tapi saya sudah pasrah, sudah saya kasih semua data saya untuk urusin perceraian,” ungkapnya.

Meski masih teramat berat, Nurul mencoba kembali menata kehidupannya. “Yang bikin aku kuat ngejalanin hidup karena aku semakin mendekatkan diri sama Allah, banyak bertobat juga. Nikmat atau musibah itu cobaan. Kalau dikasih musibah tapi kita dekat dengan Allah malah jadi pahala buat kita,” ungkap perempuan yang pernah menjadi guru TK ini.

Dita, Wanita 'Istimewa' Terlahir Tanpa Rahim
Video: 20Detik

Selama mengalami cobaan bertubi-tubi, Dita Anggraeni merupakan teman curhat yang paling memahami kondisi Nurul. Dita juga merupakan pengidap sindrom MRKH sekaligus pendiri MRKH Indonesia. Sebuah support grup yang awalnya hanya berisi lima orang, kini menjadi hampir 100 orang.

“Anggota MRKH Indonesia punya cerita perjuangannya masing-masing. Ada yang pura-pura absen sholat supaya dikira lagi menstruasi. Ada juga yang saking stress-nya sampai mau bunuh diri,” ungkap Dita saat ditemui detikX Kamis pekan lalu.

Di tengah keterbatasan informasi mengenai sindrom MRKH yang membuat pengidapnya semakin kesulitan, di situlah MRKH Indonesia hadir. “Grup itu membantu banget karena kita bisa sharing, bisa nguatin mereka. Justru dari cerita mereka juga yang bikin saya semakin kuat.”

MRKH Indonesia tak hanya diisi perempuan senasib dari Indonesia, tapi juga dari negara lain seperti Brunei, Singapura dan Malaysia. Salah satunya penulis asal Malaysia, Wani Ardy. Wani dan Dita hanyalah segelintir pasien pengidap MRKH yang berani berbagi pengalaman pribadi dalam menghadapi sindrom langka ini.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE