INTERMESO

Sebuah Seni
Menata Hidup

“Efek pertama dari membuang barang rasanya lega sekali melihat ruangan kerja saya plong. Saya seperti masuk ke tempat kerja yang baru.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 30 September 2019

Seorang pria asal Jepang, Fumio Sasaki, sadar, kepemilikan benda yang terlalu banyak tidak membuatnya bahagia, namun malah menderita. Hidupnya terus dikontrol oleh barang-barang pembeliannya untuk memenuhi gengsi. Ruang kerjanya sangat berantakan dan membuatnya stress. Sejak saat itu ia tidak lagi mengikuti tren fashion yang datang silih berganti. Pria berusia 35 tahun ini mulai membuang barang tidak penting dan tidak lagi dibutuhkan. Alhasil, editor di sebuah penerbitan di Tokyo ini hanya hidup di sebuah apartemen kecil dengan tiga pasang pakaian dan selembar matras.

"Saya merasa bahagia dengan kondisi ini, justru setelah saya membuang hampir semua benda yang saya miliki sebelumnya," kata Fumio dalam kolomnya di The Guardian. Fumio menjadi seorang minimalis. Ia menjalankan gaya hidup sangat sederhana. "Intinya, mengurangi kepemilikan barang sebanyak mungkin dan hanya memiliki benda yang memang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari."

Gaya hidup minimalis yang diadopsi dari ajaran Buddhisme Zen mengajak pengikutnya hidup secukupnya, bahkan seminim mungkin. Tapi bukan karena pelakunya pelit atau tidak punya uang. Kekosongan itu merupakan jalan menuju hidup yang lebih baik. Membuang barang yang tidak diperlukan dengan harapan dapat mengambil alih kehidupan dan menentukan prioritas kepemilikan.

Kumpulan koleksi buku tentang gaya hidup minimalis
Foto : Dok. Pribadi Ratna Marcecilia

"Saya mulai berpikir tentang apa yang tidak saya miliki, apa yang hilang," katanya. "Menghabiskan waktu bersih-bersih dan berbelanja yang lebih sedikit berarti saya memiliki lebih banyak waktu dengan teman, pergi keluar, dan jalan-jalan di hari libur. Saya menjadi lebih aktif," kata Sasaki. Sasaki menjadikan hidup minimalisnya sebagai contoh. Ia menuangkan pengalamannya dalam buku berjudul Goodbye, Things : The New Japanese Minimalism.

Untuk memulai pola hidup minimalis seperti yang diterapkan Sasaki bukanlah perkara mudah. Setidaknya hal itu yang dirasakan Ratna Marcecilia, seorang karyawan swasta yang belum genap enam bulan menjadi seorang minimalis.

Efek pertama dari membuang barang rasanya lega sekali melihat ruangan kerja saya plong. Saya seperti masuk ke tempat kerja yang baru. Alhasil, saya merasa ada semangat baru ketika mengerjakan pekerjaan saya. Konsentrasi dan fokus bekerja juga saya rasakan.”

"Saya membeli buku ini karena saya merasa semua barang saya menumpuk. Lama-kelamaan, saya merasa malas sekali membereskannya. Tapi pusing sekali melihat keadaan berantakan seperti itu. Saya pikir buku ini mungkin akan memberikan petunjuk cara membereskan dan meletakkan barang-barang yang kita miliki dengan baik dan benar, ternyata saya salah,” ungkapnya kepada detikX beberapa waktu lalu.

Buku karya Sasaki memang tidak menjelaskan cara meletakkan dan membereskan barang-barang, melainkan efek positif dari prinsip hidup minimalis. Nana juga merasakan keresahan yang dialami Sasaki. Sebelum menerapkan prinsip minimalis, Sasaki merasa stress dan jenuh dengan pekerjaannya. Padahal pekerjaan itu merupakan pekerjaan idamannya.

“Saya juga merasakan hal yang sama. Jenuh dengan kerjaan. Jadi ketika saya pulang kerja, bukan rasa lelah karena tantangan pekerjaan, tapi lelah karena terlalu jenuh,” ungkap Nana yang sudah enam tahun bekerja di sebuah perusahaan swasta ini.

Penasaran terhadap efek positif dari hidup minimalis yang dikatakan Sasaki, Nana ikut mempraktikkannya. Wanita 30 tahun ini memulainya dengan membereskan ruang kerja dari barang yang tidak digunakan, termasuk kertas dan amplop bekas yang tidak lagi terpakai. Semua barang yang dulu ia pikir akan digunakan suatu hari pun dibuang tanpa terkecuali.


Ratna Marcecilia -- Foto: Istimewa

"Efek pertama dari membuang barang rasanya lega sekali melihat ruangan kerja saya plong. Saya seperti masuk ke tempat kerja yang baru. Alhasil, saya merasa ada semangat baru ketika mengerjakan pekerjaan saya. Konsentrasi dan fokus bekerja juga saya rasakan,” ungkap Nana. Hal ini tidak hanya ia terapkan di ruang kerjanya, namun juga tempat tidurnya di rumah. “Selama hampir enam bulan ini ada turun-naiknya. Yang paling susah itu untuk konsisten menjadi minimalis karena saya sudah biasa berantakan,” tuturnya.

Untuk mempertahankan kebiasaan minimalisnya, Mahdianto, pria 25 tahun yang memiliki channel YouTube tentang minimalis, menerapkan prinsip kebiasaan 21 hari. Ia mengatakan, setelah melewati masa 21 hari hidup minimalis maka niscaya kebiasaan itu akan berjalan dengan sendirinya.

"Awalnya waktu mulai menerapkan minimalis juga susah, takut kehilangan barang yang sudah saya beli. Apalagi dulu saya hobi koleksi kaset PS. Sebulan bisa sampai keluar Rp 3 juta untuk beli kaset,” ungkap Mahdianto yang sudah dua tahun menjadi minimalis.

Mahdianto mengenal gaya hidup ini dari film dokumenter 'Minimalism: A Documentary About the Important Things' yang tayang di Netflix. Film ini mengikuti kehidupan dua orang Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus yang juga dikenal dengan sebutan 'The Minimalists'. Mereka mengusung konsep 'less is more', di mana hidup dengan hanya sedikit barang dan perabotan membuat hari-hari mereka terasa lebih berharga. Film ini juga menginspirasi penulis sekaligus komedian Raditya Dika untuk menjadi minimalis.


Reporter: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE