INTERMESO


Miliarder Amerika dan Tip Ratusan Dolar

"Kalau naik ke atas dan malaikat tanya, kalau lahir kembali mau jadi apa, langsung saya jawab tour guide."


Senin, 02 September 2019

Postur tubuh Patrick Silano boleh jadi kalah telak dengan anggota-anggota rombongannya yang tinggi menjulang. Namun kalau ia berbicara, semua mata tertuju padanya dan menyimak penjelasannya dengan saksama. “Saya bawa tamu bule dengan kepala tegak. Padahal saya orangnya hitam, jelek, tapi dibelakangnya bule selalu ikut, rasanya bangga banget,” canda pria berusia 62 tahun itu saat ditemui detikX beberapa waktu lalu.

Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan mengelilingi hampir seluruh tempat wisata ternama di Indonesia. Begitu lulus dari Akademi Pariwisata Trisakti pada 1980, pria keturunan Maluku itu bergabung dengan sebuah agen perjalanan. Masa-masa tersebut menurutnya puncak gelombang turis asing yang berwisata di Indonesia. "Zaman Pak Harto pariwisata berkembang hebat sekali nggak ada halangan," katanya. "Menteri Pariwisata Joop Ave the best deh, waktu itu nggak pernah berhenti inbound (wisatawan asing) masuk."

Saking banyaknya wisatawan yang datang, Patrick pun mengaku kewalahan. Ia bahkan harus rela tak melihat kelahiran kedua anaknya. Untungnya sang istri yang juga lulusan pariwisata mengerti dengan ritme kerja Patrick. Namun, sejak terjadi berbagai rangkaian kejadian yang mengguncang kestabilan dan keamanan di Indonesia, sektor pariwisata sangat terpukul. Pramuwisata seperti Patrick pun terkena imbasnya.

...Bawa turis Inggris kita harus tahu soal tumbuh-tumbuhan, karena kembang apa pun dia tanya, dan itu tantangan.

“Pariwisata kalau dari sudut pandang saya nomor satu adalah keamanan, kalau ada peristiwa apa yang buruk mereka nggak akan datang, padahal promosi udah besar-besaran. Imbasnya besar,” tutur Patrick, salah satunya merujuk kepada serangkaian peristiwa bom yang mengguncang berbagai wilayah di Indonesia. “Waduh abis deh lebih dari 50 persen kurangnya, dan itu butuh waktu untuk memupuk kepercayaan lagi. Apalagi kita harus bersaing dengan negara lain, orang lebih milih ke Singapura."

Patrick menyebut profesi pramuwisata itu sebagai ensiklopedia berjalan. "Kalau jalan ke Borobudur dari kaki Borobudur sampai puncak semua saya tahu, reliefnya, ceritanya semua saya tahu," katanya. Tak hanya soal tempat wisatanya, seorang pemandu harus menambah pengetahuannya dalam berbagai bidang.

Acapkali wisatawan yang dipandu mengajukan pertanyaan yang bisa tak berhubungan dengan obyek wisata. "Bawa orang Jerman pasti tanya soal sejarah budaya. Bawa turis Inggris kita harus tahu soal tumbuh-tumbuhan, karena kembang apa pun dia tanya, dan itu tantangan," ujar Patrick. "Nah kalau Indonesia jarang tanya, tapi belakangan saya lihat milenial banyak yang tanya-tanya."

Patrick Silano saat membawa rombongan wartawan mancanegara
Foto : Dok. Pribadi Patrick

Punya pengalaman puluhan tahun dan hapal seluk beluk tempat wisata, Patrick mengaku masih terserang sindrom gugup. "Besok misalnya ada grup musti saya bawa, malam ini saya masih nervous walaupun saya sudah senior, saya nggak mau bohong." Penyebab kecemasannya beragam. Mulai dari bayang-bayang tamu yang tak ramah sampai kekhawatiran tak bisa menjawab pertanyaan.

Tapi once you hold the mic, saya sapa mereka, good morning ladies and gentleman, hilang semua rasa gugupnya."

Patrick Silano

"Orangnya belum saya kenal, lalu bisa ditangani sesuai SOP ngga, ramah ngga orang-orangnya, sama kita bisa jawab pertanyaannya ngga," kata anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia itu. Tapi pertunjukan harus terus berjalan. Seorang pramuwisata harus bisa mengendalikan kekhawatirannya dan menguasai panggung. "Tapi once you hold the mic, saya sapa mereka, good morning ladies and gentleman, hilang semua rasa gugupnya."

Patrick Silano memberi penjelasan di atas bus pariwisata -- Foto : Dok. Pribadi Patrick

Meski lebih senang membawa tamu-tamu asing berkeliling nusantara, kadang-kadang Patrick juga membawa rombongan Indonesia ke luar negeri. Tantangan yang dihadapi ayah dua anak itu juga berbeda. Terutama soal budaya ngaret turis Indonesia. “Kalau bawa tur ke Eropa sopirnya saya kasih tahu dulu kalau tamu Indonesia itu sulit untuk tepat waktu. Kita bilang jam 7 kumpul, mereka bisa datang jam 8. Jadi hope you understand it. Padahal biasanya kalau bawa tamu asing saya terbiasa disiplin. Bayangin bawa orang Jerman, coba-coba aja terlambat, kalau nggak dimaki kamu,” ujar Patrick. "Kebiasaan lain (turus Indonesia) selalu minta berhenti pipis."

