INTERMESO


Layar Penghibur Kaum Jelata

“Ini bioskop yang menurut aku, beneran memihak kalangan menengah ke bawah dengan kualitas mumpuni dan enggak kalah dengan bioskop lain.”

Ilustrasi : Edi Wahyono, Foto : Pradita Utama

Minggu ,15 September 2019

Belum sempat mengganti baju seragam merah putihnya yang basah dengan keringat, Sabrina sudah kembali keluar rumah. Ia kelihatan begitu bersemangat menemani sang ibu, Nur Fatima, berbelanja di Pasar Jaya Teluk Gong, Pejagalan, Jakarta Utara yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya. Sabrina pun tidak rewel meski harus menunggu Nur tawar menawar dengan pedagang cabai rawit.

Rupanya Nur sudah berjanji pada anak bontotnya itu nonton bioskop usai mereka berbelanja. Nonton bioskop memang laksana barang mewah bagi Nur sekeluarga. Seumur-umur, Nur hanya pernah sekali membawa Sabrina nonton bioskop di mal. Itu pun karena anaknya merengek ingin nonton film animasi buatan Malaysia BoBoiBoy: The Movie.

Waktu itu, begitu melongok harga tiketnya, ibu rumah tangga ini sempat elus dada. Seandainya bukan karena ingin menyenangkan anak, Nur menyebut uang tiket itu lebih baik dipakai buat beli sembako. Kali ini bukan bioskop di pusat perbelanjaan mewah yang mereka tuju. Namun tempat pemutaran film yang disebut Indiskop. Lokasinya pun di pasar tradisional langganan mereka yang hampir setiap hari didatangi.


Sebelum menyudahi aktivitas berbelanjanya, Nur tak lupa menyisihkan selembar uang Rp 5 ribuan. Ia menuju gerobak penjual gorengan yang mangkal di kawasan pasar. Satu kantong plastik keresek berisi bakwan dan pisang goreng berpindah ke tangannya. “Buat dimakan di dalam sambil nonton,” ujar Nur tersenyum sambil menunjukkan kantong transparan yang ditentengnya.

Bioskop Indiskop terletak di lantai paling atas pasar yang terletak di Kecamatan Penjaringan itu. Terdapat papan petunjuk arah yang dapat memudahkan pengunjung untuk mencari keberadaannya. Begitu tiba tak ada kesan tempat seluas 1300 meter itu satu atap dengan pasar. Desain interiornya memang dibuat serupa dengan bioskop besar walaupun lebih bersahaja. Bedanya tak tercium aroma gula berondong jagung yang khas. 

Indiskop memang tampil berbeda. Bioskop ini mengusung konsep bioskop rakyat. Sasarannya pun tak biasa. Kalangan menengah ke bawah sebagai target utama. Tiketnya juga terbilang cukup terjangkau kocek. Dibanderol Rp 18 ribu per orang di hari biasa, sementara di akhir pekan tiketnya dijual Rp 25 ribu. Tempat ini memang tidak terkoneksi dengan jaringan bioskop-bioskop raksasa yang menjamur di perkotaan dan menguasai pusat-pusat perbelanjaan.

Calon penonton yang sedang mengantri di loket pembelian tiket

Bioskop yang baru dibuka untuk uji coba sejak 22 Juni lalu ini memang masih sepi. Beberapa orang terlihat mondar mandir hanya untuk sekedar melihat atau foto. Di loket tiket, Nur dan Sabrina disambut seorang petugas perempuan. Hari itu harusnya Nur bisa menonton film lawas Tjoet Nja Dhien karya Eros Djarot dan R.A. Kartini karya Sjumandjaja. Namun karena terdapat gangguan teknis, Nur hanya ditawarkan film Filosofi Kopi yang diperankan oleh aktor Chicco Jerikho dan Rio Dewanto.

Kita cuma bertiga dingin juga ya. Kalau saya di rumah enggak pakai AC

Proses transaksi tiket ini sudah selayaknya bioskop di mal. Untuk memilih kursi, Indiskop menggunakan aplikasi yang ditampilkan pada perangkat tablet. Pada layar sentuh itu Nur memilih kursi D11 dan D12. Dari 112 kursi yang tersedia, hanya ada tiga penonton termasuk detikX. Setelah tiket dibayar, Nur diberikan tiket kertas yang di dalamnya berisi judul film, nomor studio, jadwal penayangan, nomor kursi dan harga tiket.

Tidak ada suara khas ala Maria Oentoe yang memanggil-manggil calon penonton saat film akan diputar seperti laiknya selalu terdengar di bioskop-bioskop jaringan besar. Hanya ada seorang petugas perempuan memandu kami menuju studio 2 yang dinding luarnya di cat kuning. Untuk saat ini Indiskop hanya memiliki dua layar bioskop.

Anak-anak menunjukkan karcis saat Indiskop masih dalam tahap percobaan

Sesaat setelah kami duduk di kursi berwarna abu-abu yang nyaman dengan nomor di pojok atas sandaran, lampu mulai diredupkan. Film langsung dimulai dengan kualitas suara yang terbilang lumayan baik. Embusan angin dingin keluar dengan kencang dari tiga penyejuk ruangan yang dipasang di dinding belakang penonton. Sesaat sebelum film ditayangkan, Nur sempat mengeluh kedinginan. “Kita cuma bertiga dingin juga ya. Kalau saya di rumah enggak pakai AC,” kata Nur.

Kondisi Indiskop tentu jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi bioskop rakyat tempo dulu. Tak ada lagi hawa panas dan kepulan asap rokok. Atau penonton yang harus berdiri karena tak kebagian tempat duduk. Kalau pun dapat tempat duduk harus pulang dengan dengan kondisi gatal karena banyak kepinding alias kutu busuk di kursi. Tak jarang pula aroma tak sedap tercium sepanjang film diputar.

Seorang travel blogger bernama Lenny Lim datang saat pertama kali ketika Indiskop diluncurkan. Saat itu, ia menemukan informasi mengenai Indiskop berseliweran di media sosial Twitter. "Ini bioskop yang menurut aku beneran memihak kalangan menengah ke bawah dengan kualitas mumpuni dan enggak kalah dengan bioskop lain," ujar Lenny yang dihubungi secara terpisah.

Satu keluarga yang menikmati film di Indiskop

Menurut Lenny kebutuhan akan hiburan sebenarnya tak melulu didominasi kalangan menengah ke atas. "Kadang ada yang keadaan ekonominya nggak mampu tapi mau hiburan berkualitas. Lewat Indoskop warga miskin juga bisa punya hiburan seperti warga menengah," ujarnya. "Kalau di sini nonton berempat nggak sampai Rp 100 ribu dan masih bisa beli makanan. Apalagi konsepnya di pasar jadi membantu perekonomian lokal warga sekitar."

Dengan mengusung tagline 'Nonton Yuk', Indiskop sengaja hadir untuk mengedukasi masyarakat yang tidak terbiasa menonton film. Diinisiasi oleh aktris sekaligus Ketua Persatuan Artis Film Indonesia atau PARFI, Marcella Zalianty, Indiskop mengincar kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang selama ini tidak tersentuh film di bioskop.

General Manager Indiskop Arry B. Wibowo, menyebut karena tak tersentuh film berkualitas, kelompok ini masih menjadikan sinetron sebagai hiburan utama, terlepas dari sinetron itu mendidik atau tidak. “Masyarakat menengah ke bawah masih banyak yang belum menonton film di bioskop. Alasannya karena yang di mal harganya tidak dapat disentuh warga menengah ke bawah. Kita mengajukan ide ini dan disambut Pemprov DKI melalui PD Pasar Jaya, itulah mengapa kita membuka Indiskop di pasar,” ujar Arry.

Suasana dalam studio Indiskop

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Rumah Sinema pada tahun 2017 Bekraf bersama Rumah Sinema melakukan survei terhadap 2 ribu responden terkait segmentasi dan pengambilan keputusan masyarakat untuk menonton film. Salah satu data yang dihimpun mengenai pendapatan penonton film dan frekuensi menonton. Ditemukan fakta bahwa hampir separuh penonton bioskop, yaitu sekitar 43%, punya pendapatan antara Rp 1 juta sampai Rp 5 juta per bulan.

Sebagian besar responden tidak selalu ke bioskop setiap pekan. Sebanyak 85% dari responden menonton film 1-2 kali saja dalam sebulan. Hanya 1% responden saja yang sangat aktif dengan kunjungan ke bioskop lebih dari 6 kali sebulan. Tahun 2015 silam, Presiden Joko Widodo juga sempat mengamini usulan sutradara Lucky Kuswandi untuk menambah jumlah bioskop di tanah air. Jokowi mengakui, budaya menonton film dari masyarakat rendah karena belum tersedianya bioskop untuk semua kalangan.

Bioskop rakyat Indiskop memiliki tiga konsep utama yaitu edukasi sinema, ruang kreatif, dan kuliner nusantara. Arry menyebut hadirnya Indiskop yang bisa diakses semua kalangan diharapkan dapat menumbuhkan sikap apresiasi masyarakat terutama terhadap film dalam negeri. Oleh sebab itu, film yang akan ditayangkan Indiskop pun diutamakan film Indonesia. Kesempatan pun diberikan pada pelaku perfilman dalam negeri yang karyanya hanya sebentar ditayangkan di bioskop besar dengan alasan tak laku.

Selain dua studio, di dalam Indiskop juga terdapat area yang nantinya akan dipergunakan untuk menyelenggarakan sejumlah program kreatif. Mulai dari kelas akting, kelas public speaking, lokakarya film, dan festival film. "Nantinya bisa menjadi semacam co-working space kreatif, terutama untuk seluruh lapisan masyarakat yang ingin belajar tentang film," kata Arry.


Reporter/Penulis: Melisa Meiloa

[Widget:Baca Juga]
SHARE