INTERMESO

Jalan Pulang dari Suriah (2)

“Apakah kami akan dikembalikan ke Indonesia?” tanya salah seorang kerabat Febri. “Oh tidak, kalian akan dipindahkan ke Afrika!”

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 19 Februari 2020

“Tidak! Tidak juga untuk pelatihan agama! Sebaiknya kamu tidak ikut pelatihan-pelatihan itu!” pinta ibu dan kakak perempuan Febri Ramdani ketika mengetahui anak lelaki satu-satunya itu harus mengikuti pelatihan agama (dauroh syar’i) dan pelatihan militer (dauroh asykari) yang digelar Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau, dalam bahasa Arab-nya, Al Daulah Al Islamiyah Al Iraq Al Sham (Daesh) pada 2017.

Kegembiraan dan keharuan bertemu keluarga di Suriah berbalik menjadi kebingungan bagi Febri. Keluarga besarnya awalnya sangat antusias pergi ke Suriah. Namun semua kemudian mengaku tertipu oleh propaganda ISIS. Kenyamanan, kesejahteraan, pendidikan, pengobatan gratis, dan pekerjaan yang dijanjikan tak pernah terwujud. Yang ada justru kekerasan, peperangan, dan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan tentara ISIS kepada musuh-musuhnya, baik warga asing maupun penduduk lokal.

Ketika Febri datang, keluarganya, yang bermukim di Raqqa, saat itu sebenarnya sedang berusaha keluar dari 'lubang neraka’ di Suriah. Ada 14 anggota keluarga Febri yang saat itu berada di Raqqa, termasuk ibu dan kakak perempuannya. Perjuangan mereka bisa kembali pulang ke Indonesia dituangkan Febri Ramdani dalam bukunya berjudul 300 Hari di Bumi Syam: Perjalanan Seorang Mantan Pengikut ISIS, yang terbit Februari ini.

“Iya, tapi kenapa?” tanya Febri kepada mereka, yang ingin cepat-cepat keluar dari Suriah. Satu per satu keluarganya bilang bahwa ISIS adalah penipu. “Lalu pimpinan mereka… Abu Bakar al-Baghdadi ada di mana?” tanya Febri lagi. “Nggak tahu! Selama dua tahun kami di sini, kami tidak sekali pun bertemu dengan orang itu. Jangankan dia, amir-amir di bawahnya semacam gubernur atau pimpinan daerah saja nggak pernah lihat. Alasannya amniyah (rahasia) untuk keamanan,” jawab mereka.

Pengikut ISIS diduga dari Indonesia saat latihan tempur di Suriah beberapa tahun lalu.
Foto: dok. Istimewa

Semuanya palsu dan bohong. Tak ada syariat Islam, tak ada keadilan. Semua barbar. Asal bunuh sana bunuh sini. Akhirnya semua sepakat keluar dari Suriah. Febri diminta beralasan sakit agar tidak dikirim ke kamp pelatihan ISIS. Ibu dan kakaknya memberikan makan bawang merah sebanyak-banyaknya agar suhu badan Febri naik. Benar saja, tak lama badan pemuda ini menunjukkan gejala tak normal. Ketika tentara ISIS datang, mereka tak bisa membawa Febri ke pelatihan. Setiap dua hari mereka mendatangi apartemen itu, dan beberapa kali mereka gagal.

Febri pun diminta tetap berada di dalam dan tak keluar apartemen agar tidak bertemu dengan tentara atau mata-mata ISIS lainnya. Situasi Kota Raqqa saat itu semakin kacau. Serangan-serangan udara pihak militer koalisi semakin intensif dilakukan. Keluarga Febri terus mencoba mencari koneksi kepada warga lokal yang mau meloloskan mereka keluar dari Suriah. Penduduk lokal Suriah ternyata lebih banyak yang tak suka pada ISIS. Hal itu juga merepotkan untuk meyakinkan bahwa mereka bukan bagian dari ISIS.

Keluarga Febri menjalin kontak dengan beberapa orang yang mengklaim bisa menyelundupkan mereka keluar dari Suriah, tapi tak pernah terwujud. Alih-alih bisa keluar dari Suriah, beberapa kali mereka malah tertipu. Keluarga Febri pernah ditipu warga lokal yang cukup dikenalnya, Mus’ab dan Muhkar. Keduanya meminta biaya menyelundupkan 14 orang keluarga Febri sebesar US$ 40 ribu, setara dengan Rp 500 jutaan, dan harus dibayar di muka. Karena tak punya uang sebesar itu, keluarga Febri pun bermusyawarah dan nilainya diturunkan dan harus bayar uang muka.

Barang-barang milik keluarga dikumpulkan untuk memudahkan pemberangkatan. Namun, sampai empat bulan lamanya, janji Mus’ab dan Mukhtar tinggal janji. Uang muka dan barang-barang berharga keluarga Febri ludes entah dibawa ke mana. Keluarga Febri juga sempat didatangi warga lokal lainnya, seorang perempuan bernama Suha. Namun perempuan itu meminta  US$ 7.000. Ternyata Suha berkomplot dengan Mus’ab dan Mukhtar untuk menipu keluarga Febri.

Suriah masih mencekam. Wanita dan anak-anak di Suriah mengungsi akibat pertempuran antara Pasukan Demokrat Suriah dan Amerika dengan ISIS di Bagouz, Suriah .
Foto: Chris McGrath/Getty Images

Di tengah keputusasaan, seorang perempuan keluarga Febri akhirnya bisa menjalin koneksi dengan pedagang tua di Pasar Raqqa bernama Ahmad. Pria tua itu iba terhadap nasib keluarga Febri dan mencarikan penyelundup yang mau membawa mereka keluar dari wilayah ISIS. Pertemuan Ahmad dan keluarga Febri terjadi di bulan Ramadhan atau Juni 2017. Ahmad berhasil menemukan penyelundup yang sanggup membawa keluarga itu keluar dan dikenai biaya US$ 4.000 atau Rp 50 jutaan. Saat itu Ahmad meminta agar keluarga itu menyerahkan diri ke tentara SDF (Syrian Democratic Forces), pasukan oposisi pemerintahan Suriah.

Walau berhasil, perjalanan menuju wilayah SDF tak mudah. Beberapa kali keluarga Febri hendak ditipu oleh kelompok penyelundup. Barang-barang dan handphone mereka hilang. Mereka juga harus ditembaki oleh pasukan SDF karena ternyata penyelundup tak berkoordinasi. Baru beberapa hari kemudian pasukan SDF mengizinkan mereka mendekat. Mereka dibawa ke kamp tahanan dan pengungsian di Tell Abyad, Suriah, tak jauh dari Kota Akcakale, Turki.

Keluarga Febri dipisah, perempuan dan anak-anak dibawa ke kamp pengungsian yang dikelola United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan SDF di Ain Issa. Sementara lima orang lelaki keluarga Febri harus mendekam di sel SDF di Tell Abyad. Di tempat itulah selama satu bulan menjalani pemeriksaan dan interogasi, baik oleh tentara SDF maupun tentara Amerika Serikat. Beruntung, Febri dan saudara lainnya tak mengalami kekerasan secara fisik.

Tak lama pihak SDF pun membebaskan mereka. Rupanya, soal keberadaan WNI eks ISIS di penjara itu mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Mereka pun menjalin kontak dengan SDF untuk membebaskan dan menjemputnya. Febri sempat bertanya apakah benar mereka akan dibebaskan. “Ya, kalian akan segera keluar dari ini,” jawab salah seorang tentara penjaga SDF. “Apakah kami akan dikembalikan ke Indonesia?” tanya salah seorang kerabat Febri. “Oh tidak, kalian akan dipindahkan ke Afrika!” jawab anggota SDF itu, yang membuat Febri dan lima saudaranya bengong. “Tentu saja kalian akan dikembalikan ke Indonesia!” buru-buru anggota SDF itu menjawab lagi sambil tertawa. Mereka pun tertawa, ternyata anggota SDF itu bercanda.

Seorang bocah lelaki melihat reruntuhan bangunan yang dihancurkan oleh pertempuran di dekat kamp pengungsi Hamam al-Alil, Kota Mosul, Irak pada 5 April 2017.
Foto: Carl Court/Getty Images

Kemudian, Febri dan keluarganya berlima, ditambah seorang anak bernama Ali, 13 tahun, asal Indonesia dibawa ke Kota Duhok, wilayah Kurdi, yang merupakan perbatasan langsung Suriah dengan Irak. Di tempat inilah Febri berkumpul lagi dengan ibu dan kakaknya. Total WNI eks ISIS yang dijemput pihak KBRI di Baghdad (Irak), Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) berjumlah 18 orang.

Lalu mereka selama tiga pekan diinapkan di Erbil International Hotel, Erbil, Irak. Selama beberapa hari mereka menjalani interogasi dari pihak Kemenlu, BNPT, BIN, dan Densus 88 Mabes Polri, serta intelijen Irak. Setelah selesai, pada 12 Agustus 2017, ke-18 WNI ini diterbangkan ke Indonesia. Begitu tiba, mereka langsung dimasukkan ke asrama BNPT di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Beberapa yang lainnya langsung menjalani proses pidana karena terlibat langsung dengan ISIS. Keluarga Febri langsung menjalani program deradikalisasi dan pembinaan selama satu bulan sebelum dilepas ke masyarakat.


Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE