INTERMESO


Dari Bung Karno sampai Copet Pasar

Mahakarya Harijadi Sumadidjaja tersebar di sejumlah kota di Indonesia. Namun, ada juga karyanya yang tak terselesaikan karena faktor politik.

Foto : Pradita Utama/Detik

Selasa, 10 September 2019

Suatu hari di awal 1970, Direktur Jenderal Pariwisata yang kala itu masih tergabung dalam Departemen Perhubungan, Letnan Kolonel M.J. Prayogo mengundang seniman serba bisa Harijadi Sumadidjaja untuk makan malam. Tempat jamuannya terbilang spesial, Hotel Bali Beach Intercontinental di Sanur, Bali yang sekarang bersalin nama jadi Grand Inna Bali Beach.

Hotel ini paling tua di Pulau Dewata. Pembangunannya digagas Bung Karno pada 1963 bermodal dana pampasan perang dari pemerintah Jepang. Tak hanya bangunannya, Sukarno juga sangat peduli untuk mempercantik hotel itu dengan sejumlah mahakarya seni. Harijadi pimpinan Sanggar Selabinangun, Yogyakarta ditunjuk untuk membuat sebuah relief.

Harijadi lantas mendesain sebuah sketsa untuk dipahat pada medium batu andesit. Bung Karno digambarkannya sedang menggendong anak kecil sambil berdiri di tengah-tengah rakyat. Seniman kelahiran Ketawang, Kutoarjo, Jawa Tengah tersebut menamakan relief rancangannya Indonesia yang akan Datang. Puluhan seniman dan pekerja diberangkatkan ke Bali. Mereka diberikan fasilitas barak di dalam kompleks hotel.

Gonjang-ganjing peristiwa G-30-S 1965 mengubah segalanya. Sukarno harus turun dari kursi presiden secara tragis dan kena tahanan rumah. Presiden pertama Indonesia itu bahkan tak bisa melihat peresmian hotel yang digagasnya pada 1966. Pembangunan relief batu pun tersendat. "Dananya dihentikan," ujar Santu Wirono, putra Harijadi pada detikX, beberapa waktu lalu di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat.

Harijadi sedang memahat relief di Bandara Kemayoran -- Foto : Dok. Keluarga/IVAA

Terbelit soal keuangan, Harijadi tak menyerah. Ia mengutus adiknya Sudarmi dan iparnya Djakaria Suryakusumah membenahi keuangan. Sebagian pekerja dipulangkan ke Yogyakarta. Untuk menghidupi yang masih tinggal, Djakaria mengomprengkan kendaraan sanggar tujuan Denpasar-Singaraja. Sebagian lagi dipakai untuk biaya pengerjaan relief sedikit demi sedikit. Bagian Sukarno menggendong anak sudah terpahat.

Pukulan berikutnya datang di awal tahun 1968. Wakil Ketua Lembaga Pariwisata Nasional (LPN), Kolonel (Inf) EA Sumardja Adidyaja berkirim surat pada pengelola hotel. Masa itu pembiayaan proyek-proyek relief ditanggung LPN. Sumardja menyatakan lembaganya tidak berniat melanjutkan proyek relief batu tersebut. Sumardja pun tak keberatan jika seluruh anggota sanggar dipulangkan.

Rupanya Harijadi masih ngotot tetap ingin menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sampai akhirnya pada September 1969, manajemen hotel melalu Resident Manager, Sani Soemakno meminta pengosongan barak yang ditempati anggota sanggar. Manajer kelahiran Ambarawa, Semarang itu beralasan barak tersebut akan dipakai untuk perumahan karyawan.

Saya disuruh menghilangkan gambar Sukarno. Dengan janji, biaya pembuatan relief akan dialirkan lagi. Saya tidak mau.

Harijadi Sumadidjaja, seniman, pendiri Sanggar Selabinangun

Sani juga meminta proyek itu tidak dilanjutkan lagi. Area dimana proyek relief tersebut berada, rencananya akan dijadikan arcade dalam rangka perluasan hotel. Akhirnya seluruh seniman dan pekerja angkat kaki dari kompleks hotel tersebut. Mereka pindah ke Banjar Pekandelan yang letaknya sekitar satu kilometer dari tempat sebelumnya

Pemahatan relief desain Harijadi berjudul Flora dan Fauna Indonesia -- Foto : Dok. Keluarga/IVAA

Letkol M.J. Prayogo yang juga kolektor lukisan-lukisan Harijadi tampaknya mencoba memediasi, lewat undangan makan malam. Harijadi pun memenuhi undangan itu. Ia datang bersama dua anggota keluarganya. Baru saja Harijadi duduk, Sani datang menghampiri tetamunya. Sani minta izin untuk bicara empat mata dengan seniman itu. 

Beberapa saat kemudian Harijadi kembali tanpa didampingi Sani. "Ada apa?" tanya Prayogo pada seniman kelahiran 1919 itu. "Saya disuruh menghilangkan gambar Sukarno. Dengan janji, biaya pembuatan relief akan dialirkan lagi," ujar Harijadi seperti yang diceritakan kembali oleh anaknya. "Saya tidak mau."

Seperti batu andesit yang dipahatnya, Harijadi keras memegang pendiriannya. Akibatnya, di depan relief yang belum diselesaikan itu dibangun arcade dengan gerai-gerai yang menjual cenderamata. Maksudnya agar relief tidak terlihat lagi. Malah di bawah relief ditanam tumbuhan yang menjalar hingga menutup seluruh permukaan karya pahatan.

Tahun 1993, hotel itu terbakar hebat. Hampir seluruh bangunan hangus termasuk kios di depan relief. Ketika Agustus 2002, keluarga Harijadi mengunjungi Bali, relief yang terletak di teras belakang hotel tersebut sudah terbuka. Guratan-guratan bekas akar tumbuhan yang menjalar di atas permukaannya jadi saksi karya seni itu pernah dengan sengaja disembunyikan.

* * *

Harijadi seorang pelukis autodidak. Ia memulai kariernya sebagai pelukis poster film. Saat zaman gerilya, ia ikut angkat senjata. Harijadi bergabung dengan Tentara Pelajar Brigade XVII. Usai revolusi ia sempat mendirikan perkumpulan Seni Rupa Masyarakat bersama Affandi dan Hendra Gunawan. Namun kemudian mereka bergabung dalam Sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dipimpin S. Sudjojono.

Ayah dari delapan orang anak itu  juga termasuk seniman yang karya-karyanya dikagumi Bung Karno. Beberapa karyanya jadi koleksi presiden pertama Indonesia itu. Termasuk lukisan monumentalnya, Biografi di Malioboro yang dibuat pada 1954 dan Awan Berarak, Djalan Bersimpang yang dibuat 1955. Lukisan lainnya berjudul Tirakat dan Menghayal pun tersimpan jadi koleksi negara.

Hampir semua lukisan Harijadi punya narasi. Muaranya pada kenangan perjuangan kemerdekaan"

Di mata pengamat dan penulis seni rupa Agus Dermawan T, Harijadi adalah seorang pelukis yang bertahan pada "genre revolusi". Semua yang dilukis Harijadi punya spirit pribumi. Figur digambarkannya selalu berkulit sawo matang, berwajah Melayu, kuat, bertahan, dan “melawan". Latar lukisan Harijadi pun sangat Indonesiawi dengan penggambaran alam dan pekarangan agraris yang coklat kehijauan. "Hampir semua lukisan Harijadi punya narasi. Muaranya pada kenangan perjuangan kemerdekaan," ujar Agus pada detikX.

Saat Sanggar SIM diminta membuat relief beton di Bandara Kemayoran, Harijadi kebagian membuat satu bidang. Ia merancang relief bertema "Flora dan Fauna Indonesia". Sebagai pelukis realis, ia lantas jadi perfeksionis. Menurut Agus Dermawan, perfeksi itu juga terlihat dalam patung dan relief bikinannya. "Yang di Kemayoran itu contoh Harijadi yang perfeksionis," ujar Agus. "Walau dalam melukis karakter karyanya seringkali ekspresionis bahkan surealis."

Usai proyek Kemayoran itu, Harijadi memutuskan keluar dari SIM. "Ego antar seniman," ujar Santu soal alasan ayahnya meninggalkan Sudjojono. Anak Sudjojono, Tedjabayu menyebut hubungan asmara antara Sudjojono dan Rose Poppeck menjadi pemicu perpecahan Sanggar SIM. Sudjojono ingin mempertahankan hubungan pernikahannya dengan Mia Bustam sekaligus memperistri Rose.

"Teman-teman di SIM protes dan tidak setuju," kata Tedja. Harijadi lantas mendirikan Sanggar Selabinangun yang bermarkas di kediamannya, Bangirejo Taman Nomor 2, Yogyakarta. "Anggota yang lain menyusul keluar dan akhirnya Sanggar SIM bubar dengan sendirinya."

Mural Harijadi yang belum selesai di Museum Sejarah Jakarta
Foto : Pasti Liberti/detikcom

Mendirikan sanggar sendiri membuat Harijadi bertambah produktif. Bersama anggota sanggar, ia membuat mahakarya relief batu pahatan lainnya di Hotel Indonesia, Jakarta pada 1962 berjudul Pesta Pura di Bali. Lalu disusul relief Untung Rugi di Lereng Merapi di Hotel Ambarukmo Palace, Yogyakarta pada 1964. Santu menuturkan, Sultan Hamengkubuwono X sangat mengagumi relief tersebut. "Ini karya seni adiluhung," ujar Sultan seperti ditirukan Santu.

Bersamaan dengan proyek di Yogyakarta itu, dikerjakan juga relief di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Relief ini diberi judul Ombak Sepanjang Pantai. Sementara satu relief beton yang dibuat Harijadi di ruang tunggu VIP Bandara Adisucipto, Yogyakarta pada 1958 berjudul Bandung Bondowoso dihancurkan saat dilakukan perluasan ruangan.

Selesai mengerjakan proyek di Pelabuhan Ratu, Bung Karno memintanya mempersiapkan pembangunan Museum Sejarah Tugu Nasional yang sekarang bernama Monumen Nasional. Harijadi diutus ke Meksiko pada Mei 1965 untuk belajar soal museum. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan juga belajar seni mural di negeri itu.

Ini karya seni adiluhung

Tak hanya Bung Karno yang mengagumi karya-karya Harijadi. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pun kerap memintanya untuk menggarap karya seni di ruang publik. Bang Ali saat itu sedang mencanangkan pemugaran bangunan tua di kota lama. Ia mengharuskan ada karya seni yang khas Indonesia. Sudjojono dan Harijadi pun ditunjuk untuk mewujudkan niat tersebut.

Harijadi pun menyulap tiga permukaan dinding di ruang etnografi layaknya kanvas. Ia menggambarkan situasi Batavia saat akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Berbagai lukisan mulai stasiun, pelabuhan sampai Kali Ciliwung. Begitu juga suasana pesta, lengkap dengan sajian berbagai makanan di atas meja bundar. Ia juga menggambar para penjahat yang mendapat hukuman gantung di pohon. Juga copet pasar yang sedang beraksi mencuri dari pelaut yang mabuk

Sayang lukisan pada permukaan dinding setinggi hampir 7 meter tersebut belum rampung. Bagian atas "kanvas" dengan luas sekitar 200 meter persegi itu masih berupa sketsa tanpa warna. Dinding lembab yang menyebabkan cat sulit untuk menempel, jadi persoalan teknis. Faktor anggaran yang cekak juga jadi salah satu penyebab Harijadi yang dibantu dua anaknya tak bisa menyelesaikan mural itu.

Perawatan Patung Perjuangan Jatinegara yang dibuat Harijadi
Foto : Pradita Utama/Detik

Jelang akhir masa jabatan Bang Ali, Harijadi memenangkan sayembara membuat monumen mengenang perjuangan rakyat pada masa perang kemerdekaan di wilayah Jatinegara. Seniman yang suka balap itu membuat patung pemuda setinggi 2,5 meter berdiri tegak menyandang senapan dengan tangan bersedekap di dada, ransel di punggung, dan pada pinggang terdapat pistol, granat, golok, dompet serta tempat minum.

Harijadi itu Sukarnois, Pak Harto ngga suka

Agus Dermawan T, pengamat dan penulis seni rupa

Sementara di sampingnya ada patung anak laki-laki setinggi 1 meter bercelana pendek, telanjang dada, tanpa alas kaki dan di lehernya bergantung ketapel. Monumen ini dibangun di atas landasan setinggi 3 meter. Patung dibuat dengan bahan beton cor dan gips, dan pengecorannya dilakukan di Yogyakarta. Pembuatan monumen yang tepat berada di depan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Koinonia itu memakan waktu 2,5 tahun dan diresmikan oleh Gubernur Tjokropranolo.

Masa Orde Baru membuat spirit revolusi Harijadi yang meluap-luap pada zaman Bung Karno jadi tak tereksplorasi. "Harijadi itu Sukarnois, Pak Harto ngga suka," ujar Agus Dermawan. Akhirnya ide-ide revolusionernya hanya diceritakan pada para seniman di Pasar Seni Ancol atau di Taman Ismail Marzuki.

Agus yang mengenal Harijadi sejak 1978 menyebut Harijadi suka didaulat menyanyi di panggung Pasar Seni Ancol. Lagu-lagu yang dibawakannya pun bernada revolusi. Seperti Sepasang Mata Bola, Bandung Selatan di Waktu Malam, dan Aryati. "Biasanya sebelum nyanyi Harijadi cerita dulu, bahwa ia kenal baik dengan Aryati itu di zaman perjuangan," ujar Agus Dermawan. "Kalau sudah di panggung, Harijadi susah turun."


Penulis: Pasti Liberti Mappapa

[Widget:Baca Juga]
SHARE