Pemandu wisata pun bisa berganti peran jadi penjaga saat berwisata ke negara yang terkenal dengan tukang copetnya. Patrick sudah punya kode khusus bagi para copet. "Sudah saya instruksikan kalau saya bilang ada monyet berarti ada maling," katanya. "Peran seorang tour leader mencegah semua yang buruk terjadi, puji syukur nggak pernah terjadi. Saya dari belakang sudah kayak detektif. Kita sudah ada insting karena sering ke sana, apalagi kalau lagi belanja di Rolex saya pantau di belakang terus aja."

Selain pengalaman menegangkan itu, Patrick juga pernah punya pengalaman lucu ketika membawa rombongan keluarga Ruhut Sitompul, pemain sinetron sekaligus politikus ke Jepang. “Saya pernah mandi di onsen bareng Ruhut, jadi kita sama-sama telanjang. Mungkin Ruhut agak risih sama saya, dia bilang 'hei jangan kau lihat-lihat', tapi besoknya dia ketagihan, setiap pagi sebelum jalan-jalan kita pasti onsen bareng dulu,” ujar Patrick sambil tertawa.

Patrick Silano (kaos merah) saat baru menjalani profesi pramuwisata -- Foto : Dok. Pribadi Patrick

Setiap membawa tur, Patrick bisa mengumpulkan duit yang lumayan dari hasil tip. Ketika membawa salah satu keluarga politikus Patrick mengantongi Rp 30 juta dari hasil pemberian tip. Pernah juga Patrick mendapat tip besar dari seorang miliarder asal Amerika Serikat. Ia menyebut pengusaha itu memiliki tujuh kapal pesiar dan punya hubungan erat dengan politikus terkemuka di Amerika Serikat. 

“Itu kejadiannya sekitar tahun 90-an, dia senang sekali sama saya, kalau tamunya ke Jakarta saya yang handle,” katanya. Tamu itu menawari Patrick untuk menyebutkan sendiri angka yang harus ditulis di atas kertas cek. “Dia bilang ke saya 'Patrick tomorrow's the end of the trip, so how much should I write on check?'," ujar Patrick. Ia tak menyanggupi permintaan tamunya itu. "Akhirnya dikasih 700 dolar, kalau digabung sama semua tip tamunya bisa 1000 lebih.”

Tour guide itu sudah jadi bagian dari hidup saya. Saya mendapat kesempatan bertemu berbagai macam orang dari yang handle-nya susah sampai gampang. Kenalan pun di mana-mana"

Patrick Silano

Bagi Patrick, jadi pemandu wisata merupakan sebuah jalan hidup. "Tour guide itu sudah jadi bagian dari hidup saya. Saya mendapat kesempatan bertemu berbagai macam orang dari yang handle-nya susah sampai gampang. Kenalan pun di mana-mana,"katanya. "Kalau naik ke atas dan malaikat tanya, kalau lahir kembali mau jadi apa, langsung saya jawab tour guide." Selain masih aktif berkeliling, ia juga mendidik calon-calon pramuwisata baru di almamaternya.

Bukan hanya Patrick, sebagai pemimpin perjalanan wisata, Eddy Efendy yang telah menekuni bisnis pariwisata sejak 25 tahun lalu juga terkadang merasakan fasilitas serba first class. Tamu yang ia bawa banyak yang berasal dari kalangan bos perusahaan besar. Sebelum mendirikan Synergy Production, perusahan yang bergerak di bidang pariwisata dan penyelengaraan event, Eddy sempat bekerja di berbagai agen pariwisata ternama.

Eddy Efendy (Dok. Pribadi)

Eddy Efendy

“Karena perjalanan kita selama 15 hari dengan tamu sangat memorable. Koneksi kita jadi erat, kalau ketemu di lain tempat kita bisa dengan santai bercanda dan nepak mereka, padahal itu bosnya BCA,” tutur Eddy yang pernah menerbitkan buku berjudul "Lead Like a Tour Leader".

Kita harus cermat memutuskan, kalau salah sedikit tamu bisa kecewa...

Namun sebagai pemimpin perjalanan wisata, Eddy juga serba sigap dengan berbagai kemungkinan tak terduga sepanjang perjalanan. Terutama ketika Eddy membawa rombongan berkunjung ke Paris. “Waktu itu saya harus memilih jalan di hari sabtu atau minggu. Hari Sabtu ada demo, sedangkan di hari Minggu ada maraton,” tuturnya.

“Kita harus cermat memutuskan, kalau salah sedikit tamu bisa kecewa. Akhirnya saya membuat pilihan di hari Sabtu saat demo, karena setidaknya tamu masih bisa jalan. Kalau demo mereka ada jadwal dan rutenya, jadi masih bisa diantisipasi,” tutur Eddy yang sudah mengunjungi hampir tiga per empat dunia, kecuali negara yang terlibat konflik perang.


Reporter/Penulis: Melisa Meiloa

[Widget:Baca Juga]
SHARE