Foto-foto: dok. Misbar Jakarta
Selasa, 17 September 2019Bioskop paling anyar kini sudah dilengkapi segudang fasilitas untuk memanjakan penontonnya. Mulai ruangan dingin, sofa empuk, sampai teknologi 4DX, yang memungkinkan penonton seolah berada dalam film. Namun sekelompok pemuda ini malah lebih memilih menonton lewat layar tancap beratap langit sambil basah-basahan di tengah hujan yang turun di Kota Jakarta.
Acara sudah dirancang sedemikian rupa, namun perihal cuaca siapa bisa menduga. Pada malam Minggu beberapa waktu lalu, sekitar 40 pemuda asyik nonton di rooftop gedung Jakarta Smart City (JSC) Hive di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Latar lanskapnya gedung-gedung tinggi yang mengitari tempat tersebut. Malam itu giliran film bergenre horor berjudul Danur yang diputarkan. Baru setengah jalan film yang diangkat dari buku karya Risa Saraswati berjudul Gerbang Dialog Danur itu ditayangkan, hujan tiba-tiba mengguyur.
Panitia acara berinisiatif menawarkan sisa film akan diputarkan setelah hujan reda. Sementara itu, bagi yang ingin tetap lanjut menonton juga telah disediakan layar di dalam ruangan. Tapi anak-anak muda yang berusia 20 tahunan ini justru menolak bubar. Alhasil, mereka tetap duduk di beanbag warna-warni, melanjutkan pemutaran film di layar berukuran 3x4 meter, sambil mengenakan jas hujan transparan yang sudah disediakan.
"Ternyata penonton tetap mau bertahan di ruang terbuka dengan jas hujan dan kondisi masih gerimis," ujar salah seorang pengunjung, Sarah Auliya. Sementara Public Relations & Social Media Manager Misbar Jakarta, Olivia Afina menyebut pengalaman tersebut membuat Misbar punya keunikan. “Justru yang dicari oleh penonton kita experience seperti ini, yang nggak akan ditemukan di bioskop lain," tutur Olivia, yang juga Co-Founder Misbar Jakarta, pada detikX beberapa waktu lalu.
Penonton dengan santai menikmati film di rooftop sebuah gedung di Jakarta.
Acara yang menghadirkan kembali pengalaman menonton di ruang terbuka di tengah hiruk-pikuk Kota Jakarta ini digagas secara kolektif para pencinta film bernama Misbar Jakarta. Misbar Jakarta dibentuk oleh Putra Adyasa beserta tujuh anak muda lainnya. Keinginan anak-anak muda ini membuat wadah menonton film dengan gaya yang berbeda dan belum ada di Jakarta. Olivia menyebut awalnya disepakati konsep nonton bareng atau nobar. "Tapi kalau nobar saja tidak menarik," ujarnya.
Kemarin ditunda juga karena cost untuk drive in besar banget, sementara kita baru dan masih ngetes ombak dan uji coba."
Mereka juga sempat terpikir menggunakan konsep drive-in theater. Konsep semacam ini begitu populer di Negeri Paman Sam dan sudah ada sejak 1920-an. Mobil diparkir di area bioskop, lalu penonton tinggal menikmati film dari dalam mobil. Salah satunya seperti Ocala Drive-In di Florida, yang masih eksis hingga saat ini. Namun niat itu diurungkan karena keterbatasan lahan di Jakarta.
“Kalau drive-in menonton di outdoor dan yang ditonjolin experiencenya, itu bukannya nggak jadi, tapi kita tunda, karena konsep kita experience cinema. Konsepnya bisa apa pun, nggak cuma drive-in,” tutur perempuan berusia 23 tahun ini. “Kemarin ditunda juga karena cost untuk drive-in besar banget, sementara kita baru dan masih ngetes ombak dan uji coba.”
Konsep drive-in theatre sendiri pernah digelar di Taman Impian Jaya Ancol. Jaya Ancol Drive-in Theatre, yang dibuka pada 11 Juli 1970, merupakan yang terbesar di Asia dengan daya tampung 850 buah mobil. Arenanya pun dibangun di atas tanah seluas 5 hektare serta mempunyai tempat parkir seluas 4 hektare. Layarnya dibentangkan sampai 40 meter dengan tinggi 19 meter. Proyektornya pun didatangkan dari Jepang, produksi Toshiba. Era Jaya Ancol Drive-in Theater berakhir pada 1990-an.
Kita kasih experience lebih, jadi nggak cuma festival musik saja yang ada experience-nya."
Akhirnya disepakati acara nonton bareng dengan mengusung konsep layar tancap yang pengemasannya dirancang lebih modern untuk menarik kaum milenial. “Ide yang muncul waktu itu, kenapa nggak bawa misbar saja jadi nostalgia sekaligus kita kemas lebih modern dan lebih milenial bisa dibilang,” tutur Olivia. Lalu diskusi mereka pun berlanjut soal pengemasan seperti apa yang bisa ditawarkan agar menarik anak-anak muda.
Kalau zaman bahela nonton layar tancap di atas rumput segar atau tanah beralaskan koran, kini tempatnya dibikin senyaman mungkin. Rumput sintetis pun digelar, lalu sejumlah beanbag dijadikan kursinya. "Kita kasih experience lebih, jadi nggak cuma festival musik saja yang ada experience-nya," ujar Olive, yang merupakan lulusan Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
Tontonan dengan konsep alam terbuka sesungguhnya sudah lama ada di Indonesia. Bahkan dimulai pada era kolonial. Saat bioskop pertama pada November 1930, pemutaran berlangsung di sebuah rumah, sebelah toko mobil daerah Tanah Abang. Ketika itu, pemutaran film belum memiliki tempat permanen. Menurut salah satu sutradara legendaris Indonesia, Misbach Yusa Biran, dalam bukunya, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, pemutaran film kala itu mesti berpindah-pindah dari satu gedung ke gedung lain.
Bukan hanya dalam gedung, penayangan film pun kerap dilakukan di lapangan terbuka, seperti di lapangan Mangga Besar dan los Pasar Tanah Abang. Jika hujan turun, pertunjukan pun bubar dengan sendirinya alias misbar, gerimis bubar. Kejayaan layar tancap lalu meredup seiring dengan menjamurnya gedung-gedung bioskop di kota-kota dan tayangan televisi.
Misbar Jakarta akhirnya meluncurkan rooftop cinema sebagai ruang putar alternatif. Rooftop JSC Hive dipilih sebagai tempat pemutaran. Penonton bisa menonton sambil menikmati pemandangan gedung pencakar langit dan kota di malam hari. Acara nonton bareng ini pertama kali digelar pada 2 Februari 2019. Film yang diputar pun beragam, mulai Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, Danur, Critical Eleven, dan Kala.
“Kalau kriteria film kita lebih mengutamakan film mainstream, arus utama, karena target kita juga masyarakat umum. Makanya yang kita targetkan bukan film panjang independen, tapi film panjang arus utama yang sudah ada di bioskop atau pernah masuk festival film internasional,” kata Olivia. Belakangan, Misbar Jakarta tak hanya memutar film di JSC Hive, namun juga di rooftop sebuah hotel kawasan Senayan dan gedung di Bintaro, Tangerang Selatan.
Persiapan penyelenggaraan Beachfront Seanema di Sail Nias 2019
Misbar juga membuka diri jadi ruang putar bagi sineas maupun rumah produksi independen yang ingin menampilkan karyanya. Film yang terpilih untuk diputar melalui proses seleksi dan disesuaikan dengan tema. “Sebelum pemutaran film utama, akan kita putarkan 1-2 film pendek. Kita punya slot untuk film pendek, entah itu anak SMA, kuliahan, atau rumah produksi film yang filmnya berpotensi maju ke festival maupun sudah pernah menang.”
Bukan cuma nonton, Misbar Jakarta juga menyediakan berbagai sesi acara hiburan sebelum dan sesudah nonton. Untuk pemutaran film eksklusif seperti di rooftop cinema misalnya, penonton yang datang akan disambut oleh tim dan disuguhi welcome drink dan kudapan. Sambil menunggu acara dimulai, disediakan beragam tenant, salah satunya booth ramalan tarot, yang banyak dikunjungi penonton.
Selain menggelar kuis berhadiah, Misbar Jakarta kerap mengundang musisi Tanah Air lokal maupun nasional untuk menghibur penontonnya. “Selain itu, semua kita kasih hospitality ke semua tamu, serving tamu beda deh sama yang lain,” ujarnya. Tiket nonton Misbar Jakarta berkisar Rp 85-250 ribu.
Sayang dikit lagi ending filmnya harus bubar karena hujan. Benar-benar misbar, gerimis bubar
Setelah sukses menggelar rooftop cinema, Misbar Jakarta akan mengadakan acara nonton baru. Kali ini konsepnya mengusung tema garden cinema. Acara nobar ini akan diadakan di Gedong Putih, Kabupaten Bandung Barat, pada 11 Oktober 2019. Acara ini menargetkan lebih dari 400 pengunjung. Di tengah taman hijau yang luas, penonton bakal menikmati film di antaranya Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak dan Short Movie Kenapa Belum Nikah. “Selain nonton, nanti akan ada intimate karaoke dan kita mau undang movie maker sebagai pembicara di sesi talk show,” katanya.
Misbar Jakarta juga berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menggelar layar tancap di Sail Nias 11-13 September lalu di Gunungsitoli, Nias. Kali ini acaranya diberi nama Beachfront Seanema. Dua film diputar dalam gelaran tersebut, yakni Filosofi Kopi dan Sekala Niskala.
Bagi masyarakat Gunungsitoli hadirnya Misbar saat Sail Nias lalu seolah mengobati kerinduan mereka menonton bioskop. "Di pulau kami ini nggak ada bioskop, nontonnya kalau kebetulan ke Medan saja. Begitu dengar ada layar tancap kami sekeluarga langsung cus ke pantai," kata Ephin Natalia Zebua pada detikX.
Pengalaman yang didapatkannya pun berbeda dibanding nonton di bioskop konvensional. Mulai dari pilihan lokasi yang menawan sampai suasana yang ditawarkan. "Super cozy, betah duduk lama-lama nonton sambil minum kopi. Apalagi bisa bonding dengan anak karena duduknya bisa dekat banget," ujar Ephin. Sayang dikit lagi ending filmnya harus bubar karena hujan. Benar-benar misbar, gerimis bubar."
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Pasti Liberti Mappapa