INTERMESO

Van Breen dan Pembangunan Kanal Banjir di Jakarta

Banjir Kanal Barat adalah proyek monumental Herman Van Breen. Ia pulalah yang membangun Bendung Katulampa di Bogor.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 5 Oktober 2020

Selama dua bulan, dari Januari hingga Februari 1918, hujan mengguyur Kota Batavia (kini Jakarta) dan sekitarnya dengan amat lebat. Hujan itu menyebabkan banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Jakarta, termasuk di kampung-kampung sekitar Weltevreden, permukiman elite Belanda, seperti Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang.

Kali Ciliwung yang membelah Jakarta dari selatan ke utara meluap, sehingga menimbulkan banjir. Toko-toko di jalanan Pasar Baru, Tanah Lapang Singa, dan Schoolweg, yang semuanya berada di pinggir Ciliwung, kebanjiran. Kampung Pejambon yang rendah terendam air setinggi sekitar 1 meter dan penduduknya mengungsi.

Banjir juga menyebabkan sarana transportasi umum terhenti. Trem listrik, yang biasanya melintas di Tanah Tinggi, terpaksa tidak bisa melayani penumpang. Di sepanjang Rijswijk (kini Jalan Veteran) banyak stoomtram yang terkena air, sehingga lokomotifnya kehilangan tenaga. Trem itu mogok di tengah air dan harus ditarik.

Demikian Restu Gunawan, dalam buku Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010), mengisahkan. Menurut dia, banjir besar pada 1918 juga mendorong naiknya harga makanan pada saat itu. Padahal harga beras sedang membubung tinggi. Pada waktu itu, penyakit kolera juga sedang mewabah di Batavia. “Setiap hari ada 6-8 orang yang masuk rumah sakit,” kata Restu Gunawan.

Robert M Delinom, seorang pakar hidrologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada 2014 menulis, banjir Batavia 1918 adalah paling besar dibanding sebelumnya. Banjir itu merupakan dampak dari pembabatan hutan di Puncak, Bogor, untuk perkebunan teh. “Banyak korban manusia dan harta benda yang lain," tulis Robert.

Pintu Air Manggarai sekitar 1949
Foto: Album Jakarta, BPAD Provinsi DKI Jakarta via Perpusnas RI

Banjir di Jakarta seabad lalu itu telah memaksa pemerintah Belanda mengambil tindakan. Dalam rapat Dewan Kota pada 18 Februari 1918, Wali Kota Batavia mengusulkan agar pembangunan kanal banjir Kali Malang (kini Banjir Kanal Barat) segera diselesaikan. Untuk itu, Burgelijke Openbare Werken (semacam Jawatan Pekerjaan Umum) mengajukan anggaran 500 ribu gulden kepada Gubernur Jenderal.

Banjir Kanal Barat terbentang dari Manggarai ke barat hingga Karet, lalu berbelok ke utara dan berujung di Muara Angke. Pembangunannya dimulai sejak 1912 oleh seorang insinyur pengairan Belanda, Herman van Breen. Breen awalnya bekerja sebagai kepala kantor Pengairan BOW. Setelah Banjir Kanal Barat selesai pada 1919, laki-laki kelahiran Amsterdam, 21 Mei 1881, itu diangkat sebagai anggota Dewan Kota Batavia.

Situs Pemprov DKI Jakarta mencatat, Van Breen adalah seorang Belanda yang sosoknya sangat lekat dengan sejarah pengendalian banjir di Jakarta. Setelah ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda di Departemen Pengairan BOW, ia memimpin 'Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir' secara terpadu meliputi seluruh Batavia, yang luasnya saat itu baru sekitar 2.500 hektare.

Konsep penanggulangan banjir ala Van Breen sebetulnya sederhana, tapi perlu dilakukan dengan cermat dan berbiaya tinggi. Intinya adalah mengendalikan air dari hulu sungai dan membatasi volumenya ketika masuk ke Kota. Karena itu, perlu dibangun kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung air dan selanjutnya mengalirkannya ke laut. Saluran kolektor itulah yang disebut banjir kanal.

Melalui artikelnya yang terbit pada 1932, seperti yang diungkapkan Restu Gunawan (2010), Van Breen mengatakan sebetulnya ada tiga skenario pembangunan kanal untuk mengalirkan banjir ke laut. Pertama, saluran dimulai dari Ciliwung di Cawang ke barat memotong Sungai Krukut di Senayan, Sungai Grogol, hingga bergabung dengan Sungai Kali Angke terus ke laut.

Pilihan kedua berupa pemotongan alur ke arah dalam kota dan kanal yang lebih pendek. Alternatif ketiga adalah seperti terwujud dalam pembangunan Banjir Kanal Barat. Manggarai dipilih sebagai titik tolak pembangunan kanal karena merupakan batas selatan Kota Batavia, yang masih relatif aman dari banjir. Hal itu mempermudah sistem pengendalian air saat hujan tiba.

Salah satu sudut Banjir Kanal Barat di Jakarta di masa sekarang
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Untuk membangun kanal banjir tahap pertama, antara Pintu Air Manggarai hingga Karet, pemerintah Belanda menyetujui biaya sebesar 574 ribu gulden, yang terdiri atas uang dan material, pada 1913. Selanjutnya, pada 1915, Breen mengusulkan untuk melanjutkan pengerjaan kanal itu dari Karet hingga Muara Angke. “Seluruh penggalian kanal banjir Kali Malang dikerjakan dengan tenaga tangan,” imbuh Restu Gunawan.

Pengerjaan Kanal Banjir Barat selesai pada 1919, satu tahun setelah banjir besar melanda Jakarta. Atas jasa Van Breen tersebut, BOW membuat plakat sebagai bentuk penghargaan. Plakat itu sampai hari ini masih terpasang di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan.

Breen sebetulnya tidak hanya membangun Banjir Kanal Barat kala ditugasi untuk menangani banjir di Batavia. Ia sadar bahwa banjir akan selalu mengancam kota dan tidak akan teratasi bila hanya membangun sistem tata air di dalam Kota Batavia. Perlu penanganan juga di daerah hulu, yaitu kawasan Puncak, Bogor. Karena itu, Breen juga menginisiasi pembangunan Bendung Katulampa di Ciawi dan Bendung Empang di hulu Sungai Cisadane. Tujuannya adalah menampung sementara air sebelum mengalir di Jakarta.

Sementara itu, Restu Gunawan mengatakan, hingga akhir 1913, ada lima proyek Breen yang disetujui pemerintah selain Banjir Kanal Barat, yaitu Pintu Air Matraman, Pintu Air Gusti, Normalisasi Sunter, dan proyek saluran Cideng. Ia juga bertanggung jawab atas perawatan bangunan-bangunan itu. Setelah menyelesaikan Banjir Kanal Barat, Breen juga diminta membuat perencanaan perbaikan kesehatan di Batavia.


Penulis: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE