Ilustrasi: Edi Wahyono
Minggu, 25 April 2021Di tengah sesaknya KRL Commuter Line jurusan Bogor-Jakarta pada jam berangkat kerja, Vera masih sempat-sempatnya mengunggah sebuah cuitan di Twitter bertuliskan TGIM alias “Thank God it's Monday!” Cuitan itu mendatangkan reaksi beragam dari temannya. “Rajin banget nih anak satu,” balas temannya. Ada pula yang berkomentar saking herannya. “Nggak kebalik? TGIF kali.”
Di kalangan teman-temannya, Vera dikenal sebagai penggila kerja. Tidak heran jika Vera sangat menantikan datangnya hari Senin. Duduk berjam-jam di kubikel salah satu perusahaan audit The Big Four tempatnya bekerja merupakan sebuah kesenangan bagi Vera. “Mungkin buat sebagian orang ini aneh. Tapi aku senang kalau dilihat selalu produktif dan bekerja keras,” ucap Vera.
Vera tidak sedang berpura-pura terlihat sibuk di media sosial. Saat musim sibuk seorang auditor tiba misalnya, laporan keuangan memang harus segera disetor. Vera pun dengan sukarela bekerja lebih dari 8 jam sehari. Sering kali sampai kehabisan kereta yang saat itu hanya beroperasi sampai pukul 00.30. Alhasil Vera harus menginap di kantor atau pulang dengan menggunakan taksi atau angkutan online.
“Untungnya di kantor aku ongkos masih diganti kalau lagi peak season dan harus lembur,” kata anak pertama dari dua bersaudara ini.
Baca Juga : Kerja Keras Bagai Kuda Ala Elon Musk
Ilustrasi para pekerja menjejali KRL Jakarta-Bogor saat jam pulang kerja.
Foto: Dok Istimewa
Vera punya pemikiran untuk selalu bekerja keras. Apalagi setelah lulus kuliah dan diterima untuk pekerjaan pertamanya di perusahaan auditor ini. Vera masih teringat dengan komentar negatif dari sanak saudaranya yang menghina keluarganya. Saat itu keuangan keluarganya tengah dilanda kesulitan.
“Aku selalu ingat omongan mama, ‘kerja keras sampai sukses, nak, supaya nggak dihina sama orang lain,’” kata Vera menirukan ucapan sang ibu. Nasihat itu begitu melekat di benak Vera sampai hari ini.
Mau izin cuti malah dibilang, ‘Lah, kan kerjanya di rumah? Masa masih mau cuti juga?,’ belum lagi meeting online yang nggak ada habisnya."
Namun, tak dipungkiri, di tengah motivasinya untuk menjadi sukses dengan bekerja tanpa mengenal waktu, ada keinginan Vera untuk menunjukkan eksistensi diri ke orang lain. Makanya perempuan berusia 26 tahun ini sering kali mengunggah urusan kerjaan di media sosial. Saban hari pun Vera menunjukan bergelas-gelas kopi yang ia minum saat lembur.
“Kalau soal ini nggak ada alasan khusus. Pokoknya aku melakukan apa saja yang penting terlihat kerja keras. Senang aja rasanya kalau orang tahu aku rajin kerja,” tawa Vera yang sudah bekerja di perusahaan auditor selama empat tahun.
Selain merelakan waktu bersantai, Vera jadi sering menomorduakan kesehatan sendiri. Vera tidur di bawah 8 jam demi menyelesaikan deadline, jarang berolahraga dan pola makan tidak teratur. Seakan-akan Vera yakin akan sehat selama-lamanya.
Tanpa disadari, Vera terjerumus dalam hustle culture, sebuah gaya hidup yang membuat seseorang bekerja terus-menerus tanpa kenal waktu. Kapan pun, di mana pun. Teknologi dan media sosial berhasil membuat budaya gila kerja menjadi tolok ukur kesuksesan yang baru.
Budaya gila kerja menyebabkan karyawan jarang memiliki waktu untuk bersantai dan berolahraga
Ilustrasi: Edi Wahyono
Co-founder Reddit, Alexis Ohanian menyebutkan, ide hustle culture yang mementingkan pekerjaan diatas segalanya merupakan sebuah fenomena toxic. Kenyataannya lebih banyak merugikan pengusaha atau pekerja muda daripada membuatnya lebih sukses atau hidup mapan.
Alexis melanjutkan membudaya gila kerja malah mengganggu mindset anak muda dalam berkarir. “Gagasan menderita, bekerja keras, bekerja setiap hari, kalian gak cukup bekerja keras, ini budaya beracun dari perkembangan teknologi saat ini,” ungkapnya dikutip dari CNBC.
Berbeda dengan Vera, Tommy Wijayanto yang bekerja sebagai analis data di sebuah perusahaan swasta harus terjebak dalam hustle culture imbas dari pandemi COVID-19. Sudah satu tahun lebih Tommy dipaksa bekerja di rumah. Hanya baru belakangan ini Tommy diminta hadir di kantor seminggu satu kali.
Awalnya, dalam bayangan Tommy, Work From Home alias WFH akan sangat menyenangkan. Tommy tidak perlu bermacet-macetan di tengah jalanan ibu kota. Istilah “tua di jalan” barangkali sudah tidak relevan.
Namun, ternyata itu semua hanya ada dalam angan Tommy dan para karyawan lainnya. Realitanya, selama WFH, Tommy bisa bekerja lebih dari 8 jam dalam sehari. Ia mulai bekerja sebelum pukul 09.00 dan membawa pekerjaannya sampai ke kamar tidur. Pada hari libur atau waktu istirahat pun ia tetap diteror atasan untuk sekadar update report.
“Mau izin cuti malah dibilang, ‘Lah, kan kerjanya di rumah? Masa masih mau cuti juga?,’ belum lagi meeting online yang nggak ada habisnya,” keluh Tommy yang baru saja menikah ini. Ia justru menginginkan rutinitas bekerja kembali normal. “Kalau bekerja di kantor jelas jam masuk dan pulangnya. Sedangkan di rumah batasan itu nggak ada.”
Work From Home membuat pekerjaan semakin menumpuk
Foto : Twitter via Bored Panda
Meski tengah melalui masa pandemi yang serba tak pasti, karyawan seperti Tommy dituntut untuk bisa beradaptasi dan produktif. Dengan segala aktivitas yang berubah menjadi dilakukan secara daring. Belum lagi pekerjaan yang bertambah banyak.
Terjebak dalam situasi ini untuk sebagian orang bisa menimbulkan stress sampai gangguan pada kesehatan mental. Tuntutan untuk produktif saat pandemi juga menyebabkan timbulnya rasa bersalah jika orang menghabiskan waktu untuk bersantai atau sekadar beristirahat.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho