INTERMESO

Berburu Ilmu
di Tanah Para Nabi

“Saya yang hanya paham ana, antum, akhi dan ukhti ini harus bersabar dalam mengikuti kelas dan berhadapan dengan huruf-huruf gundul.”

Foto: Dok. Cahyani Gadubun

Senin, 4 November 2019

Dinar Zul Akbar memandang foto dirinya dan kedua orangtuanya ketika tengah berpose di depan Jabal Rahmah, Mekkah. Dinar masih tidak menyangka dirinya dapat membawa mereka umrah ke tanah suci. Tak sampai di situ, Dinar bahkan terdaftar sebagai mahasiswa tingkat akhir di Islamic University of Medina, Arab Saudi. Kini Dinar tengah menikmati masa-masa menimba ilmu di tanah para nabi. Ia mengambil jurusan ilmu hadis dan studi keislaman.

Dulu selepas lulus SMA, jangankan berani berkhayal menginjakkan kaki di Tanah Suci, Dinar harus merelakan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Keadaan keluarganya memaksa Dinar untuk pontang-panting bekerja. Kerap kali ia merasa bersalah kepada kedua orangtuanya. Terlebih karena Dinar belum bisa membahagiakan kedua orang tuanya.

“Maaf ya Mak, belum bisa kasih apa-apa untuk saat ini, tapi Insya Allah doain aja nanti mudah-mudahan bisa kasih sesuatu buat orangtua,” ungkap pria yang juga berprofesi sebagai blogger dan penulis lepas ini.

Dinar Zuk Akbar (paling kanan) bersama kedua orangtuanya.
Foto : Instagram

Namun, karena kondisi bekerja yang tidak nyaman, Dinar perlahan tidak kerasan. Berbekal hasil diskusi bersama seorang ustaz yang telah ia kenal sejak SMA, Dinar mengambil keputusan besar. Dia meninggalkan pekerjaannya dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin di Jakarta Selatan. “Proses meyakinkan (orangtua) butuh waktu beberapa hari dan penuh bercucuran air mata,” tulis Dinar dalam buku Perantau Ilmu Timur Tengah-Afrika.

Kalau calon mahasiswa lain hanya diantar maksimal dua mobil, saya waktu itu diantar rombongan empat mobil. Maklum namanya juga satu-satunya orang Betawi di kampung yang berhasil ke luar negeri.”

Karena tak ada penghasilan, Dinar putar otak. Untuk membayar uang kuliah, ia akhirnya berjualan kecil-kecilan. Mulai dari minyak wangi, siwak dan obat herbal lainnya. Sebelum memasuki perkuliahan, Dinar juga diwajibkan mengikuti kelas persiapan bahasa Arab selama satu tahun. Pada tahap ini ia merasa amat kewalahan.

“Saya yang hanya paham ana, antum, akhi dan ukhti ini harus bersabar dalam mengikuti kelas dan berhadapan dengan huruf-huruf gundul,” ujarnya.

Tapi perjuangannya tak sia-sia. Di tahun 2011 sebuah lembaga bahasa Arab milik Kerajaan Arab Saudi di Jakarta membuka beasiswa. Tak pikir panjang, Dinar langsung mendaftar dan melewati proses ujian masuk. Dinar diterima sebagai mahasiswa di sana. Namun di tengah masa belajar yang sudah memasuki dua semester, Dinar kembali mendapat informasi mengenai Beasiswa di Islamic University of Medina. Tak ingin melewatkan kesempatan yang lebih besar, Dinar kembali mencoba peruntungan.

“Penguji masyayikh alias dosen dan pihak universitas yang datang langsung dari Madinah. Saya pesimis melihat peserta lain. Banyak di antara mereka yang bisa membuat dosen penguji tertawa. Sedangkan saya hanya bisa menertawakan diri sendiri karena kurangnya keterampilan bahasa,” tutur Dinar.

Seolah tak percaya, Dinar masuk dalam daftar diterima beasiswa. April 2014 menjadi hari yang tidak bisa ia lupakan. Ia berangkat sebagai anak betawi asli diantar oleh orang sekampung. “Kalau calon mahasiswa lain hanya diantar maksimal dua mobil, saya waktu itu diantar rombongan empat mobil. Maklum namanya juga satu-satunya orang Betawi di kampung yang berhasil ke luar negeri,”

* * *

Cahyani Gadubun (kedua dari kiri)
Foto : Dok Probadi

Semenjak kuliah di Yordania, rasa was-was kerap menghantui keluarga dan teman Cahyani Gadubun di Indonesia. Terlebih karena posisi Yordania bersebelahan dengan negara Palestina dan Suriah yang kondisinya memprihatinkan karena konflik. Sampai suatu hari temannya bertanya mengenai kondisi Cahyani.

“Ca, lo aman kan di sana? Nggak pernah denger suara bom kan?” tanya temannya. Cahyani hanya bisa menjawab dengan tertawa geli. “Kalau di sini nggak aman, nggak mungkinlah gue sempet update insta stories tiap hari.”

Cahyani mengenyam pendidikan sarjana di Yarmouk University. Kampusnya terletak di Kota Irbid yang pada zaman dahulu dikenal dengan nama Arabella atau Arbera. Di kota ini, jumlah pelajar Indonesia bisa dihitung pakai jari. Paling tidak hanya berjumlah 15 orang termasuk Cahyani. Namun, ketimbang kondisi tempatnya berkuliah, Cahyani lebih khawatir dengan ujian tiada akhir.

Berbeda dengan Indonesia yang sistem perkuliahannya hanya memiliki dua kali ujian yaitu Ujian Tengah Semester atau UTS dan Ujian Akhir Semester atau UAS. Di Yarmouk University, Cahyani harus melewati tiga kali ujian yaitu Ujian I, II dan III. Jika Cahyani mengambil enam mata kuliah dalam satu semester, berarti ia harus mengikuti 18 ujian dalam waktu 4 bulan. Kesulitan beradaptasi dalam sistem kuliah ini  membuat Cahyani pernah undur diri dari suatu mata kelas.

“Aku dapat nilai 2 dari 20 di ujian II, sangat memalukan memang. Tapis sejak saat itu aku memperbaiki cara belajar menjadi cukup efektif,” ungkap mahasiswi jurusan Economics and Islamic Banking ini.

Perlahan tabungan Cahyani juga mulai menipis. Ia menyesal karena tak sempat belajar memasak. Alhasil ia harus memesan makanan cepat saji untuk makan sehari-hari. Sebetulnya Cahyani ingin membeli makanan khas Arab yang harganya jauh lebih murah. Tapi apa daya. Kemampuan bahasa Arab yang sangat minim, Cahyani malah ciut mengadapi orang Arab.

Hal ini pula yang menyulitkan perempuan kelahiran 1995 ini untuk mendapatkan teman. Cahyani kesulitan mencari teman baik di asrama maupun teman di kelas. Setiap menjawab panggilan telepon dari sang ibu, Cahyani meraung sambil menangis karena tidak betah. Ibunya yang tidak tega sempat menyarankan putrinya untuk pindah ke Amman, ibu kota Yordania. Di sana lebih banyak pelajar putri dari Indonesia.

“Namun karena sifat keras kepala dan gengsi yang cukup tinggi, aku memutuskan untuk bertahan dan bertekad kuat, selesaikan apa yang sudah kamu mulai,” tuturnya.

Kesulitan saat menyesuaikan diri di negeri orang ini juga dirasakan Wafiq Aulia, mahasiswa Beirut Islamic University – Akkar atau dikenal dengan nama Jami'ah Daar El-Fatwa.  Pekarangan kebun zaitun dan deretan rumah warga Halba, kota kecil di bagian utara Lebanon menjadi saksi bisu ketika Aulia pertama kali menginjakkan kakinya 2016 silam.

Di Arab bahasa terbagi menjadi dua, yaitu Arab Fusha (formal) dan Arab Ammiyyah (nonformal). Aulia sudah siap menyapa teman-temannya dengan bahasa Fusha. Namun ketika masuk jam pelajaran kuliah, hanya sebagian perkataan dosen yang dipahami dan sebagian lagi larut mengikuti arus. Melihat Aulia kebingungan, teman-teman dari lebanon mengolok. “Mereka bilang 'Andunisisyyun La Yafhamuun' (orang indonesia pada nggak paham),” tuturnya dalam buku Perantau Ilmu Timur Tengah-Afrika.

Rupanya bahasa formal jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya bahasa formal seolah lelucon yang membuat perut gatal. Bahasa formal hanya ditemukan dalam buku atau koran. “Rasa jengkel, iri, muncul bergantian. Aku anggap itu hanya candaan dan menjadi motivasi agar lebih giat dalam belajar. Tapi dosen yang luar biasa keilmuannya, teman dari berbagai negara mendorongku semakin semangat dalam menimba ilmu di fakultas syariah ini,” ungkap Aulia.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE