INTERMESO

Kudeta G30S

Monumen Ade Irma Nasution di Pulau Sangihe

Oma Alpiah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Ade Irma Nasution ditembak pasukan G30S. Ia juga ikut membawa Ade Irma ke rumah sakit.

Foto: Jerusalem Mandalora/Antara Foto

Kamis, 1 Oktober 2020

Rabu, 30 September 2020, menjadi hari yang bahagia bagi Alpiah Makasebape, warga Kelurahan Dumuhung, Kecamatan Tahuna Timur, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Rumah perempuan berusia 84 tahun itu dijadikan tempat berdirinya Monumen Ade Irma Suryani Nasution, putri kedua Jenderal Besar (Purnawirawan) Abdul Haris Nasution, yang menjadi salah satu korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965 atau G30S.

Hari itu, Bupati Sangihe Jabes Ezar Gaghana bersama Komandan Kodim 1301/Sangihe Letnan Kolonel Inf Rachmat Christanto meresmikan Monumen Ade Irma Suryani Nasution. Monumen berupa patung Ade Irma Suryani Nasution berwarna keemasan itu berdiri kokoh di depan halaman rumah Alpiah, yang dikenal warga dengan panggilan Oma Tintang. Pembangunan monumen itu diprakarsai oleh Alfian WP Walukow, seorang tokoh pendidikan, bersama keluarga besar Alpiah.

“Itu memang ide Oma dan diprakarsai oleh Pak Walukow. Ini untuk menunjukkan kenang-kenangan dan menjadi saksi sejarah yang masih hidup,” kata Markus, salah satu keponakan Alpiah, saat dihubungi detikX, Kamis, 1 Oktober 2020.

Alpiah Makasebape (tengah)
Foto: Jerusalem Mandalora/Antara Foto

Sosok Alpiah selama ini kurang begitu dikenal sebagai saksi sejarah kekejian pasukan Pasopati dari Resimen Tjakrabirawa, yang menculik dan membunuh tujuh jenderal dan dua perwira pertama TNI pada 30 September-1 Oktober 1965. Lima puluh lima tahun lalu, Alpiah muda menyaksikan langsung penyerangan dan penculikan tersebut di rumah AH Nasution di Jalan Teuku Umar No 40, Menteng, Jakarta Pusat. Ia begitu sedih melihat Ade Irma yang diasuhnya selama lima tahun tertembus peluru yang ditembakkan pasukan pemberontak.

Saya bangga bisa menjaga anak perempuan yang sudah saya anggap putri sendiri."

“Waktu dia (Alpiah) kehilangan Ade, minta ampun merasa kehilangannya. Dia sedih banget, murung bagaimana sih. Jadi rasa kayak anaknya sendiri Ade itu,” kata Yanti, putri pertama almarhum Jenderal Besar (Purn) AH Nasution yang bernama lengkap Hendrianti Sahara Nasution, kepada detikX, Kamis, 1 Oktober 2020.

Yanti merasa bangga bila Alpiah masih mengenang almarhum adiknya dengan membangun monumen. Ia berharap monumen itu menjadi bukti sejarah kepada generasi muda, khususnya di Pulau Sangihe, bahwa ada sosok saksi sejarah dalam peristiwa pemberontakan G30S di daerah itu. “Saya terima kasih bahwa adik saya masih dikenang. Tentu Alpiah ingat dengan peristiwa itu. Dia yang jagain adik saya dari waktu baru lahir sampai meninggal dunia, dan dia pulang ke Sanger (Sangihe),” ucap Yanti.

Sebelumnya, Alpiah sempat bekerja di Rumah Sakit Umum Liun Kendage, Tahuna, Sangihe. Lalu, pada umur 20 tahun, ia hijrah untuk melanjutkan pendidikan sebagai perawat di Jakarta, yaitu di Yayasan Tilaar, yang bergerak di bidang pelatihan tenaga perawat. Bersamaan dengan itu, Ade Irma baru saja lahir pada 19 Februari 1960. Ibunya, Johanna Sunarti, atau istri Nasution, tengah mencari pengasuh untuk putri keduanya itu. Sekitar dua atau tiga minggu kemudian, Johanna mendapat rekomendasi dari Suster Senduk di Kebon Nanas, Jatinegara, Jakarta Timur, untuk mengambil Alpiah sebagai pengasuh dan perawat Ade Irma.

Ade Irma Suryani Nasution
Foto: dok. Istimewa

Alpiah dianggap baik dan telaten mengurus Ade Irma Suryani, bahkan hubungan akrab dengan semua anggota keluarga Nasution, termasuk Pierre Tendean, yang juga menjadi korban pembunuhan G30S. Alpiah bergantian dengan Johanna dalam mengasuh Ade Irma. Hal itu dilakukan bila Johanna sibuk dengan berbagai kegiatan dan organisasi. “Sikap dan perilaku Alpiah sangat baik. Malah terlalu sayang sama Ade. Kayak anaknya sendiri. Gimana, ya, sayang banget. Waktu kehilangan Ade, (dia) seperti kehilangan anak sendiri,” terang Yanti.

Sepeninggal Ade Irma, Alpiah tetap bekerja dan mengasuh Yanti, yang kala itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Setahun kemudian, Alpiah meminta pulang ke kampungnya di Sangihe. Awalnya keluarga Nasution mencegahnya karena sudah dianggap seperti anggota keluarga sendiri. Tapi keinginan pulang kampung tak bisa ditahan lagi.

“Saya bilang, Alpiah jangan pulang. Tapi dia minta pulang juga. Alasannya ingat sama suaminya waktu itu. Kalau nggak salah, waktu itu dia baru mau nikah. Pulang tahun berapa ya, pokoknya setahun setelah peristiwa G30S/PKI antara tahun 1966 atau 1967,” imbuh Yanti.

Ketika pulang, Alpiah memang diberi sejumlah barang bekas milik Ade Irma sebagai kenang-kenangan, seperti pakaian dan kalung. Lalu, foto keluarga Nasution dan foto dirinya yang tengah menggendong Ade Irma saat berumur 3 bulan. Tak hanya itu, ia juga diberi handuk dan sandal milik Nasution ketika dirawat di rumah sakit akibat mengalami luka tembak di kakinya. Semua barang-barang itu kini dipajang di monumen itu.

“Itu semua barang asli yang dikasih Mamah (Johanna). Tapi saya nggak tahu barang apa saja yang dikasih ke Alpiah, waktu ngasih saya nggak tahu. Nah, ada kalung yang dikasih Mama ke Alpiah, kalung ikan-ikanan. Saya punya satu, Ade punya satu, gitu,” ungkap Yanti. Hingga kini Yanti sesekali masih melakukan komunikasi dengan mantan pengasuh adiknya itu.

Kini Alpiah hidup ditemani anaknya. Sedangkan suaminya, yang bekerja sebagai mantri (PNS/petugas kesehatan), Bernal Mudingkase, telah lama meninggal dunia. Karena usianya yang kini sudah sepuh, pendengaran Oma Alpiah pun sudah mulai terganggu. Tapi ia masih bisa berkata-kata dengan lancar. Ia mengucapkan rasa syukurnya atas pembuatan monumen tersebut. “Saya bangga bisa menjaga anak perempuan yang sudah saya anggap putri sendiri,” kata Alpiah kepada detikX, Kamis, 1 Oktober 2020.

Alpiah, pengasuh Ade Irma Suryani Nasution, kini berusia 84 tahun.
Foto: Jerusalem Mandalora/Antara Foto

Alpiah menceritakan, sebenarnya nama Ade Irma itu tidak ada. Nama yang sebenarnya adalah hanya Irma Suryani Nasution. Nama Ade di depan nama itu merupakan panggilan penghargaan dalam budaya Sangihe. Alpiah mengajarkan panggilan itu kepada Irma dengan sebutan ‘ade’ (adik), sementara kepada Yanti dengan sebutan kakak. “Tak disangka nama itu jadi melekat sampai Ade menutup matanya,” imbuh Alpiah. Yanti pun mengutarakan hal yang sama.

Lantas Alpiah menceritakan kisah tragis di rumah majikannya itu. Ia sempat ketakutan dan bersembunyi. Tapi ia sempat melihat Pierre dengan mengenakan kaus abu-abu dan celana tentara dibawa pasukan pemberontak itu. Sementara itu, Nasution sempat bersembunyi dan menyelamatkan dirinya. Yang membuatnya sedih, Ade Irma malah kena tembak gerombolan. Alpiah sempat ikut mengantarkan Ade ke rumah sakit, tapi ia turun duluan di tengah jalan. “Saya kemudian pergi ke markas Marinir untuk melaporkan kejadian di rumah Pak Nasution,” kenangnya.

Alpiah mengucapkan terima kasih kepada Alfian WP Walukow, yang telah mengangkat sejarah Ade Irma Nasution di Sangihe agar bisa diketahui semua orang. “Terima kasih kepada Pak Bupati yang hadir meresmikan patung Ade Irma Nasution,” pungkas Alpiah singkat.


Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE