INTERMESO

Negatif COVID-19 Tak Berarti Sembuh

“Sampai detik ini Indonesia masih mengidolakan kesembuhan yang menurut saya misleading, karena hanya didasarkan pada negatif.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Rabu, 24 Februari 2021

Sambil terkulai lemas, Juno Simorangkir menatap langit-langit di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta Utara. Ia ingin sekali memejamkan mata untuk beristirahat sejenak. Namun, rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhnya menghalangi untuk tidur. Jika digambarkan, rasa nyerinya seperti ditusuk ratusan jarum secara bersamaan.

“Rasanya mengerikan, lah. Jarumnya seolah ada di dalam kulit aku dan nusuk-nusuk. Satu tubuh terasa sakitnya bahkan sampai ke, maaf, alat kelamin juga,” ujar Juno. Juno merupakan pasien 'angkatan pertama' yang terinfeksi virus COVID-19 di bulan Maret 2020.

Rasa nyeri itu hanyalah segelintir dari berbagai gejala dan sakit yang ia rasakan semenjak terinfeksi virus Corona. Saat dirawat inap, Juno juga merasakan peningkatan debar jantung, nyeri di dada kiri, rambut rontok, dan hipertensi. Padahal sebelumnya Juno tidak punya riwayat penyakit apapun. Ia  pun menyampaikan berbagai keluhan itu kepada dokter yang menanganinya.

Berbagai pemeriksaan di dokter spesialis berbeda sudah dilakukan. Juno juga berkali-kali menjalani elektrokardiogram atau EKG. Tapi, serangkaian pemeriksaan itu tidak menunjukan adanya keanehan. Terakhir, dokter spesialis kejiwaan mendiagnosa Juno sedang mengalami stress akut. Ia diberikan obat anti-depresan.

Juno Simorangkir saat dirawat di RS Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet
Foto : Dok. Pribadi

Juno paham betul penyakit ini masih tergolong baru. Dirinya juga bukan satu-satunya pasien yang dirawat di Wisma Atlet. Para dokter masih harus menangani ribuan pasien lainnya. Namun, Juno tidak puas dan merasa kecewa karena dokter melakukan diagnosa sepihak tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Mereka tidak menghiraukan keluhan Juno sebagai pasien dan menganggap keluhannya itu hanya semata disebabkan oleh pikiran.

“Saya bingung kenapa diagnosanya malah jadi stress. Padahal di sini saya dapat fasilitas gratis, ada AC, tempat tidur dan WiFi. Selama sebulan dirawat saya tetap digaji walaupun nggak bekerja. Jadi stress dari mana? Tapi, ya sudah saya, sih, minum saja. Cuma keluhannya nggak terselesaikan,” ungkap dia.

Setelah 30 hari dirawat di Wisma Atlet, Juno dipulangkan karena hasil tes swab menyatakan negatif. Meski sudah terbebas dari virus COVID-19, kondisi tubuhnya belum pulih benar. Juno justru baru merasakan berbagai gejala baru setelah kembali ke kamar kosnya. Tak tinggal diam, Juno melakukan pemeriksaan mandiri di sebuah rumah sakit swasta. Juno juga melaporkan keluhan brain fog dan halusinasi. Sayangnya hasil pemeriksaan lagi-lagi menunjukan kondisi tubuh normal.

“Sampai detik ini Indonesia masih mengidolakan kesembuhan yang menurut saya misleading, karena hanya didasarkan pada negatif. Padahal setelah kita selesai perawatan dan negatif masih bisa mengalami gejala yang banyak. Kalau saya hitung gejala yang saya alami total ada 40,” keluh Juno.

Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta Utara.
Foto : Galih Pradipta/ANTARA Foto

Seiring berjalannya waktu, kondisi tubuh Juno kini semakin membaik, meski masih ada beberapa gejala yang masih ia rasakan. “Saya nggak pernah bilang saya sembuh karena masih merasakan gejala, tapi belum sembuh bukan berarti masih menular,” katanya. Gejala yang masih ia rasakan di antaranya telinga berdenging dan mencium aroma terbakar.

Berangkat dari pengalamannya itu, di mana ia sebagai penyintas COVID-19, Juno merasa sangat membutuhkan dukungan dari orang yang memahami kondisinya. Juno membentuk Komunitas Covid Survivor Indonesia atau CSI. Pada Agustus tahun lalu komunitas ini masih berbasis di Facebook. Dan sejak Januari tahun ini, Juno juga meluncurkan @covidsurvivor.id yang diikuti hampir 6 ribu followers. Selain penyintas, para dokter, epidemiolog, psikolog, dan para ahli di bidangnya turut  membantu dan mendukung komunitas ini. Mereka membantu menggemakan fenomena Long COVID.

Fenomena gejala berkepanjangan yang dialami Juno ini merupakan Long Covid atau Long Term Covid, suatu keadaan di mana seorang penyintas COVID-19 yang telah dinyatakan negatif dan tidak menular, namun masih memiliki berbagai keluhan dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Long COVID sendiri bukanlah istilah medis. Sampai saat ini penelitian mengenai Long COVID masih berlangsung.

Pada 21 Agustus tahun lalu, perwakilan penyintas COVID-19 di seluruh dunia termasuk Juno mendapat kesempatan bertemu langsung secara virtual dengan dr Tedros Adhanom selaku Dirjen WHO untuk menyampaikan tentang fenomena Long COVID. Sejak saat itu Long COVID jadi perbincangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sementara di Indonesia diskusi mengenai Long COVID baru diadakan pertama kali pada Desember 2020 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Bagi para penyintas COVID-19 di Indonesia, sembuh bukanlah akhir dari segalanya.
Foto ilustrasi: ABC Australia

Juno mewakili penyintas COVID di Asia Tenggara dalam dialog itu. “Di Indonesia entah kenapa saya melihat Long COVID nggak dianggap penting. Mereka terlalu fokus pada tindak pencegahan COVID. Padahal Long COVID ini bisa jadi materi pencegahan yang bagus sekali,” jelas Juno.

“Di CSI kami menyuarakan itu juga tujuannya karena saya nggak mau ada orang seperti saya. Merasakan nyeri di sekujur badan, lemas tersiksa dan sendirian. Nyari artikel rujukan dimana-mana nggak ada, bahkan dokter pun men-deny kita.”


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE