Ilustrasi: Edi Wahyono
Senin, 09 November 2020Kondisi global pandemi ini memberikan banyak batasan bagi ruang gerak kita. Peningkatan kecemasan, kekhawatiran, stress dalam menjalani kehidupan sehari-hari semakin terasa meningkat. Dan, seiring dengan kondisi ini, kesadaran akan kesehatan mental dan wellbeing (keselarasan hidup) menjadi semakin besar.
Pandemi COVID-19 telah mengubah kegiatan di Rumah Remedi, sebuah institusi personal dan corporate wellbeing yang didirikan, salah satunya, oleh Ferry Fibriandani. Setiap hari Selasa, misalnya, Rumah Remedi rutin mengadakan sesi meditasi melepas stress secara online melalui aplikasi Zoom.
Kelas meditasi online yang diadakan secara gratis ini rupanya menjadi salah satu kelas yang paling diminati. “Kelebihan kelas meditasi online ini memang kita bisa lebih banyak menjaring banyak. Orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri seperti Eropa, Singapura dan Australia, mereka ikutan juga kelas kita,” ucap Ferry.
Selain meditasi, Rumah Remedi juga memiliki beragam aktivitas seperti sesi coaching, counseling, psychotherapy, kelas stress release, dan kelas reguler lain baik personal maupun group via online.
Sambutan antusias ini bertambah seiring bergejolaknya pandemi Covid-19. Karena ruang gerak terbatas, para peserta butuh sebuah sarana, bukan hanya untuk melepas stress tapi berbagi dan berkomunikasi. Melepaskan kecemasan dan saling memberdayakan.
Aktivitas sound healing untuk mengatasi stress dan meningkatkan kesehatan mental.
Foto : Dok Rumah Remedi
“Melalui komunitas kita nggak sendiri, kita menjalani ini sama-sama. Paling bahaya kalau kita merasa sendiri dan dalam kondisi terpuruk,” ujar Ferry, yang merupakan seorang Corporate Coach, Craniosacral Therapist, Psychotherapist dan ThetaHealing Therapist, ini.
Tidak bisa dipungkiri, antara masalah pribadi dan perusahaan juga tidak bisa dipisahkan begitu saja. Kalau ada masalah pribadi, urusan perusahaan juga dipengaruhi."
Pada masa awal penerapan PSBB, banyak di antara peserta yang mengalami cemas berlebihan akibat pandemi COVID-19. “Dari Maret sampai Mei, banyak yang misalkan pergi ke minimarket pagi banget, di jam tidak wajar, sampai ekstra hati-hati. Istilahnya bener-bener lebay dalam menjaga kesehatan. Which is good. Tapi sekarang dari sesi konseling pun terlihat mereka sudah bisa hidup dengan new normal,” katanya.
Selain kelas meditasi mengelola stress, Rumah Remedi juga menyediakan kelas regular lain seperti kelas wellbeing wednesday setiap Rabu malam, meditasi bahagia setiap Kamis malam, circle of trust setiap Sabtu, dan meditasi kesehatan setiap hari minggu.
Namun, harus diakui, sesi online ini memang memiliki beberapa kelemahan. Interaksi antar peserta dan fasilitator tentu saja tidak seluas apabila dilaksanakan offline. Ada pula aspek keterbatasan physical connection, yang sifatnya misal memandu postur. Kelancaran sesi pun tergantung kualitas akses internet di lokasi peserta. Tingkat penerimaan pemahaman setiap orang pun berbeda-beda.
“Meskipun kelas online masih efektif, namun kelas offline memungkinkan peserta untuk menangkap komunikasi non verbal dari fasilitator. Seorang pakar komunikasi Albert Mehrabian menyampaikan bahwa 93% komunikasi efektif sangat di pengaruhi oleh komunikasi nonverbal,” jelas Ferry. “Namun setelah berakhirnya PSBB ini kami juga membuka jasa personal dan corporate wellbeing dengan penerapan standar protokol kesehatan,” tutur Ferry yang mendirikan Rumah Remedi pada tahun 2011.
Workshop online yang diadakan rumah remedi
Foto : Dok Rumah Remedi
Bukan hanya pendampingan secara personal, saat ini Rumah Remedi juga memberikan pelatihan kesehatan mental kepada korporasi. Program ini diselenggarakan dalam berbagai bentuk. Seperti Corporate training, coaching dan layanan EAP (Employee Assistant Program, pelayanan jasa pendukung kesehatan mental bagi para pegawai perusahaan) dilaksanakan secara online.
Dari pengalaman Rumah Remedi, program ini biasa diminati oleh perusahaan yang sudah sangat mature. Sudah lama berkembang dan memiliki budaya perusahaan yang kuat. Perusahaan yang memperlakukan karyawan sebagai aset terbesar mereka. Begitu pula dengan para start-up yang dikepalai oleh milenial.
“Tidak bisa dipungkiri, antara masalah pribadi dan perusahaan juga tidak bisa dipisahkan begitu saja. Kalau ada masalah pribadi, urusan perusahaan juga dipengaruhi,” ungkap Ferry.
Selama masa pandemi ini, beragam hal dikeluhkan melalui sesi konseling. “Mereka menjadi sangat overwhelmed. Tidak ada batas waktu antara profesionalisme dan personal. Udah nggak ada lagi nine to five. Begitu juga dengan masa depan, dengan kondisi ketidakpastian seperti ini. Keluhannya beda lagi kalau personal. Mereka khawatir dengan kesehatan diri dan keluarga, rasa bosan, frustasi karena terkungkung, kurangnya kebebasan beraktivitas.”
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho