Foto: Perajin sedang memasak cendol dawet di Lasah (Rengga Sancaya/detikcom).
Selasa, 18 Mei 2021Cendol dawet
Cendol, dawet seger
Cendol… cendol… dawet… dawet…
Cendol, dawet seger, piro
Lima ngatusan, terus ora pakai ketan
Ji, ro, lu, pat, enam, pitu, wolu
Tak-tik-tak-tik-tak-tung
Lolo, lolo, yes.
Siapa saja pasti langsung terhanyut oleh ingar-bingar sisipan lirik cendol dawet dalam lagu milik maestro campursari Didi Kempot. ‘Pamer Bojo’ adalah salah satu lagu yang mengandung lirik cendol dawet tersebut, sebuah ‘lagu kebangsaan’ buat para Sobat Ambyar yang sedang patah hati.
Jauh dari ramainya lagu tersebut, tepatnya pelosok Dusun Lasah, Desa Tawangargo, Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Supendi, 48 tahun, sejak pagi hari sudah sibuk di dapurnya yang sederhana. Bersebelahan dengan kandang sapi, api di perapian kayu sudah menjilat-jilati panci berisi adonan dawet sagu.
Asap mengepul dan membubung hingga membuat dua ekor sapi di sebelahnya tak nyaman. Tapi Supendi bergeming. Fokusnya cuma mengaduk-aduk sagu hingga terasa ringan. Bulir peluh mulai jatuh satu per satu. Disekanya keringat itu dengan tangannya sembari mengotak-atik kayu yang hampir habis dilalap api di perapian.
Setelah adonan dirasa cukup matang, Supendi menyaring dan menekannya hingga berbentuk panjang-panjang berjatuhan ke dalam ember. Di ruang sebelah, sang istri tak kalah gesit. Dia campur berbagai cairan menjadi satu. Santan dan gula merah berpadu dengan adonan dawet sagu milik Supendi.
Selepas itu, dibantu istri dan anaknya, Azizah, Supendi sibuk memasukkan racikan cendol dawet sagu ke dalam gerobaknya yang nangkring di motor yang meluncurkan Supendi ke Pujon, wilayah penjualan dawetnya selama hampir 30 tahun.
Supendi, salah seorang pedagang cendol dawet Lasah
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Supendi bersyukur tidak lagi memikul berat cendol dawet setelah hadirnya Bank BRI di desanya. Supendi dan rekan-rekan penjual cendol dawet lain telah menerima CSR berupa rombong dan pinjaman lunak hingga dirinya bisa membeli motor dengan cara mencicil.
Belum sampai situ saja. Malam itu di kediaman Supendi, beberapa pegawai Bank BRI mendatanginya. Dia pun mengajak serta puluhan pedagang cendol dawet sagu ke rumahnya. Meski sudah pukul 21.00 WIB, bapak-bapak itu tetap ramai berdatangan. Mereka dengan tertib duduk melingkari tiga pegawai Bank BRI.
Tak lama berselang, dikeluarkan mesin cup sealer. Nindy, sang mantri BRI, lalu menyalakan dan mencoba menunjukkan cara menutup cup cendol dawet dengan mesin berkelir biru tersebut. “Tunggu sampai panas dulu, ya, Pak. Kalau lampu sudah menyala, Bapak bisa tarik tuasnya,” Jegrek! “Itu tandanya bisa mulai dipakai. Jangan sampai belum panas sudah ditarik, nanti bocor,” jelas Nindy. Manggut-manggut bapak-bapak itu dibuatnya.
Mesin cup sealer itu adalah barang baru bagi 35 pedagang cendol dawet sagu di Dusun Lasah. Dan apa yang dilakukan Nindy malam itu adalah bagian dari pelatihan untuk memodernkan rupa cendol dawet sagu tradisional khas Lasah. Selain itu, kemasan dengan cup sealer ini membuat cendol dawet lebih higienis dan kekinian.
“Misalkan dawet harganya Rp 2.000, kalau dikemas dengan cara yang bagus, nilainya bisa lebih tinggi dari itu. Meski sama berat, jenis, dan takarannya, nilai jualnya lebih tinggi. Tapi kualitas harus tetap dijaga. Pemasaran juga lebih ditingkatkan. Mungkin dari support kita yang seperti ini mereka juga harus lebih support lagi terhadap perekonomian mereka sendiri,” kata Nindy kepada detikX selepas pelatihan.
Para pedagang cendol dawet khas Lasah ini juga makin girang saat Kepala Unit BRI Karangploso Cabang Soekarno-Hatta, Pramono Hadi Putro, menyerahkan secara simbolis batok-batok kelapa yang cantik sebagai wadah untuk cendol dawet.
Naskah: Mustiana Lestari
Ilustrasi: Tim Infografis
“Harapan kami adalah dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yang ada di Dusun Lasah. Dengan CSR tersebut mungkin bisa meningkatkan nanti omzet, penjualan, dan wilayah penjualan yang lebih bebas dan luas. Yang selama ini lokal saja di Karangploso, mungkin dengan CSR bisa berjualan di luar kota atau mungkin tingkat nasional,” kata Pramono.
Seusai pelatihan, Nindy menyatakan menyerahkan tugasnya kepada Manda Handika Chandra, 28 tahun, untuk meneruskan tongkat estafet melakukan pembinaan terhadap UMKM khas dusun ini. Manda akan menjalankan tugas bukan hanya mengembangkan ekonomi paguyuban cendol dawet ini, tetapi juga memberikan edukasi literasi keuangan, sehingga mereka bisa memanfaatkan layanan perbankan dengan baik. Bahkan kelompok klaster ini sudah dua tahun mampu disiplin menabung dalam program Stroberi Tagihan.
Kepala Cabang BRI Malang Soekarno-Hatta Hendi Winata menjelaskan Stroberi Tagihan merupakan aplikasi yang dikembangkan dari BRI. Ia mengilustrasikan aplikasi ini serupa dengan bentuk arisan, tapi dengan kemasan yang lebih aman karena uang tak lagi disimpan dalam bentuk tunai.
“Dengan Stroberi Tagihan ini, kita bisa upload ke sistem dan ambilnya ini nanti melalui rekening. Ini sudah kita jalankan, rupanya sangat menarik bagi masyarakat karena belum pernah terpikirkan bagi mereka. Ini juga sudah kita tularkan ke masyarakat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” terang Hendi.
Walau mereka merupakan pekerja informal, nyatanya mereka mampu mengikuti program ini meski tanpa mobile banking di Android. Supendi dan kawan-kawannya cuma punya handphone jadul yang layarnya masih hitam putih. Namun, saat membayar Stroberi Tagihan, mereka senang karena ada notifikasi melalui SMS setiap kali mereka membayar.
Rony Yohanes, 35 tahun, rekan Supendi, mengaku awalnya ikut-ikutan program Stroberi Tagihan ini agar merasa guyub dengan para pedagang lainnya. Kendati demikian, ia merasakan sendiri keuntungan dari adanya tabungan yang bisa bermanfaat untuknya pada jangka panjang.
Produk minuman cendol dawet khas Lasah yang sudah dikemas dengan cara modern
Foto : Rengga Sancaya/detikcom
“Lewat sini kan kita wajib nyisihin, jadi secara nggak langsung belajar mengelola keuangan juga. Apalagi kayak saya pedagang memang nggak punya THR. Kalau nggak direncanakan dari awal, ya nggak bisa. Ya, sudah memanfaatkan, terlebih ada yang memfasilitasi. Alhamdulillah ada fasilitatornya dari BRI,” imbuh Rony.
Rony mengaku akan kembali mengikuti program Stroberi Tagihan jika periode pertama ini berakhir. “Mau ikut lagi pasti, enaknya buat jangka setahun baru diambil, jadi saat kumpul terasa banyak,” tegas Rony.
Manda ataupun Nindy tidak bekerja sendiri. Di belakang mereka ada agen-agen BRILink yang menyediakan beragam rupa transaksi tanpa warga desa harus ke bank. Anang Hardiansyah, agen BRILink di Dusun Lasah, bilang, di samping modal dari BRI, tabungan para penjual juga berjalan.
“Dari mulai rombong diselempiti dompet (kantong Simpedes), juga ada juga yang nabung di rumah, kalau sudah kumpul, dibawa ke sini, ditabung ada. Ada juga yang sebulan sekali ada. Macam-macam sesuai manajemen keuangan masing-masing orang,” kata Anang.
Perputaran uang di sini pun bisa mencapai puluhan juta rupiah. Meski perlahan, dengan literasi keuangan BRI, ekonomi para pedagang cendol dawet sagu khas Lasah ini membaik. Buktinya bukan cuma dari harta benda mereka yang bertambah, bahkan kini nyaris tak ada lagi pedagang cendol dawet yang lelah membawa pikulan. Semua tergantikan dengan sepeda motor.
Penulis: Mustiana Lestari
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim