Foto: Labu yang dibudidaya oleh para petani di Kabupaten Bandung Barat (Agung Pambudhy/detikcom)
Senin, 1 Maret 2021Siang hari, selepas azan Zuhur, sekumpulan pria wira-wiri melakoni berbagai pekerjaan di pekarangan sebuah rumah mewah di Desa Cukanggenteng, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sambil berbincang dengan dialek Sunda, sesekali diselingi canda, mereka fokus mengerjakan tugas di pos masing-masing.
Beberapa orang sibuk mengangkut karung-karung labu, lalu melemparkannya ke atas truk, dan di bak truk tersebut ada dua orang yang siap menangkap dan merapikan karung-karung itu. Ada lagi yang mengoperasikan timbangan. Di sudut lainnya, seorang pria sibuk mencatat di buku kecil sambil melihat angka di timbangan.
Dari gerbang tinggi rumah mewah yang ditopang pilar megah serta beralaskan lantai granit itu, tampak lalu lalang mobil pikap dengan knalpot racing nan menggelegar. Setiap mobil yang datang membawa tumpukan karung berisi labu dan ada pula beberapa komoditas lain semisal tomat, cabai, kol, dan sebagainya.
Banyak anak muda yang menganggap jadi petani itu kotor dan kurang menghasilkan. Hal itu ditepis Dede Koswara (32), petani muda Bandung dengan omzet puluhan juta.
Foto : Agung Pambudhy/detikcom
Di antara hiruk pikuk para petani labu siang itu, tampak seorang pria bertopi tengah memperhatikan dengan saksama. Terkadang ia memberi arahan dengan isyarat jari jika ada yang bertanya ihwal tujuan dan total sayuran yang dikirim di setiap truk.
Dibentuknya Gapoktan ini supaya tidak ada lagi oknum beci yang membeli ke petani dengan harga seenaknya. Di sini ada transparansi harga. Dari petani hingga beci sudah tahu standar harga beli.”
Dialah Dede Koswara, 31 tahun. Dia juga sang empu rumah mewah seharga Rp 2,5 miliar, yang diperoleh Dede dari jerih payah bertani labu. Dede menjadikan rumahnya itu sebagai tempat bongkar muat labu dan produk pertanian lainnya dari para petani. Saban sore, truk-truk engkel yang sudah dipenuhi diberangkatkan ke tujuan masing-masing, seperti Cirebon, Tangerang, dan Bogor.
Sejak lima tahun lalu, Dede tidak hanya bertani di lahan seluas 5 hektare lebih miliknya dan memasarkan labu siam serta sayur-sayuran lain dari kebunnya. Ia juga mengumpulkan hasil panen labu siam atau biasa disebut labu acar di Jawa Barat dari petani di daerahnya untuk kemudian disuplai ke jaringan distribusi yang telah dimilikinya.
Truk-truk pikap dengan knalpot racing itu kepunyaan para pengepul sayur dari petani atau biasa disebut beci. Mereka mengambil hasil panen petani, menyortirnya, lalu mengirimkan ke rumah Dede untuk diangkut ke pasar luar daerah.
Sejak dua tahun lalu, Dede bersama pasukan beci dan petani di Pasirjambu, yang jumlahnya sekitar 2.100 orang, membentuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) komoditas labu. Paguyuban itu dinamai Gapoktan Regge yang, menurut Dede, diambil dari istilah bahasa Inggris regeneration.
Gapoktan Regge menjadi wadah bagi para petani muda setempat untuk berkembang. Kepada detikX, Dede bercerita dibentuknya Gapoktan Regge membuat alur distribusi hasil panen menjadi lebih tertib. Dede sebagai ketua menjunjung tinggi transparansi harga di level beci hingga petani.
“Dibentuknya Gapoktan ini supaya tidak ada lagi oknum beci yang membeli ke petani dengan harga seenaknya. Di sini ada transparansi harga. Dari petani hingga beci sudah tahu standar harga beli,” begitu Dede membuka perbincangan di ruang tamu rumah mewahnya beberapa waktu lalu.
Gapoktan Regge membawa misi menyejahterakan petani. Sebagai komandan, Dede, yang termasuk petani milenial, memikirkan strategi agar orang-orang di belakangnya tak sengsara begitu harga labu merosot. Dede memiliki tabungan dana darurat. Ketika harga labu melempem, uang tersebut bisa digunakan untuk memberikan subsidi kepada para petani.
“(Uang tabungan) itu saya ambil dari setiap nota (penjualan ke pasar) jika ada lebihan. Sebenarnya ini keuntungan untuk saya, tapi saya sisihkan. Uang itu digunakan penyetabil harga, bilamana nge-down, kita ada penyetabil,” cerita Dede.
Sejauh ini, kata Dede, harga labu terbilang stabil, sehingga uang yang terkumpul bisa dialokasikan untuk keperluan lain. Dengan semringah Dede menceritakan, pada 2018 uang tersebut digunakan untuk piknik bersama beberapa anggota dengan empat bus.
Begitu juga pada 2019, mereka bisa membuat kegiatan semacam family gathering bersama petani dan beci, kali ini dengan armada lebih banyak, 10 bus. “2020 pas COVID, (uang dibelanjakan) 2 ekor sapi, dan untuk 22 orang sunatan massal,” timpal Dede.
Pada 2020, Gapoktan Regge mengajukan proposal untuk menjadi penerima program inkubator Bank Rakyat Indonesia (BRI). Proposal tersebut disetujui, dan Gapoktan Regge mendapat guyuran dana Rp 400.045.000 untuk membangun green house budi daya paprika.
Dikatakan Dede, green house paprika, yang menjadi lahan percontohan di Kecamatan Pasirjambu, membuka peluang ekonomi tambahan bagi para petani. Menurutnya, masih sedikit petani paprika di Pasirjambu sehingga pasar masih terbuka luas.
“Kalau paprika menjanjikan karena di area Pasirjambu, Ciwidey, masih jarang. Demplot paprika ini buat apa? Buat pengembangan dari labu acar, (kalau penjualan) berkurang, ini pilihannya, supaya petani atau kelompok kita belajar lagi,” kata Dede.
Sementara itu, Pimpinan BRI Cabang Soreang M Ruri Effendy menjabarkan Gapoktan Regge dianggap sebagai kelompok yang progresif. Oleh sebab itu, BRI membantu mereka untuk semakin berkembang di bidang pertanian melalui green house dan bantuan CSR alat pertanian.
Dede Koswara sedang mencatat labu dan sayur mayur lainnya untuk dijual kembali ke pasar luar daerah
Foto : Agung Pambudhy/detikcom
Green house paprika yang didanai BRI memacu para petani untuk memperluas diversifikasi komoditasnya. Dengan begitu, mereka tidak hanya bergantung pada satu komoditas yang menyebabkan pemasukan terganggu apabila harga komoditas anjlok.
“Inkubator diberikan di Desa Cukanggenteng di Pasirjambu ya, di kelompok usaha membidangi labu acar. Di situ diberi sarana berupa green house dalam pengembangan usaha selain labu acar. Diberi usaha untuk paprika dalam green house yang meliputi area seluas 5.000 meter persegi. Di situ jadi selama labu acar dalam kondisi turun, para petani bisa ekspansi di produk yang lain,” ungkap Ruri.
Hal senada diutarakan Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Diar Hadi Gusdinar. Ia mengulas fluktuasi harga komoditas pangan kerap terjadi. Selain upaya pemerintah menyeimbangkan harga, petani pun tidak lagi bisa mengandalkan penghasilan yang stabil dari satu komoditas saja.
“Kadang dapat untung banyak, kadang rugi, memang pertanian ada kondisi seperti itu. Maka harus ada upaya dan strategi untuk menangani hal itu. Pertama, di suatu komoditas, komoditasnya jangan terlalu seragam, bisa ada beberapa diversifikasi pangan tertentu,” ungkapnya.
Setelah mengembangkan green house paprika, Dede bersama Gapoktan Regge berencana membuat kawasan agrowisata untuk memberikan potensi ekonomi tambahan di Desa Cukanggenteng, sekaligus memberikan edukasi kepada milenial terkait budi daya labu, paprika, dan sayur-sayuran lain. “Rencana mau bikin agrowisata. Semoga ada jalannya lagi. Bisa jadi kerja sama berkelanjutan antara BRI dan kelompok kami,” cetus Dede.
Penulis: Yudhistira Perdana Imandiar
Editor: IrwanNugroho
Desainer: Luthfy Syahban