Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 14 Januari 2020Musim yang ditakuti para singles alias “jomblowan” dan “jomblowati” di penghujung tahun tiba juga. Nama bulan dengan akhiran kata “ber” bukan hanya dikenal sebagai musim hujan, tapi juga sekaligus musim kawin. Rumah Dewi Permata salah satunya yang tidak berhenti 'dihujani' amplop cantik berwarna-warni. Isinya mengundang Dewi untuk hadir di acara pernikahan. Teman-teman satu geng Dewi semasa kuliah perlahan memang mulai menanggalkan status jomblonya.
Di musim ini pula, mendadak banyak orang di sekitar Dewi mulai mengajukan pertanyaan sejuta umat “kapan nikah?” Seolah ingin mengingatkan kalau-kalau Dewi lupa jika dia merupakan perempuan single berusia 28 tahun yang belum punya gandengan. Awalnya menyebalkan memang, tapi kini ditanggapi Dewi dengan santai. “Dulu aku ditanya begitu masih agak risih, sekarang jadi masa bodo. Aku jawabin aja ‘Emang kalau aku nikah nanti mau kasih amplop berapa?’” canda perempuan asal Surabaya, Jawa Timur, ini.
Tanpa pasangan bukan berarti hidup Dewi tidak bahagia. Beberapa tahun belakangan ini merupakan masa gemilang karir Dewi. Ia berhasil bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan multi-nasional. Divisi yang dipimpinnya bolak-balik naik podium karena memenangi berbagai penghargaan. Sebagai balasan atas kerja kerasnya, Dewi selalu menyempatkan waktu menjelajahi berbagai belahan dunia. Belum lama ini, Dewi baru pulang dari India.
Ilustrasi
Foto : Thinkstock
Meski Dewi amat menikmati hidupnya kini, bukannya dia tidak pernah terlintas pikiran untuk menikah. Sebelumnya ia pernah menjalani hubungan asmara selama empat tahun pacaran dengan seorang pria. “Aku putus karena bosan karena merasa hubungannya begitu-begitu saja,” tuturnya. Meski putus, bukan berarti Dewi jadi antipacaran. “Aku beberapa kali ketemu dengan orang baru, tapi belum nemu yang cocok. Ngapain dipaksain menikah demi mengejar status? Toh aku juga nggak buru-buru mau nikah.”
Generasi milenial seperti Dewi memiliki pandangan berbeda tentang pernikahan, termasuk usia menikah. Ketika Gen-X lahir di Amerika Serikat pada tahun 1965, usia pernikahan pertama kali yang umum adalah 21 tahun untuk wanita dan 23 tahun untuk pria. Namun belakangan, menurut studi yang dilakukan Pew Research, usia rata-rata wanita menikah menjadi 27 tahun dan pria di usia 29 tahun.
Pergesaran pola pikir untuk menunda pernikahan bukan tanpa sebab. Dari hasil penelitian oleh Gallup, pernikahan masih dianggap penting bagi milenial, tapi mereka menunggunya karena berbagai alasan, dari menemukan orang yang tepat, hingga merasa siap dan finansial yang stabil. Generasi milenial dianggap lebih bijaksana dalam memilih pasangan.
Generasi milenial seperti Dewi kini lebih terobsesi dengan aktualisasi diri. Mereka mengejar pendidikan, karier, bisnis dan hal-hal lain yang mengacu pada kesuksesan. Ketika menikah, kehidupan menjadi terbagi. Hal itu yang banyak ditakuti generasi milenial. Semakin banyak pula milenial yang fokus dengan stabilitas finansial. Mereka baru siap menikah jika persyaratan kemampuan ekonomi sudah terpenuhi.
Ilustrasi pernikahan
Foto : Thinkstock
Tak hanya Dewi yang menunda pernikahan, Richard Gunawan pun berpikiran serupa. Menikah bukan menjadi prioritas utama Richard. Ia bahkan tidak ada kepikiran untuk menikah. Keputusan ini sudah ia suarakan kepada orang tuanya, dengan harapan agar mereka tidak menunggu dan mengharapkan cucu darinya. “Sempat diskusi empat mata sama orang tua. Untungnya mereka menerima keputusan aku. Dari dulu aku memang nggak ingin menikah cuma karena tuntutan dari keluarga,” ungkap pria berusia 30 tahun ini.
Generasi millenial yang belum menikah mendapatkan kebebasan ketimbang generasi millenial yang sudah menikah. Hal inilah yang disukai Richard. Dengan tidak menikah, dia memiliki lebih banyak pilihan dan bebas menentukan arah hidupnya. Di samping itu, financial advisor di perusahaan asuransi ini juga tidak suka anak kecil. "Kalau menikah aku harus berbagi ruang dengan orang lain. Aku juga harus mengalah dan merelakan mimpi-mimpi di masa depan," kata Richard yang ingin melanjutkan kuliah S2.
Badan Pusat Statistik (BPS) pernah mengeluarkan Indeks Kebahagiaan Indonesia 2017. Hasil penelitian terhadap 72.317 responden di 487 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi menunjukkan beberapa hasil yang cukup mengejutkan. Salah satunya adalah soal tingkat kebahagiaan para singles. Menurut data, tingkat kebahagian para jomblo lebih tinggi ketimbang mereka yang sudah menikah. Hasil penelitian ini mengundang perdebatan. Alasannya, banyak pula pihak yang tidak setuju menilai bahwa kebahagiaan juga bisa didapatkan melalui kehidupan berkeluarga.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim