Ilustrasi : Edi Wahyono
Semula Ciputra mengira semua rencana yang disusunnya berjalan dengan baik. Terutama perihal masa depan keempat anaknya: Rina Ciputra Sastrawinata, Cakra Ciputra, Candra Ciputra, dan Junita Ciputra. Ketika menyelesaikan studi, mereka diharapkan untuk segera bergabung ke Ciputra Group, perusahaan keluarga yang dibentuk Ciputra.
Dari awal, Ciputra menerbitkan perusahaan dengan nama PT Citra Habitat Indonesia atau PT CHI. Perusahaan itu bukan untuk mengembangkan jumlah usaha yang sedang ditanganinya. PT CHI merupakan cara Ciputra mengajari anak tentang nilai perjuangan dari titik nol, menjadikannya sebagai sekolah kehidupan. Ia ingin turun tangan membimbing mereka selama masih sehat dan gesit. Sampai ada kabar tersiar bila anaknya menikah, Ciputra tidak memberi rumah atau mobil, tapi memberi proyek yang dananya berasal dari utang.
“Saya tertawa mendengar ini. Memang benar adanya,” ungkap Ciputra dalam buku Ciputra The Entrepreneur, ditulis oleh Alberthiene Endah. Ia tidak ingin anaknya bangga hanya karena ayah mereka adalah seorang Ciputra. Mereka harus bangga karena prestasi mereka sendiri.
“Walau ayah mereka adalah pebisnis sukses bernama Ciputra, hidup tetaplah keras. Kita tak pernah bisa menebak akan terjadi apa di esok hari. Apa yang kita bangga-banggakan hari ini bisa lenyap dan tak berbekas. Dunia tak akan berhenti menyodorkan cobaan. Dan hanya orang-orang bermental kuat yang akan bertahan.”
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Mereka harus menjadi pribadi yang percaya diri dan penuh dengan energi positif. Bayangkanlah jika banyak orang muda pandai di negeri ini yang tertekan? Kita akan kehilangan calon pembangun bangsa.”
Pengusaha, Ciputra (alm)
Foto : dok. Humas Ciputra
Kakak tertua mereka, Rina, yang terlebih dahulu bergabung dengan PT CHI. Proyek pertamanya membangun perumahan di kawasan Citra Garden. Sementara adik-adiknya (Junita, Candra, dan Cakra) masih kuliah di Amerika Serikat.
Pada tahun 1987, Ciputra memutuskan berlibur agak lama bersama istri ke San Fransisco, Amerika, tempat anak-anak kuliah. Ciputra sekalian ingin menjelaskan tentang PT CHI yang kian berkembang. Ternyata kunjungan itu membawanya pada suatu kenyataan yang tidak duga.
Setibanya di San Fransisco, Ciputra dikagetkan dengan pengakuan anaknya Junita. Selama kuliah di negeri Paman Sam, ia dan kedua adiknya selalu merasa tegang dan tidak bisa rileks. Hal ini sangat menganggu aktivitas kuliah mereka.
“Saya adalah Ciputra yang amat sibuk dengan berbagai pikiran memenuhi kepala. Saya seseorang yang praktis dan jauh dari romantis. Apa yang saya lihat baik-baik saja, akan saya anggap baik-baik saja. Tidak pernah sekali pun saya melihat ada ketidakberesan pada diri anak-anak saya,” tutur Ciputra.
Pengakuan ini tentu membuat ia sangat terkejut. “Saya sudah merasa menjalankan segala sesuatu dengan benar sebagai seorang ayah. Dan mereka tumbuh baik di bawah pengasuhan penuh cinta dan ketelatenan ibunya. Tidak ada yang tak beres pada diri anak-anak saya,” begitu awalnya Ciputra mengira.
Junita dan adik-adiknya berusaha mengurangi tekanan itu dengan menghubungi seorang psikolog bernama Mrs. Frances. Psikolog itu memberikan terapi khusus untuk mengurangi tekanan dan membebaskan mereka dari rasa cemas dan tegang. Nama terapi itu primal scream. Terapi ini menstimulasi pasien untuk meneriakkan apa saja yang menekan batin mereka. Menjeritkan sesuatu yang mendasar di lubuk hati. Junita tak menceritakan penyebab yang membuat mereka merasa tegang. Karena itu Ciputra minta dikenalkan pada psikolog tersebut. Mrs. Frances menjelaskan sesuatu yang tidak ia duga.
“Mr. Ciputra, anak-anak Anda memang menderita perasaan cemas luar biasa. Itu kemudian berdampak pada sikap mereka. Dalam hal apa pun mereka selalu merasa tegang dan takut membuat kesalahan. Mereka bercerita pada saya bahwa cara didik anda terlalu keras pada mereka. Mereka sering gugup dan amat takut dimarahi anda,” kata Ciputra menuturkan Mrs. Frances. “Mereka juga mengatakan pada saya, mereka tak mau kembali ke Indonesia untuk bekerja di perusahaan keluarga. Karena mereka takut membuat kesalahan.”
Sang Anak Mengenang Sosok Ciputra
Foto : Achmad Dwi Afriyadi/detikcom
Ciputra terkesima luar biasa mendengar penuturan psikolog itu. Tanpa pikir panjang ia segera mengajukan diri untuk bisa berkonsultasi mendalam dengan psikolog. Ciputra ingin tahu hal yang keliru dari dirinya sehingga membuat anaknya begitu ketakutan. “Bagaimana pun relasi saya dengan anak-anak adalah sesuatu yang mahapenting. Saya tak mau kehilangan mereka. Bahwa mereka tak mau kembali ke Indonesia karena takut pada saya, itu adalah realitas yang sungguh menampar batin,” ungkapnya.
Begitulah awalnya sesi konsultasi psikologi itu dimulai. Mrs. Frances mengundangnya untuk datang ke rumah yang dijadikan klinik konsultasi. Terapi dilakukan setiap hari dan diisi dengan sesi tanya jawab. Ciputra juga diminta meneriakkan hal-hal yang menegangkan dan menakutkan. Pada sesi khusus, anak-anak dipertemukan dengan Ciputra. Dalam sesi itu mereka saling berbicara terbuka.
Di sini terungkap bahwa mereka sangat tertekan selama bertahun-tahun karena cara didik Ciputra yang keras dan menuntut kesempurnaan. “Saya melihat begitu banyak kesalahan di diri saya dalam cara didik terhadap anak. Saya berjanji akan memperbaiki itu. Dan memang sesudah mengikuti primal scream, sikap saya terhadap anak berubah total,” ujarnya.
Ciputra betul-betul memenuhi janjinya itu. Setibanya di Indonesia, ia begitu berjuang keras untuk mengubah diri. Ciputra mengubah gaya komunikasinya menjadi lebih hangat dan terbuka, kepada anak-anak dan karyawannya tanpa harus menurunkan kadar perfeksionis terhadap kerjaan. Junita dan Candra kembali bersamaan ke Indonesia di awal tahun 1989. Mereka bergabung ke proyek Citra Garden 2 yang pada masa itu sedang berada di puncak kesibukan.
“Jika saya kembali ke masa itu, ingin saya revisi sikap saya. Ingin saya peluk anak-anak berlama-lama dan mengatakan bahwa sebetulnya saya sangat mencintai mereka. Bahwa saya bekerja membanting tulang karena dorongan cita-cita yang besar, demi kebaikan mereka juga. Saya tak ingin anak-anak sengsara seperti saya di masa kecil.”
Pengusaha, Ciputra (alm)
Foto : dok. instagram Ciputra
Belajar dari pengalamannya sendiri, Ciputra meyadari betapa banyak anak-anak yang tertekan karena cara didik orang tuanya. Suatu kali ia menemukan buku yang ditulis Dr. Thomas Gordon, seorang psikolog yang sangat terkenal di Amerika. Bukunya berjudul Parents Effective Training. Di dalamnya terdapat banyak sistem pelatihan efektif yang mampu menyehatkan komunikasi antara orang tua dengan anak.
Tak menunggu lama, Ciputra mengundang Profesor Saparinah Sadli dan meminta bantuan untuk mempelajari sistem tersebut. Sadli lantas mengirim seorang psikolog ke Amerika untuk belajar langsung dari sang penulis buku. Setelah kembali ke Indonesia, psikolog itu menggelar pelatihan di Jaya Group yang juga Ciputra hadiri selama enam minggu. “Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Mereka harus menjadi pribadi yang percaya diri dan penuh dengan energi positif. Bayangkanlah jika banyak orang muda pandai di negeri ini yang tertekan? Kita akan kehilangan calon pembangun bangsa,” ungkapnya.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban