Foto: Masnuah, pejuang hak-hak perempuan nelayan di pesisir Demak (Pradita Utama/detikcom)
Selasa, 23 Maret 2021Hari itu, Selasa, 2 Maret 2021, sebelum azan subuh berkumandang, Masnuah, 47 tahun, sudah bersiap. Ia hendak mengajak detikX mengunjungi salah satu kelompok nelayan perempuan di Dukuh Tambak Polo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Butuh waktu sekitar 1 jam 30 menit perjalanan untuk tiba ke lokasi di pesisir.
Akses perjalanan menuju lokasi yang tidak mudah membuat kendaraan roda empat yang Masnuah tumpangi harus terlebih dahulu menerobos genangan air rob atau banjir yang diakibatkan naiknya permukaan air laut. Saat itu, ketinggian air mencapai hingga 40 cm atau setara dengan ketinggian ban mobil.
Air rob tersebut sudah menjadi langganan bagi warga pesisir. Biasanya air akan surut saat matahari pagi tiba dan kembali pasang saat matahari akan terbenam. Saat pasang, tinggi air rob bahkan bisa mencapai 1,5 meter hingga menyebabkan akses jalan ke desa pesisir hanya bisa dilewati dengan perahu.
Masnuah dan beberapa nelayan pesisir Demak
Foto: Pradita Utama/detikcom
Setelah menerjang air rob, Masnuah harus menumpangi kendaraan roda dua sekitar 15 menit melewati jalan kecil berliku, sebelum akhirnya tiba di Dukuh Tambak Polo. Dukuh ini menjadi saksi sejarah Masnuah dalam memperjuangkan nelayan perempuan. Ia membentuk Puspita Bahari, komunitas perempuan nelayan dan menjadikan rumah milik Siti Darwati sebagai sekretariat.
Hari itu Masnuah bertemu dengan Siti Darwati, Siti Bauzah, Nur Khafidhoh, dan Nurikah. Mereka merupakan beberapa perempuan tangguh yang pekerjaannya sudah diakui negara sebagai nelayan perempuan yang semula ditulis di Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai ibu rumah tangga.
Di balik pengakuan itu, ada perjuangan panjang yang ia lalui bersama kelompok Puspita Bahari. “Perjalanan itu nggak mudah, karena untuk mengubah identitas itu, harus ada surat keterangan dari pemerintah desa untuk menerangkan bahwa perempuan itu adalah nelayan, dan pekerjaannya nelayan, tapi dari desa sendiri dan pihak-pihak pemangku kebijakan lainnya waktu itu belum mendukung,” cerita Masnuah kepada detikX beberapa waktu lalu.
Masnuah pun mengisahkan, kala itu, siapa pun yang terlibat di gerakan Puspita Bahari mendapat pelabelan jadi perempuan tak baik yang menentang budaya patriarki. Bahkan organisasi besutannya itu kerap dianggap sebagai sebuah gerakan yang melawan kodrat karena mengajari para perempuan untuk berani.
“Bahwa perempuan yang diyakini masyarakat kodratnya itu di rumah, merawat suami-anak, atau mengurus rumah tangga. Padahal perempuan harusnya memiliki hak yang sama, bisa memiliki kesempatan organisasi, bekerja, usaha dan sebagainya demi kemandirian ekonomi,” ungkap pendiri Puspita Bahari ini.
Meski mendapat stigma negatif seperti itu, Masnuah tak gentar untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan. Proses panjang selama sembilan bulan pun akhirnya membuahkan hasil. Pada 2017, 32 anggotanya diakui menjadi nelayan perempuan, sehingga aktivitas mereka dijamin oleh negara dan berhak mendapat asuransi.
Namun perjuangannya tidak sampai di situ. Selama dua tahun setelah para nelayan perempuan diakui, pihaknya masih harus mengadvokasikan kartu asuransi nelayan yang menjadi hak para perempuan dalam menggantungkan hidupnya di lautan. Selama dua tahun itu pula, nelayan perempuan masih melaut dengan perasaan waswas.
“Dua tahun kami mengadvokasi kartu asuransi nelayan, baru akhir 2019 Bu Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan) sendiri yang menyerahkan kartu asuransi itu terhadap 32 orang perempuan nelayan, dan itu pertama kalinya di Indonesia, jumlah terbanyak pengakuan identitas itu, baru pertama kalinya di Demak," kenang Masnuah.
Salah satu produk makanan olahan ikan Puspita Bahari
Foto: Pradita Utama/detikcom
Perbincangan dengan Masnuah berlanjut di atas kapal kecil milik Siti Darwati berukuran di bawah 10 GT (gross ton). Masnuah mengajak detikX melihat secara dekat aktivitas perempuan dalam menangkap ikan di laut. Ia menuturkan biasanya aktivitas nelayan perempuan mulai tampak sebelum fajar, tepatnya pukul 02.00-03.00 WIB. Para nelayan pun kerap kali harus beribadah di atas perahu.
Tidak seperti nelayan laki-laki, nelayan perempuan biasanya harus bekerja dengan tiga pakaian, di antaranya untuk ibadah, menjaring ikan, dan memasarkan ikan. Adapun pembagian tugasnya, nelayan laki-laki memegang kemudi, sementara menebar dan menambat jaring menjadi tugas perempuan. Tapi bisa juga sebaliknya.
Masnuah kemudian kembali bercerita, sejak kecil ia menjadi anak seorang nelayan. Ayah hingga banyak saudaranya adalah nelayan. Dari situ, dia melihat banyak perempuan yang tak bersekolah tinggi, termasuk dirinya sendiri, sehingga ada ketidakadilan yang dirasakan olehnya saat itu.
“Saya hanya lulusan SD sekitar tahun 1987-an. Karena posisi keluarga saat itu tidak sampai berpikir anaknya sampai sekolah tinggi. Jadi sebelum aktif di Puspita Bahari, saya bekerja jadi buruh pengolahan ikan,” tuturnya.
Masnuah menilai, sejak ia kecil, bekerja, kemudian menikah, kondisi sebagian perempuan di pesisir tak mengalami perubahan yang signifikan. Perempuan tak berdaya menghadapi kerasnya lingkungan nelayan di tengah impitan ekonomi sehingga banyak yang mengalami KDRT, pelecehan seksual, nikah muda, dan lainnya.
Melihat fenomena itu, ia gelisah dan mulai merangkul ibu-ibu pesisir guna memulai gerakan Puspita Bahari pada 2005. Namun cibiran dan hinaan ia terima karena tak mudah mengajak perempuan pesisir untuk turut serta dalam gerakannya. Budaya menjadi salah satu faktor kendalanya.
Pada 2007, Puspita Bahari ditinggalkan satu per satu oleh anggotanya. Meski menjadi titik terendahnya, kala itu Masnuah bangkit dan mulai berkenalan dengan beberapa organisasi lain, seperti LBH Semarang, LBH Apik, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Momentum itu ia gunakan untuk merancang penguatan ekonomi, sehingga tak hanya fokus di gerakan perlawanan diskriminasi.
“Kenapa masuknya pertama kali itu dari pemberdayaan ekonomi, itu cukup membantu, karena tanpa ada ekonomi yang mendukung, tadinya perempuan ini dilarang keluar gabung ke Puspita Bahari, dianggap nggak ada manfaatnya. Tapi dari gerakan ekonomi itu, akhirnya keluarga mereka juga ikut merasakan imbasnya,” tutur Masnuah.
Pada 2009, berbekal berbagai pelatihan yang diikuti, Puspita Bahari mulai produksi kerupuk ikan, salah satunya ikan sriding krispi. Pihaknya menyulap ikan yang semula tak laku di pasaran menjadi makanan yang memiliki nilai tambah hingga mampu membantu menggenjot perekonomian masyarakat.
“Jadi ikan sriding ini sekarang harganya membantu ekonomi nelayan juga, nelayan tangkap dulu rugi kalau ikan ini, nggak laku. Dengan adanya ikan ini dibuat makanan seperti ini, sehingga bukan Puspita Bahari saja yang mengolah ikan ini, tapi nelayan juga merasa diuntungkan juga dari kenaikan ikan ini yang sekarang sampai Rp 14 ribu per kilogram," jelasnya.
Diketahui, kini Puspita Bahari memiliki anggota lebih dari 100 orang. Semua anggota tersebut tersebar di tiga desa, yakni Desa Morodemak, Desa Purworejo, dan Margolinduk. Ketiga desa tersebut kini bahkan punya sentra olahannya sendiri, mulai perikanan tangkap, olahan hasil laut, sentra ikan kering, dan sentra terasi.
Selain itu, Puspita Bahari kerap mendapatkan pelatihan usaha dari Rumah BUMN BRI. Pelatihan tersebut mencakup desain kemasan hingga pengoptimalan bisnis produk UMKM. Kelompok ini juga mendapat bantuan CSR dari Bank BRI berupa alat pendukung produksi antara lain spinner, sealer, kompor, hingga wajan serbaguna.
Hidayah, 42 tahun, penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya, pada mulanya hanya ibu rumah tangga biasa, yang kesehariannya mengurus anak. Tapi kini mampu berdikari secara ekonomi lewat usaha sentra olahan hasil laut Puspita Bahari, seperti ikan sriding krispi, rempeyek, hingga kerupuk ikan.
“Saya bangga karena dulunya saya ndak bisa apa-apa, sekarang saya jadi bisa menyekolahkan anak saya sampai kuliah dan bisa membangun rumah sendiri di Jepara, membeli tanah juga. Itu usaha dan keringat sendiri, tanpa suami, jadi hasil ini saya sedikit demi sedikit saya tabung juga,” jelas Dayah.
“Apalagi setelah ada bantuan peralatan produksi menjadi lebih meningkat. Kalau dulu kan produk saya masih ada minyaknya jadi kalau setor ke mana-mana setelah 1 bulan itu akan dikembalikan, setelah ada bantuan produknya bisa jadi lebih tahan lama dan bisa tahan sampai 3 bulan,” terang Dayah.
Sementara itu, Pemimpin BRI Cabang Demak Muhammad Nizar menilai Masnuah merupakan tokoh masyarakat Puspita Bahari yang terkenal di lingkungan pesisir Demak. Dia tidak hanya mengadvokasi kepentingan perempuan, tapi juga memperkuat ekonomi para perempuan pesisir Demak.
“Kita menilai dia itu local heroes yang bisa bantu komunitas nelayannya di Demak. Jadi tidak hanya dapat ikan kemudian dijual, tapi mereka olah lagi. Itu keren, apalagi perempuan. Biasanya perempuan kan tidak mau tapi mereka berani,” ungkap Nizar.
Penulis: Alfi Kholisdinuka
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban