INTERMESO

Getir Jemaah Haji Karantina di Pulau Onrust

Selama 20 tahun jemaah haji Indonesia pernah diwajibkan masuk karantina di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Bila sakit, jemaah akan dirawat hingga sembuh. Tapi yang tak punya biaya perawatan diharuskan kerja paksa.

Ilustrasi: Fuad Hashim

Kamis, 22 Juli 2021

Seluruh umat Islam di dunia mendambakan bisa melaksanakan rukun Islam kelima, yaitu berhaji ke Tanah Suci Mekah al-Mukaromah, Arab Saudi. Begitu halnya dengan muslim Indonesia, siap berkorban dengan jiwa-raga serta harta untuk mencapai tujuan itu, walaupun harus mengarungi luasnya samudra yang berjarak sekitar 7.902 kilometer jauhnya.

Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, transportasi menuju Tanah Haramain (Mekah-Madinah) hanya menggunakan kapal laut. Menempuh jarak ribuan kilometer melalui laut, tentu jemaah harus mempersiapkan mental dan fisik. Jemaah harus meninggalkan rumah berbulan-bulan dengan ancaman keamanan, baik alam maupun wabah penyakit.

Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, di Teluk Jakarta menjadi saksi getirnya perjalanan rombongan haji asal Indonesia menuju Mekah. Calon jemaah haji itu harus menjalani karantina di pulau yang dulu bernama Pulau Kapal pada era 1911 hingga 1933 tersebut. Sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda menetapkan ordonansi karantina (quarantine ordinantie) melalui Staatsblad 1911 Nomor 277, yakni aturan untuk mengawasi kesehatan para penumpang kapal guna mencegah penyakit menular.

Ketentuan ini berlaku untuk yang terkena penyakit pes, kolera, demam tinggi, dan penyakit menular lainnya. Lalu ditetapkan tiga pulau sebagai tempat karantina haji, yaitu Pulau Rubiah di Sabang (Aceh) serta Pulau Onrust dan Pulau Kuiper (Cipir) di Batavia (sekarang Jakarta). Di Pulau Onrust seluas 7,5 hektare, dibangun 35 barak untuk menampung 3.500 orang. Selama beberapa hari, mereka akan diperiksa atau dirawat di tempat itu.

“Jemaah haji yang dikarantina di Onrust adalah jemaah haji asal Pulau Jawa. Bilamana terdeteksi terkena wabah, jemaah akan dikarantina terpisah di Pulau Cipir untuk dilakukan perawatan,” ungkap Plt Kepala Unit Pengelola Museum Bahari, Berkah Shadaya, kepada detikX, Senin, 19 Juli 2021.

Jemaah haji tiba di Pulau Onrust sepulang dari Arab Saudi pada tahun 1929. 
Foto: ANRI 

Calon jemaah haji yang sehat langsung diizinkan berangkat menuju Mekah. Sedangkan jemaah yang sakit atau tertular wabah akan dirawat selama beberapa hari hingga sembuh. Namun, ironisnya, setelah dinyatakan sembuh, banyak jemaah haji yang tak mampu membayar biaya perawatan. Pilihannya adalah menjadi tenaga kerja paksa sebagai bayarannya.

“Sebagai gantinya, setelah sembuh dari sakit, membayarnya dengan ikut sebagai tenaga kerja paksa,” ujar Berkah tanpa merinci lebih lanjut bentuk kerja paksa tersebut.

Pada awal abad ke-20, dunia tengah dilanda berbagai wabah penyakit, tak terkecuali di negara Semenanjung Arab. “Tapi, karena minat haji orang Indonesia tinggi sekali, akhirnya kapal-kapal Belanda yang mengoperasikan keberangkatan jemaah itu mengikuti regulasi pemerintah internasional. Kalau sekarang ya WHO,” kata peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Dadi Darmadi kepada detikX, Senin, 19 Juli 2021.

Dadi menjelaskan setiap kapal bisa menampung sekitar 1.200 orang. Jumlah itu sudah termasuk nakhoda, anak buah kapal, dan tim dokter orang Eropa atau India. Setelah diizinkan berlayar, kapal bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Pulau Onrust, yang berjarak 10-15 kilometer. Di sanalah, jemaah diturunkan untuk disterilkan, diberi obat-obatan dan pengetahuan survival di laut, serta berolahraga.

“Kalau nggak ada gejala dan sehat, baru bisa berangkat lagi jemaah. Di situ ada dokternya,” terang Dadi, yang juga menjadi pengajar di Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Pulau Onrust

Foto : Muhammad Idris/detikcom

Jemaah haji saat menjalani karantina di Pulau Onrust tahun 1910

Foto : ANRI

Jemaah sepulang dari ibadah haji pada tahun 1929 hendak menjalani karantina di Pulau Onrust

Foto : ANRI

Bekas bangunan karantina calon jemaah haji di Pulau Onrust

Foto : Mitra Museum Jakarta 

Jemaah haji di Pulau Onrust

Foto : Mitra Museum Jakarta 

Tak cukup sampai di situ perjuangan jemaah haji Indonesia. Setelah berlayar berhari-hari, bahkan lebih dari satu pekan, jemaah digiring masuk karantina di Pulau Kamaran, Yaman, setiba di perairan Laut Arab. Jemaah haji asal anak Benua India, Hindia Belanda, dan Semenanjung Melayu menjalani karantina di pulau yang pernah dikuasai Turki Utsmani sejak abad ke-16 dan dikuasai Inggris pada 1915-1949 itu.

“Jadi jemaah haji dikarantina dua kali. Setelah keberangkatan dari Pelabuhan (Tanjung Priok) sudah dikarantina di Onrust dan sebelum sampai Jeddah dikarantina lagi,” ujar Dadi.

Setelah dinyatakan sehat, jemaah haji kembali berlayar menuju Laut Merah. Sesampainya di perairan Jeddah, ribuan calon jemaah haji diturunkan di tengah laut. Mereka melanjutkan perjalanan menggunakan perahu kecil (sekoci) menuju pelabuhan. Di pelabuhan mereka langsung ditemui utusan para syekh haji, yang nantinya akan menjadi pembimbing ibadah haji selama di Tanah Suci.

“Oleh para asisten syekh haji lalu dipertemukan dengan syekh haji. Oh ini namanya siapa? Asal dari mana? Oh ini syekhnya, ya. Kayak gitu. Kalau kita sekarang pembagian maktablah di Arab Saudi oleh penyelenggara haji Indonesia,” tutur Dadi.

Sementara itu, Martin van Bruinessen dalam bukunya ‘Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia’ terbitan 1995 menyebutkan rombongan haji asal Indonesia biasa datang ke Mekah beberapa hari menjelang Ramadhan. Mereka selalu mengikuti ibadah puasa dan salat tarawih di Masjidil Haram atau di zawiyyah (rumah) seorang syekh atau ulama setempat.

Rata-rata jemaah asal Indonesia tinggal empat sampai lima bulan di Hijaz (Mekah-Madinah) sebelum pulang. Setelah pelaksanaan ibadah haji, mereka langsung berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di Madinah. Selebihnya banyak yang mengikuti pengajian para syekh di Kota Mekah dan Madinah. “Para syekh memiliki wakil jawah (mukimin asal Indonesia) untuk melayani jemaah haji asal Nusantara dengan bahasa Melayu,” kata Martin.

Pulau Onrust dari ketinggian
Foto : Collectie Wereldculturen

Pada awal abad ke-20, jumlah jemaah haji asal Indonesia terus meningkat seiring dengan tingkat kesehatan yang membaik. Walau begitu, jumlah jemaah haji yang pulang hampir sepertiga atau setengah dari total jemaah haji ketika berangkat. Di antaranya banyak yang memutuskan menetap selama satu hingga tiga tahun untuk belajar kepada para syekh dan menetap selamanya.

Konsul Belanda di Jeddah, Charles Olke van der Plas, melaporkan, pada 1930-an jemaah haji asal Indonesia yang menetap sekitar 10 ribu orang dari total jumlah yang berangkat sebanyak 30 ribu orang. Sementara itu, rombongan haji asal Indonesia pada 1911 berjumlah 18.400 orang, tahun 1920-an berjumlah 28 ribu orang, dan pada 1930-an ada 17 ribu orang. Pada saat itu, rombongan haji Indonesia merupakan yang paling besar.

“Sekitar tahun 1930, ketika keadaan kesehatan sudah lebih baik daripada abad sebelumnya, setiap tahun sekitar 10 persen dari jemaah haji Indonesia meninggal dunia selama mereka di Tanah Suci,” ungkap Martin.

Kebijakan pengarantinaan jemaah haji di Pulau Onrust dan tempat lainnya di Indonesia saat itu dianggap tak manusiawi. Perserikatan Muhammadiyah mendirikan Biro Penolong Haji pada 1912. Lalu sejumlah ulama berkumpul di Surabaya dan memutuskan mengirim delegasi untuk mendapat informasi persyaratan haji pada 1926. Akhirnya embarkasi Pulau Onrust pada 1933 dipindahkan kembali ke Pelabuhan Tanjung Priok agar lebih manusiawi.


Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE