INTERMESO

Hidup Tanpa Kenal 
Sosok Ayah

“Aku dari lahir sampai besar sekarang hampir 24 tahun belum pernah ketemu ayah. Namanya pun aku nggak tahu.”

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 24 Februari 2020

Seharusnya ulang tahun menjadi momen menggembirakan bagi Ifan Manuk (24). Tapi setiap hari itu datang, Ifan selalu memasang wajah cemberut. Ingin sekali Ifan dapat merayakan hari jadinya bersama ayah dan ibunya. Namun keinginan itu hanyalah angan-angan belaka.

Setiap ulang tahun, hanya ibu Ifan yang setia mendaraskan doa untuk anak semata wayangnya. Di rumahnya yang terletak di Pulau Solor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur, Ifan tidak pernah merasakan kehadiran ayah.

Sejak lahir, Ifan tidak pernah mengenal sosok ayahnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hubungan dan kedekatan antara seorang anak laki-laki dan ayah. Makanya Ifan bingung ketika harus membicarakan tentang ayah, terutama ketika teman di sekolah menanyakannya. Ifan tidak pernah tahu harus mengatakan apa.

“Sedihnya kalau pas ulang tahun, karena lihat teman-teman bisa merayakan keluarga lengkap. Begitu juga kalau ada teman tanya soal ayah. Kalau ditanya aku jawab sembarang. Tapi kalau pun teman tahu aku nggak punya ayah, syukurlah nggak pernah diejek sama kawan,” tutur Ifan kepada detikX. Sama seperti hari ulang tahun, Ifan juga harus melewatkan hari raya Natal tanpa sosok ayah.

Ifan Manuk (24)
Foto : Instagram

Waktu SMA itu benar-benar susah. Sampai pernah aku tiga hari tiga malam nggak makan karena nggak ada uang.”

Tidak pernah sekali pun sang Ibu membahas mengenai ayah Ifan. Begitu pula ketika Ifan menanyakan tentang ayah kepada paman dan bibinya. Tak sekali pun mereka pernah memberikan jawaban. Hal ini pun membuat Ifan kebingungan. “Aku dari lahir sampai besar sekarang hampir 24 tahun belum pernah ketemu ayah. Namanya pun aku nggak tahu. Kalau tanya aku nggak enak juga harus mengenang masa lalu dia. Ada niat mau tanya, tapi takut bikin mama sedih,” ungkapnya.

Tanpa kehadiran ayah, Ifan dan ibunya harus melewati hari dengan penuh perjuangan. Ibunya membesarkan Ifan seorang diri. Saat duduk di bangku sekolah dasar, Ifan hampir putus sekolah karena kesulitan biaya. Seperti kebanyakan penduduk di Pulau Solor, ibu Ifan bekerja sebagai petani jagung. Untuk menambah penghasilan, ibunya berjualan buah di sebuah pelabuhan di Kota Larantuka. Seringkali Ifan absen dari sekolah untuk membantu ibunya berjualan.

“Buahnya seperti mangga, jeruk, srikaya. Kami beli di pasar buat dijual lagi. Dari Pulau Solor ke Larantuka kami harus langgar laut. Kami jualan di dermaga atau di dalam kapal Pelni sebelum mereka berlabuh. Kalau kapalnya belum datang kami berkeliling di kota,” kenang Ifan. “Kalau punya ayah mungkin aku nggak perlu menderita seperti ini, fokus di belajar saja. Tapi kenyataannya aku harus bisa bagi waktu. Kalau dibayangin kadang mau nangis tapi nggak bisa, serahkanlah pada Tuhan.”

Begitu masuk SMA, Ifan merantau ke Kota Kupang. Untuk memenuhi kebutuhannya selama sekolah dan indekos, Ifan bekerja paruh waktu sebagai tukang ojek. Sepeda motornya ia pinjam dari seorang teman. Sesekali ibunya mengirimkan uang untuk membantu Ifan. “Waktu SMA itu benar-benar susah. Sampai pernah aku tiga hari tiga malam nggak makan karena nggak ada uang,” ungkap Ifan.

Saat itu belum ada akses perbankan di kampung halaman Ifan. Jika ingin mengirim uang, Ibunya harus menaiki kapal menuju Kupang. “Waktu itu masih belum ada ATM. Uangnya harus dikasih langsung. Kalau mama nggak kebagian kapal harus nunggu lagi besok.”

Ifan Manuk (24) saat berada di perantauan di Pulang Bangka
Foto : Instagram

Selain kepada ayahnya, Kini Ifan juga harus menahan rindu kepada sang Ibu. Sudah lima tahun belakangan ini Ifan tidak pernah berjumpa dengan ibunya. Selepas lulus SMA, Ifan merantau dan mencari peruntungan di Pulau Bangka.

Dengan modal uang Rp 1,2 juta dari hasil bekerja sebagai penjaga toko, Ifan berangkat seorang diri. Sambil bekerja, Ifan juga mewujudkan cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.  “Janjiku sama mama di sini cuma setahun. Ternyata setelah datang ke sini dapat kerjaan. Dari niatnya mau pulang kampung, aku berpikir panjang, aku lebih pilih untuk kuliah di sini sampai sekarang. Satu tahun pertama kuliah mama nggak tahu, mama tahunya aku kerja saja,” ucap mahasiswa semester akhir di STMIK Atma Luhur ini. 

Ifan ingin cepat menuntaskan skripsinya dan pulang ke kampung halaman. Selain ingin melepas rindu dengan Ibu, Ifan ingin mendapat jawaban atas pertanyaan yang terus menghantui hidupnya. “Aku berharap mama bisa terbuka. Aku sebenarnya nggak mau tanya. Aku berharap mama yang ngomong duluan. Aku kan sudah besar jadi aku berhak tahu,” tutur Ifan. “Sampai sekarang aku berharap banget bisa ketemu langsung sama papa. Ingin merasakan kehangatan pelukan seorang ayah. Aku mau papa melihat kerja keras aku dan mama. Semoga Tuhan mendengarkan doaku.”


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE