INTERMESO

Bukan Tanya Mbah Google, Tapi Kok Bisa?

Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Tanyakan pertanyaanmu di sini.

Foto: Para kreator konten Neutron (Foto: Dok Widya Media)

Senin, 18 November 2019

“Kenapa kadang-kadang kita kayak mau jatuh pas tidur?” Sebuah tanda tanya muncul di benak Ignatius Bima. Ketika sedang asik terlelap, seketika dirinya merasakan sensasi terjatuh yang membuatnya bangun. Fenomena aneh pada tubuh ini sebetulnya lazim terjadi dan bukan sekali dua kali Ignatius merasakan sensasi seolah terjatuh. Berbekal rasa penasaran, Ignatius ingin mencari tahu jawaban atas pertanyaannya itu. Kali ini bukan bertanya kepada 'Mbah Google' yang konon dapat menjawab pertanyaan apa pun. Ignatius bertanya kepada “Kok Bisa?,” sebuah channel edukasi sains di YouTube yang telah berdiri sejak 2015 silam.

Channel YouTube Kok Bisa? memang diciptakan untuk menjawab pertanyaan sederhana yang muncul dari kejadian sehari-hari. Pertanyaan seperti “Apa yang terjadi kalau kita bunuh semua nyamuk?” atau “Apakah ada ujung alam semesta?” dirangkum jawabannya dalam bentuk video animasi edukatif. “Melalui animasi, Kok Bisa? kita percaya bahwa konsep yang rumit bisa digambarkan dengan kontekstual dan lebih mudah dipahami,” tutur Ketut Yoga Yudistira, salah satu pendiri channel Kok Bisa? Selain Yoga, channel edukasi ini juga didirikan bersama Gerald Sebastian.

Melalui channel Kok Bisa? dua orang anak muda ini pernah mendapat penghargaan di acara YouTube Creator Summit Asia Pacific di Seoul, Korea Selatan. Kok Bisa? lahir dari keresahan terhadap banyaknya konten-konten negatif yang bertebaran di Indonesia. Saat itu, sembari menyusun skripsi demi menuntaskan kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia, mereka rela begadang dan menerbitkan video baru tiap minggunya. Mereka pun berbagi tugas. Ada yang menjadi researcher untuk mencari informasi dan disusun menjadi konten video. Ada pula yang membuat ilustrasi dan animasinya.

Salah satu video Kok Bisa?
Video : Youtube

Salah satu hal yang diterapkan dalam video Kok Bisa? adalah interaksi dengan penonton melalui kolom komentar. Di sini penonton bisa ikut mengajukan pertanyaan. Selain membuat audiens merasa dilibatkan, cara ini berguna untuk mencari ide konten yang lucu dan segar. Pada Media Event YouTube Kids November 2018, mereka menerima Gold Creator Award atas pencapaian 1 juta susbcriber. Kini channel Kok Bisa? berhasil meraih 1,85 juta subscriber. “Kami nggak mau berhenti di sini. Kami kepengin konten pendidikan asli buatan anak muda Indonesia ini juga bisa dinikmati sampai ke audiens mancanegara juga," ujar Yoga.

Kita menyadari orang Indonesia lebih suka liat gambar dan video. Bahkan di samping Google, YouTube saat ini juga menjadi search engine yang bisa diandalkan.'

Kok Bisa? tak sendiri. Muncul berbagai macam channel YouTube dengan konten edukatif kreatif. Salah satunya Neuron yang baru terbentuk Juli 2018 silam. “Di samping Kok Bisa? kami juga terinspirasi dari YouTube channel Kurzgesagt-In a Nut Shell yang juga bikin konten edukasi sederhana tapi berkualitas. Bisa dibilang Neuron merupakan passion project yang jadi bisnis,” ucap Muhammad Ahwy Karuniyado atau yang akrab disapa Edo, salah satu founder Neuron.

Bersama dengan empat founder lainnya yaitu Daniel Anugerah Widjaja, Kim Egberth Litelnoni, Anjas Risky Maradita, dan Muhammad Arthur Argantara Benefict membuat video pertama dengan judul 'Transgender Dalam Dunia Kesehatan'. Mereka menyadari bahwa masyarakat di Indonesia lebih menyukai grafis ketimbang tulisan. Ketimbang membaca jurnal ilmiah ratusan lembar, audiens kini mengandalkan YouTube sebagai sarana pencarian informasi sains.

Neutron menjelaskan salah satu tanda depresi lewat animasi (Dok Neutron-Instagram).

Dampak polusi (Dok. Neutron-Instagram)

Sebuah studi yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016 mengenai 'Most Literate Nations in The World" menguatkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-60 dari total 61 negara, atau dengan kata lain minat baca masyarakat Indonesia disebut-sebut hanya sebesar 0,01 persen atau satu berbanding sepuluh ribu. “Celah itu juga yang kita baca. Kita menyadari orang Indonesia lebih suka liat gambar dan video. Bahkan disamping Google, YouTube saat ini juga menjadi search engine yang bisa diandalkan,” ungkap Edo, alumnus Universitas Pelita Harapan jurusan Psikologi ini.

Dulu butuh waktu sekitar satu bulan bagi Edo dan kawan-kawannya untuk membuat sebuah konten video. Namun, setelah Neuron berkembang dan dibantu tim yang kebanyakan masih mahasiswa, Neuron dapat memangkas setengah waktunya. Proses pembuatan video edukasi ini pun tidak sembarangan. Setelah menentukan topik, ada tim riset yang akan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber. Salah satunya jurnal internasional maupun website resmi.

“Kita selalu mulai dari mencari informasi dari sumber yang akurat. Lalu kita bikin story telling supaya lebih relevan dan bahasanya dipermudah. Selanjutnya baru divisualisasikan dan disunting sebelum di-publish,” ungkap Edo menjelaskan alur pembuatan konten Neuron. Jika ada penonton yang tertarik untuk menelusuri sumber informasi lebih dalam, Neuron juga menyediakan aksesnya. “Biasanya akan kita sertakan link jurnal atau website yang kita kutip informasinya. Kumpulan link itu bisa diakses melalui platform Medium.” Kini Neuron telah di-subscribe oleh lebih dari 140 ribu penonton. Rencananya Neuron akan lebih mengembangkan konten mengenai pendidikan seks dan kesehatan jiwa.


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Irwan Nugroho

[Widget:Baca Juga]
SHARE