Ilustrasi: Edi Wahyono
Sabtu, 29 Agustus 2020Sekitar 150 karyawan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)—kini PT Dirgantara Indonesia (DI)—telah bersiap pada hari yang cerah, Kamis, 10 November 1994. Mereka akan bergotong royong menarik pesawat N250 Gatotkaca keluar dari hanggar (roll out). Itulah momen kelahiran pesawat pertama yang dibuat oleh putra-putri bangsa Indonesia.
N250 dirakit selama dua tahun. Pesawat itu mulai diproduksi pada 1992, yang ditandai dengan pemotongan material di hangar fabrikasi oleh Bacharudin Jusuf Habibie, arsitek utama pesawat N250, yang juga Direktur Utama IPTN, pada saat itu. Adalah bagian sayap kiri atas yang pertama diproduksi.
N250 kemudian terbang perdana menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-50 RI pada 10 Agustus 1995 di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Dipiloti chief test pilot Erwin Danuwinata dan co-test pilot Sumarwoto, pesawat itu terbang selama 56 menit sebelum akhirnya kembali mendarat dengan mulus. Presiden Soeharto menyaksikan detik-detik N250 lepas landas dan berkomunikasi dengan para pilot.
N250 saat masih berada di Bandara Husein Sastranegara, Bandung
Foto : Wisma Putra/detikcom
Pesawat N250 disebut-sebut sebagai pesawat komersial yang canggih pada zamannya. N250 merupakan pesawat bermesin turboprop yang memakai teknologi canggih seperti flyware system, full gas cockpit with engine instrument and crew alerting system, dan electrical system with variable speed constant frequency, generator yang dipakai dalam pesawat tempur dan baru digunakan pesawat Boeing B737-500.
Andai N250 sudah terbang, maka pesawat itu adalah suatu pesawat yang benar-benar diuji coba untuk mengangkut dengan murah (low cost carrier) di Bumi Indonesia."
Desain struktur pesawat berkelir biru dan putih itu juga efisien. Cockpit-nya pun terbilang lebih luas dibanding pesawat sejenis. Dengan kecepatan 600 Km/jam, N250 terbang lebih cepat dibandingkan para pesaingnya di era 1990-an, seperti ATR 72 buatan Prancis, De Havilland-Q 400 produksi Kanada, dan MA60 buatan China. Tidak heran, banyak pabrikan pesawat was-was dengan pendatang baru N250 saat diperkenalkan di Paris Airshow Le Bourget, Prancis, pada 1989.
Seorang mantan penerbang yang pernah menjajal N250, Kris Sukaryono, merasa teknologi pesawat beregistrasi PK-XNG tersebut sangat luar biasa. Ia sempat menerbangkan pesawat itu pada 1990-an. “Ibaratnya kalau mobil itu beloknya halus,” kata Sukaryono di sela-sela penyerahan prototipe N250 ke Museum Pusat Dirgantara Mandala, Yogyakarta, Rabu, 26 Agustus, lalu.
Di masa kejayaannya, N250 pernah terbang dari Bandung ke Prancis sejauh 13.500 Km untuk mengikuti perhelatan Paris Airshow pada 1997. Pesawat tersebut terbang bersama CN 235, pesawat 35 penumpang yang lebih dulu dibuat oleh IPTN bersama CASA Spanyol. Gatotkaca singgah di beberapa negara seperti Thailand, India, Oman, Arab Saudi, Mesir, dan Italia.
Mendiang BJ Habibie
Foto: Hasan Alhabshy
Secara keseluruhan, N250 telah mengantongi uji terbang sebanyak 650 jam. Keberhasilan N250 Gatotkaca disusul dengan lahirnya prototipe kedua N250, yang dinamai Krincing Wesi. Bila Gatotkaca berkapasitas 50 penumpang, maka Krincing Wesi berkapasitas 70 penumpang. Krincing Wesi terbang perdana 11 Desember 1995 dan telah mengantongi uji terbang 200 jam.
Habibie telah merencanakan produksi pesawat komersial itu hingga ke Amerika Serikat (AS). Pada 1995, ia meneken declaration of intent bersama Gubernur Alabama tentang minat pendirian pabrik perakitan di Kota Mobile, Alabama. Produksi pesawat N250 diperkirakan satu hingga tiga pesawat per minggunya. Tanah seluas 15 hektar untuk perakitan N250 pun telah disiapkan.
N250 juga rencananya akan dirakit di Jerman, tempat Habibie menimba ilmu penerbangan selama 20 tahun sebelum diminta oleh Soeharto melalui Ibnu Sutowo untuk kembali ke Indonesia. IPTN akan mendirikan pabrik Kota Lemwender, Jerman. Khusus untuk pasar Eropa, IPTN bakal memfokuskan produksi N250 70 penumpang, Krincing Wesi.
Namun, mimpi memproduksi pesawat N250 secara besar-besaran itu segera kandas ketika krisis moneter 1998 datang. Dana anggaran dan non anggaran untuk proyek N250 dihentikan, berdasarkan klausul yang dimuat dalam Letter of Intent (LoI) antara Soeharto dan Direktur International Monetary Fund (IMF) Michael Camdessus di Jakarta. Fasilitas kredit kepada IPTN pun dihentikan.
Prototipe Gatotkaca dan Krincing Wesi masih terus dapat menjalankan uji terbang dengan dana pengembangan dari IPTN sendiri. Namun, pada akhirnya IPTN tidak kuat membiayai N250 karena terus menderita kerugian akibat krisis ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja pun terjadi di IPTN.
Pesawat N250 saat tiba di Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta
Foto : Jauh Hari Wawan S/detikcom
Dalam sebuah wawancara pada tahun 2013, Habibie mengatakan, Indonesia adalah negara kepulauan. Tidak mungkin menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dengan jalur darat. Satu-satunya adalah dengan mengembangkan transportasi udara. Maka, IPTN sejak awal membuat pesawat komersial yang dapat melayani transportasi antar pulau di Indonesia.
“Kenapa kita membuat N250? Andai N250 sudah terbang, maka pesawat itu adalah suatu pesawat yang benar-benar diuji coba untuk mengangkut dengan murah (low cost carrier) di Bumi Indonesia,” kata Habibie seperti dimuat dalam buku PT DI, Perjalanan Anak Bangsa Menguasai Teknologi Dirgantara.
Habibie bilang, perlu waktu 50 tahun untuk mengembangkan kedirgantaraan Indonesia, yang kemudian menghasilkan pesawat CN235 dan N250. Sementara N250 harus terkubur oleh krisis ekonomi, Habibie mendirikan Regio Aviasi Industri (RAI) untuk mengembangkan pesawat baru, yaitu R80. RAI juga bekerjasama dengan PT DI.
Sementara N250 Gatotkaca kini masuk museum. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, masuknya N250 ke museum TNI bertujuan untuk mengabadikan karya terbaik anak bangsa. Pesawat itu menjadi inspirasi bagi generasi muda atas kegigihan para pendahulu untuk menguasai teknologi kedirgantaraan.
"Semoga kehadiran Gatotkaca di Yogyakarta dapat menjadi pembangkit semangat generasi penerus untuk menunjukkan cintanya kepada tanah air untuk melalui karya-karya nyata yang bermanfaat sebagaimana para pendahulu," ucap Hadi.
Penulis: Irwan Nugroho