INTERMESO

Anak Milenial
Petani Monstera

“Sampai ada istilah mending nyesel beli sekarang daripada nyesel nggak beli. Kok harganya sekarang segini, padahal besok bakal naik lagi.”

Rosyid Ridho Pratidinal Jadid, penjual monstera di Yogyakarta (Foto: dok. pribadi)

Sabtu, 10 Oktober 2020

Hari masih pagi. Josh Manalu sudah sibuk mengurusi tiga tanaman monstera miliknya. Ia menyiapkan kardus, selotip, dan gunting untuk membungkus tanaman-tanaman itu. Josh semakin sibuk sejak mengunggah koleksi tanaman monsteranya lewat Instagram @jualmonsterajakarta. Setiap hari selalu ada calon pembeli yang memenuhi kotak DM alias direct message.

“Ini mau dikirim ke NTT (Nusa Tenggara Timur). Kemarin baru pesan, kirimnya pakai jasa kurir," ujar Josh saat dihubungi detikX. Josh, yang baru beberapa bulan berjualan, juga kerap menerima pesanan untuk dikirim ke luar pulau. Tanaman monstera miliknya juga sampai ke Papua.

Di bidang tanaman hias jenis monstera atau Swiss cheese plant ini, Josh bukan orang baru. Berawal dari hobi, Josh mengoleksi monstera sejak 2016. Tanaman hias tanpa bunga yang memiliki ciri khas daun berlubang ini memenuhi sudut-sudut rumah Josh, mulai halaman, garasi, sampai balkon lantai dua.

“Dari cuma sedikit, sekarang di rumah sudah kayak hutan. Dulu kalau ada teman mau ambil malah saya kasih saja gratis. Waktu itu secara ekonomi belum kepikiran untuk dijual,” ungkap Josh, yang memiliki puluhan monstera. Menurut website Monsteraplantresource, monstera berasal dari hutan tropis di Amerika Tengah dan Selatan. Tanaman hias ini kabarnya punya lebih dari 48 varietas, tapi hanya beberapa yang populer di Indonesia.

Tanaman janda bolong yang harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah
Foto: Grandyos Zafna/detikcom

Kondisi rumah Josh yang katanya lebih mirip 'hutan' ini sempat membuat istrinya agak keberatan. “Dulu dia pernah ngedumel, 'Kok, rumah kita isinya tanaman semua sih, nanti banyak nyamuk gimana?' Tapi sekarang, sejak jualan, beda. 'Lo, tanaman kita kok udah habis sih?' Beda tanggepan-nya,” ujar Josh bergurau.

Dari cuma sedikit, sekarang di rumah sudah kayak hutan. Dulu kalau ada teman mau ambil malah saya kasih saja gratis. Waktu itu secara ekonomi belum kepikiran untuk dijual."

Awalnya Josh memang tidak kepikiran untuk menjual koleksinya. Namun, selama pandemi ini, Josh melihat peluang pada kenaikan tren permintaan monstera. Tanaman ini dilirik karena perawatannya yang terbilang mudah. Karena permintaan monstera meningkat tajam, harganya ikut naik gila-gilaan.

“Dulu monstera yang hijau 1,5 meter harga saya beli cuma Rp 75 ribu. Itu sudah 5-6 daun. Sekarang bisa Rp 1,5-5 juta. Kalau jenis variegata lebih gila lagi. Dulu Rp 300 ribu rasanya udah mahal banget. Sekarang untuk dijual lagi bisa Rp 5-7 juta,” tutur Josh.

Monstera jenis variegata memang unik dan banyak diburu kolektor. Penyebabnya, ada corak dan warna pada bagian daunnya yang bercampur dengan warna putih. Bahkan ada jenis monstera variegata yang hampir seluruh daunnya berwarna putih. Ada pula yang setengah hijau dan setengah putih. Budi daya dan perawatannya pun lebih sulit ketimbang monstera deliciosa.

Sementara sebelumnya Josh hanya mengembangbiakkan sendiri tanaman monstera, kini ia juga membeli dari saudaranya yang mempunyai lahan dan berjualan tanaman hias di Meruya. Jika permintaan banyak, ia kerap berburu tanaman monstera ke Bogor. Baru beberapa bulan berjualan, Josh bisa meraup omzet sampai Rp 15 juta dalam sebulan.

Josh Manalu dan tanaman monstera yang dia kembangkan untuk dijual.
Foto: dok. pribadi

“Saya kewalahan karena banyak permintaan tapi suplainya nggak ada,” ujar Josh, yang saban hari didatangi pria asal Amerika Serikat untuk membeli monstera.

Kenaikan harga yang tajam untuk tanaman ini juga dirasakan oleh Rosyid Ridho Pratidinal Jadid, seorang fotografer yang kini banting setir menjadi petani monstera. Bisnis jasa dan studio fotografi yang dirintisnya mengalami penurunan akibat pandemi. Namun, sejak Maret lalu, Jadid ikut meramaikan tren dengan menjual monstera.

“Pergerakan harga tanaman ini harian, terutama jenis seperti variegata, anturium, alokasia. Sampai ada istilah mending nyesel beli sekarang daripada nyesel nggak beli. Kok harganya sekarang segini, padahal besok bakal naik lagi,” tutur pria yang berdomisili di Yogyakarta itu.

Jadid akrab dengan tanaman monstera sejak membuat usaha studio fotografi. Tanaman monstera kerap digunakan sebagai properti untuk foto. Mulai foto prewedding maupun foto produk. Referensi luar negeri yang diikuti Jadid juga banyak menggunakan tanaman ini untuk mempermanis hasil fotonya. Sejak akhir 2018, Jadid pun mulai mengoleksi tanaman ini. Selain karena perawatannya mudah, Jadid bisa menjadikannya dekorasi di dalam rumah karena tidak perlu sinar matahari langsung.

“Kebetulan ayah dan ibu saya memang suka bercocok tanam. Monstera tak (saya) lihat bagus. Dan kebetulan punya lahan. Bikin green house seluas 6x4 meter untuk membudidayakan monstera. Saya perbanyak pakai pot,” katanya. Pengembangbiakan monstera menggunakan teknik stek batang membutuhkan waktu 3-4 bulan. “Monstera di Indonesia belum nemu memperbanyak dari biji. Soalnya, nunggu bijinya siap disilangkan sampai 1,5 tahun. Monstera dari stek batang baru siap jual.”

Tanaman monstera koleksi Rosyid Ridho Pratidinal Jadid
Foto: dok pribadi

Setiap hari, di akun Instagram @petanimonstera milik Jadid, ada sampai 30 orang yang menanyakan ketersediaan tanaman ini. Baru pada Agustus lalu Jadid menjual monstera variegata miliknya seharga Rp 3,5 juta. “Sekarang variegata yang 3 daun dijual Rp 5-6,5 juta. Kemarin saya pikir ini nggak bisa naik lagi, nih? Ternyata naik jauh,” tutur Jadid, yang sempat salah mengira.

Jadid optimistis tanaman monstera tak akan hanya menjadi tren selama pandemi. Justru hobi merawat monstera akan bertahan lama setidaknya sampai dua hingga tiga tahun ke depan. Salah satu alasannya, Jadid menilai tanaman monstera lebih variatif. Tidak seperti tanaman anturium atau gelombang cinta yang sempat jadi tren tapi harganya menurun tajam.

“Karena monstera ini untuk memperbanyaknya nggak semudah tanaman lain, termasuk butuh waktu. Kalau dulu gelombang cinta harganya anjlok karena mudah mengembangbiakkannya. Demand turun, sedangkan suplai banyak, akhirnya nggak laku,” katanya.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE