INTERMESO

Pendekar Hukum
dari Mandar

Baharuddin Lopa adalah sosok jaksa yang langka. Dia dikenal sebagai jaksa yang berani dan berintegritas.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 18 Juli 2021

“Saya akan kejar sampai ke liang lahat!” ucap Baharuddin Lopa dalam logat khas Mandar, Sulawesi Barat, seusai salat Jumat di Masjid Baitul Adli di kompleks Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pertengahan Juni 2001. Sosok yang dikenal sebagai pendekar hukum itu baru beberapa hari dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Jaksa Agung menggantikan Marzuki Darusman pada 6 Juni 2001.

Beberapa pemburu berita yang mengerubunginya, termasuk detikcom, saat itu sedang menanyakan kasus megakorupsi yang tak kunjung beres ditangani Kejagung. Sejak menjadi Jaksa Agung, sosok kelahiran Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, 27 Agustus 1935, tersebut memang bergerak cepat dengan memerintahkan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Chalid Karim Leo melacak keberadaan sejumlah koruptor di luar negeri.

Kejagung antara lain menelusuri keberadaan bos Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, yang kabarnya tengah dirawat di Jepang. Saat itu, Sjamsul ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang menelan kerugian negara sebesar Rp 7,28 triliun. Juga memburu keberadaan Prajogo Pangestu, bos Barito Group, yang tengah dirawat di Singapura.

Prajogo ditetapkan sebagai tersangka kasus penggelembungan dana proyek hutan tanaman industri melalui PT Musi Hutan Persada di Sumatera Selatan, yang diduga merugikan negara senilai Rp 331 miliar dan kasus penyalahgunaan dana reboisasi senilai Rp 1 triliun. Lopa juga memerintahkan anak buahnya melakukan pencekalan terhadap bos PT Texmaco, Marimutu Sinivasan, dalam kasus kredit macet di Bank Negara Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia sebesar Rp 29,04 triliun. Saat itu Sinivasan menyerahkan perusahaannya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Sayangnya, penyidikan kasus terhadap tiga konglomerat itu sempat ditangguhkan atas perintah langsung Gus Dur. Kendati demikian, Lopa terus membidik sejumlah konglomerat, termasuk tokoh politik, yang terlibat kasus korupsi. Yang diincarnya adalah Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR Arifin Panigoro, yang juga pendiri PT Medco Group. Ia diduga menyelewengkan dana PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (BPUI) sebesar US$ 75 juta.

Baharuddin Lopa
Foto : Dikhy Sasra/detikcom

Lalu menyidik kasus penggelapan dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 90 miliar yang melibatkan politikus senior Partai Golkar Akbar Tandjung. Politikus Golkar lainnya yang dibidik adalah Nurdin Halid terkait kasus dana Simpanan Wajib Khusus Petani (SWKP) Cengkih, yang kasusnya sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang pada 1999. Termasuk berani mengusut kasus yang melibatkan mantan presiden Soeharto. “Saya tidak boleh memilih-milih. Kasus yang belum selesai, diselesaikan. Bagi saya, itu semua prioritas,” ujar Lopa.

Namun, gebrakannya memberantas korupsi harus terhenti satu bulan sejak Lopa dilantik menjadi Jaksa Agung. Tersiar kabar, Lopa meninggal dunia secara mendadak di Rumah Sakit Al Hamidi, Riyadh, Arab Saudi, pada 3 Juli 2001 pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB. Ia mengalami serangan jantung dan tutup usia ketika usianya menginjak 66 tahun.

Ini hari Minggu. Ini juga bukan acara dinas. Jadi saya tak boleh datang dengan mobil kantor."

Dari catatan detikX, Lopa memang dikenal sebagai sosok pekerja keras. Selama menjadi Jaksa Agung, ia membuat kewalahan para stafnya, termasuk dua staf ahlinya, yaitu Andi Hamzah (kini guru besar hukum pidana Universitas Trisakti) dan Achmad Ali (guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin). Semua jaksa, terutama yang bekerja di Jamintel dan Jampidsus, tak ada yang berani pulang sebelum Lopa selesai bekerja hingga pukul 23.00 WIB.

“Saya mengenal Baharuddin Lopa saat usia sekitar 20 tahun, tapi saat itu saya belum dekat dengan dia. Saya mengenal dia sebagai orang yang ekstrem dan jujur,” ungkap Andi Hamzah saat peluncuran buku biografi Baharuddin Lopa di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, pada 16 Juli 2014.

Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Chairuman Harahap menceritakan sempat diminta Lopa agar dirinya dipertemukan dengan mantan Kepala Staf Angkatan Darat dan Menpangab Jenderal (Purn) AH Nasution. Pertemuan berlangsung tertutup di rumah Nasution di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. “Besoknya saya tanya ke Pak Nasution, yang diomongin Pak Lopa itu apa. Pak Nasution bilang, dia minta saya memimpin pemberontakan karena dia galau terhadap negara ini. Saya bilang, saya tidak punya pasukan lagi,” kenang Chairuman.

Enang Supriyadi Syamsi, mantan ajudan Lopa, mengakui kejujuran dan kerendahan hati mantan atasannya tersebut. Lopa pernah memarahi Kepala Lapas Cipinang terkait kaburnya seorang tahanan narapidana. Suatu pagi, Lopa marah besar kepada Kepala Lapas Cipinang, Jakarta Timur, terkait kaburnya seorang narapidana. Tapi malamnya, Lopa memintanya menelepon Kalapas itu untuk meminta maaf.

Enang sangat ingat ketika atasannya itu meminjam sepatu dan kausnya karena lupa membawa sepatu. Lopa tak sungkan meminjam kepada bawahannya itu. “Suatu ketika saya pernah diajak Pak Lopa untuk ketemu orang. Saat itu lupa, dia pakai sandal jepit, lalu dia akhirnya memakai sepatu saya sampai kaus kaki saya, dan akhirnya bertemu dengan orang itu,” papar Enang.

Baharuddin Lopa (kedua dari kiri) berfoto bersama wartawan usai serah terima jabatan Jaksa Agung dari Marzuki Darusman (tengah) pada Juni 2001. 
Foto : Istimewa

Dikutip dari buku Komisi Pemberantasan Korupsi berjudul ‘Orange for Integrity Juice, Belajar Integritas dari Tokoh Bangsa’ yang diterbitkan pada 2014, Lopa disebutkan tak hanya bersikap tegas dalam urusan pekerjaan di kantor. Sikap tegasnya juga ditunjukkan kepada keluarganya. Lopa selalu mengingatkan istri dan ketujuh anaknya supaya tak menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi.

Diceritakan, ketika Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan pada 1983, ia diundang sebagai saksi pernikahan oleh kerabatnya, Riri Amin Daud. Di acara pernikahan, tuan rumah sudah siap menyambut kedatangan Lopa. Mereka menanti kedatangan mobil dinas Lopa berpelat DD-3 berhenti di depan pintu.

Namun, lama ditunggu, mobil itu tak kunjung tiba dan tuan rumah mulai resah. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara Lopa dari dalam rumah. Ia bersama istrinya, Indra Wulan, datang dengan menumpang pete-pete, angkutan kota khas Makassar. “Ini hari Minggu. Ini juga bukan acara dinas. Jadi saya tak boleh datang dengan mobil kantor,” terang Lopa.

Selain urusan mobil dinas, Lopa memantau ketat penggunaan telepon di rumah dinasnya. Ia selalu mengunci telepon di rumah dinasnya, dan memasang telepon koin agar pemakaian terpantau. Sikapnya yang tegas dan tak kenal kompromi itu juga ditunjukkan Lopa saat mengusut kasus pengadaan fiktif Al-Qur’an senilai Rp 2 juta yang melibatkan Kepala Kantor Wilayah Agama Sulsel KH Badawi, yang tak lain adalah teman akrabnya.

“Pak Lopa dengan Pak KH Badawi saat itu berteman akrab. Hampir setiap malam Jumat saya disuruh menjemput Pak KH Badawi untuk baca doa selamat di rumah Pak Lopa,” terang eks ajudan Lopa bernama Pariaman.

Lopa juga tidak pernah mau menerima hadiah dari sejumlah teman, kerabat, atau pejabat lainnya. Ia tahu, saling memberi hadiah untuk menyenangkan orang sangat dianjurkan di dalam agama. Tapi, ketika dirinya menjadi pejabat negara, pemberian hadiah dikhawatirkan akan ada udang di balik batu. “Ia selalu mengatakan kepada si pemberi hadiah bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah karena memiliki gaji. Yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah,” ucap Lopa yang dituturkan kembali oleh Pariaman.


Penulis: M. Rizal Maslan 
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE