Ilustrasi : Edi Wahyono
Sabtu, 7 September 2019Terkepung apartemen, hotel, dan gedung perkantoran berpuluh-puluh lantai, gedung Bandara Kemayoran boleh dibilang tergilas zaman. Tak ada tampak kawasan itu pernah jadi pintu gerbang Indonesia dari udara. Gedung dengan cat kusam warna merah dan putih itu kumuh tak terawat. Sebelum Bandara Kemayoran ditutup pada awal 1985 dengan alasan posisinya yang tak lagi strategis, gedung tersebut berfungsi sebagai kantor bandara dan ruang tunggu penumpang.
Kini, pada hari-hari tertentu, halaman gedung berlantai tiga yang masih rimbun lebih banyak diramaikan dengan aktivitas pecinta burung menggantangkan sangkar. Namun di balik kekumuhannya, tersembunyi karya-karya seniman-seniman legendaris yang pernah dimiliki negara ini. Letaknya di ruangan paling kanan gedung utama. Dulunya ruangan ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tetamu penting bandara internasional pertama di Indonesia itu.
Masuk ke dalam bekas ruang tunggu itu terlihat relief berada di sisi bagian kanan dari pintu. Naik ke lantai atas, dua relief lainnya dengan bentuk ukiran yang berbeda berada tepat di atas tangga dan sisi seberangnya. Semua relief hasil pahatan beton itu punya ukuran serupa. Tebalnya 15 sentimeter dengan tinggi 3 meter dan panjang 10 meter. Pada bagian bawah tiap relief terpahat logo kuda pegasus dan SIM dalam lingkaran.
Relief Manusia Indonesia karya S. Sudjojono (Pasti Liberti/detikX)
"Relief-relief itu dibuat rombongan seniman dari Yogyakarta yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dipimpin Sudjojono," ujar Tedjabayu, putra sulung Sudjojono pada detikX, beberapa waktu lalu. Tedja menyebut relief itu dibuat atas prakarsa Presiden Sukarno untuk memperlihatkan kekayaan dan karakteristik Indonesia pada para tamu yang datang dan meninggalkan Indonesia lewat Bandara Kemayoran.
Sesuai permintaan Bung Karno kalau ada calon murid, patung itu dijadikan model untuk tes kemampuan melukis dengan arang
Sindoedarsono Sudjojono merupakan salah satu seniman kesayangan Bung Karno. Belasan lukisan karya pria kelahiran Kisaran, Sumatera Utara itu jadi koleksi presiden pertama dan beberapa diantaranya terpajang di Istana Negara. Sanggar SIM yang berdiri di Madiun pada 1946 juga jadi perhatian Sukarno. Sewaktu kunjungan ke Yogyakarta pada 1953, Bung Karno secara khusus berkunjung ke sanggar yang terletak di Bangirejo Taman itu.
Sanggar SIM juga pernah mendapat sumbangan patung-patung gips peninggalan Belanda dari Bung Karno. Patung-patung itu replika dari koleksi museum dan istana di Eropa. Salah satunya, replika patung Venus de Milo. Bung Karno berpesan pada Sudjojono agar patung-patung tersebut jadi alat bantu latihan bagi murid-murid Sanggar SIM. "Sesuai permintaan Bung Karno kalau ada calon murid, patung itu dijadikan model untuk tes kemampuan melukis dengan arang," ujar Tedja.
Keluarga Sudjojono dan Harijadi berfoto bersama Bung Karno (Dok. Tedjabayu)
Sukarno di depan lukisan "Anak-anak Repolusi" karya S. Sudjojono
Order Presiden Sukarno yang memang terkenal sangat mencintai seni datang di awal 1957. Saat itu, Sudjojono yang turut mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia pada 1938 tersebut punya jabatan di ibu kota sebagai anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia. Waktu kembali ke Yogyakarta, Sudjojono mengabarkan permintaan Bung Karno pada anggota sanggar. "Saya masih ingat betul mereka rapat di rumah kami di Pakuningratan," ujar Tedja.
Rombongan seniman itu akhirnya menyepakati mereka akan membuat tiga bidang relief. Sudjojono menyanggupi membuat relief dengan tema Manusia Indonesia. Dari sebelah kiri relief Sudjojono menggambarkan aktivitas orang Indonesia di bidang pertanian, peternakan, dan kelautan dengan alat kerja yang sederhana. Semakin ke kanan, ia melukiskan gambaran aktivitas yang semakin modern dengan hadirnya mesin, kereta, dan bahkan pesawat.
Bung Karno yang juga seniman adiluhung ingin menunjukkan Indonesia di hadapan tamu negara dengan sebuah ilustrasi melalui media relief beton di halaman depan negeri ini"
Santu Wirono, putra Harijadi S., senimanSementara dua lainnya diserahkan pada Harijadi Sumodidjojo dan Soerono Hendronoto. Harijadi dan Soerono merupakan guru di sanggar SIM. Soerono yang juga pembuat desain Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pertama pada 1946, membuat sketsa dengan cerita Legenda Sangkuriang, Sementara Harijadi memilih tema Flora dan Fauna Indonesia. Kelak karya Sudjojono dan Harijadi diletakkan di lantai atas ruang tersebut.
Guru dan murid Sanggar Seniman Indonesia Muda di depan relief
Proses pengerjaan relief di Bandara Kemayoran (Dok. Santu Wirono)
Tiga bidang relief itu disebut jadi relief beton modern pertama di Indonesia. Santu Wirono, putra Harijadi mengatakan sebutan relief modern itu karena relief dibuat seniman SIM tidak terikat pada tradisi relief di Jawa, Bali, dan daerah lain yang bernafaskan agama atau kepercayaan. "Lalu Bung Karno yang juga seniman adiluhung ingin menunjukkan Indonesia di hadapan tamu negara dengan sebuah ilustrasi melalui media relief beton di halaman depan negeri ini," ujar Santu pada detikX di kediamannya di kawasan Jatiasih, Bekasi, pekan lalu.
Santu juga mengutip penuturan Marah Djibal salah seorang murid SIM yang terlibat dalam proyek tersebut. Djibal menyebut pembuatan relief itu termasuk ujian akhir para siswa SIM. "Dikerjakan tanpa menggunakan bantuan tukang saring dan aduk semen pasir," ujar Djibal seperti yang dituturkan kembali oleh Santu.
Tiga desain luar biasa itu direalisasikan secara luar biasa juga
Semua pekerjaan dilakukan siswa mulai dari tenaga bangunan untuk mengaduk semen dan mengerjakan pembetonan. Siswa juga berlaku sebagai tenaga artistik yang memindahkan desain ke atas beton lalu dipahat dengan teknik pahatan dalam. Tiap bidangnya dikerjakan 10 seniman. "Tiga desain luar biasa itu direalisasikan secara luar biasa juga," ujar Santu. Rombongan seniman Yogyakarta itu berhasil menyelesaikan tiga bidang tersebut dalam tempo 10 bulan.
* * *
Selain menampilkan indahnya pahatan, salah satu relief itu juga menyimpan cerita-cerita kepedihan. Kisah pengkhiatan Sudjojono pada istrinya, Mia Bustam yang berada Di Yogyakarta. Tedjabayu menyebut desain relief yang dibuat ayahnya menampilkan wajah perempuan Jawa memakai kain. Sosok perempuan itu diletakkan di dekat bagian tengah relief. "Modelnya ibu saya Mia Bustam," ujar Tedja. Namun relief dikerjakan, hasilnya perempuan bergaun dengan syal di pundak. "Berubah jadi perempuan berwajah indo."
Tak hanya soal sosok perempuan yang terpahat. Dedikasi relief pun berubah. Sudjojono mengukir tepat di sebelah kaki kanan perempuan itu sebuah tulisan berhuruf kapital "UNTUK ROSE". Rosaline Wilhelmina Poppeck, seorang penyanyi seriosa yang kemudian lebih dikenal dengan nama Rose Pandanwangi. Rose punya darah 'gado-gado' dalam tubuhnya. Ayahnya Gustav Poppeck seorang Jerman, sementara ibunya, Sara Elizabeth Font berdarah Spanyol dan Manado.
Amor vincit omnia
Hari-hari itu Sudjojono memang sedang mabuk kepayang pada Rose yang sudah bersuami. "Amor vincit omnia (cinta mengalahkan segalanya)," kata Tedja. Pertemuan pertama Sudjojono dan Rose terjadi pada 1951. Djon waktu itu terpilih menjadi anggota delegasi Indonesia untuk Festival Pemuda ke Jerman Timur. Sementara Rose berada di Eropa dalam rangka belajar. Pertemuan itu berlanjut jadi hubungan asmara saat keduanya tinggal di Jakarta beberapa tahun kemudian. Keduanya akhirnya menikah setelah menceraikan pasangannya masing-masing pada 15 Juli 1959.
Kejadian pahit lainnya, satu dasawarsa setelah tiga relief tersebut selesai. Peristiwa 1965 membuat Bung Karno jatuh dari jabatannya. Semua hal yang berbau Sukarno dan kekiri-kirian harus dihilangkan. Termasuk tiga relief di Bandara Kemayoran yang akhirnya tersingkir dari mata publik. "Seniman-seniman SIM memang ideologinya berorientasi ke kiri. Kiri itu tidak harus jadi anggota PKI tapi intinya membela rakyat kecil," ujar Tedja.
Pembongkaran dinding tripleks
Santu Wirono di depan relief Manusia Indonesia yang dijebol
Beberapa pegawai di Bandara Kemayoran berinisiatif menyembunyikan relief tersebut untuk menghindari penghancuran. Mereka mendirikan "dinding" baru dari tripleks yang ditutup dengan kertas dinding di depan tiga relief. Sayangnya langkah itu tak bisa menghindari salah satu relief dari kerusakan. "Manusia Indonesia" karya Sudjojono dijebol tepat di bagian tengah seukuran pintu rumah untuk dipasangi tangga penghubung antar ruangan.
"Dinding" pelindung itu dibongkar 10 tahun setelah jatuhnya Presiden Soeharto, setelah tersiar kabar gedung eks Bandara Kemayoran akan dibongkar. Keluarga seniman-seniman yang terlibat dalam pembuatan relief pun meminta bantuan pejabat negara agar karya seni yang berada dalam penguasaan Sekretariat Negara melalui Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran tersebut tidak dirusak.
Baru pada akhir April 2019 lalu, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggagas rencana perlunya mencegah berbagai tindakan yang dapat merusak relief tersebut seperti tindakan vandalisme dan menjadikan eks Bandara Kemayoran sebagai cagar budaya nasional. Setelah melalui restorasi Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan menggelar pameran Konservasi Karya Seni Rupa di Ruang Publik : 3 Karya Seni Relief Eks Bandara Kemayoran.
Artinya keberadaan Bandara Kemayoran terkait peristiwa kesejarahan
Tenaga Ahli kegiatan Konservasi Karya Seni Rupa di Ruang Publik, Yuke Ardhiati menyatakan penelitian awal sudah menunjukkan adanya kelayakan untuk menjadikan eks Terminal A Bandara Kemayoran sebagai cagar budaya. "Kita perlu sedikit bersabar, karena data primer berupa gambar dan dokumen lainnya untuk mendukung kajian akademik sebagai cagar budaya belum sepenuhnya ditemukan," ujar Yuke saat dihubungi.
Namun Yuke memiliki analisis berdasar arsip terkait gagasan Djakarta City Planning dari Bung Karno. Menurutnya, selama ini publik memahami bahwa perwujudan Djakarta City Planning dan Kota Jakarta sebagai “Wajah Muka Indonesia” diawali dengan pembuatan Jembatan Semanggi. Namun, dari keterangan maestro pematung Edhi Soenarso yang membuat patung "Selamat Datang" di Bundaran Hotel Indonesia, patung perunggu itu berupa sosok muda-mudi dengan gestur tengah melambaikan tangan ke angkasa adalah perwujudan sebenarnya.
Relief Legenda Sangkuriang karya Soerono (Pasti Liberti)
Edhi mengaku secara khusus diminta oleh Sukarno untuk menghadapkan muda-mudi itu ke arah datangnya pesawat yang akan mendarat di Bandara Kemayoran. Setumpu patung “Selamat Datang” merupakan perwujudan keramah-tamahan bangsa Indonesia kepada para delegasi Asian Games IV 1962. Realisasi Djakarta City Planning dan Jakarta sebagai “Wajah Muka Indonesia” lainya terwujud dalam berbagai bangunan di Jakarta yang dikenal sebagai karya arsitektur proyek mercusuar Sukarno.
Sezaman dengan itu Presiden Sukarno sudah mempersiapkan lapangan udara Kemayoran menjadi Bandar Udara Internasional yang dilengkapi dengan VIP Room. "Berdasar pembacaan pada prasasti relief beton di dinding ruang bekas Ruang VIP Bandara Kemayoran, tertera tahun 1957. Hal ini menandakan bahwa bangunan dua lapis sebagai ruang VIP sudah berdiri sebelumnya pengerjaan relief itu. "Artinya keberadaan Bandara Kemayoran terkait peristiwa kesejarahan," ujar Yuke.
Yuke yang juga peneliti karya arsitektur Bung Karno mengatakan pengusulan tempat tersebut sebagai cagar budaya tidak akan menghalangi pemanfaatan lokasi tersebut sebagai pusat bisnis. "Ada metode adaptive re-use. Kalau diinginkan bangunan baru dapat dirancang secara laras ataupun kontras sesuai aturan setempat yang tentunya selaras Undang-undang Cagar Budaya," kata Yuke.
Penulis: Pasti Liberti Mappapa