INTERMESO


Temani Turis Nostalgia sampai Permintaan Cari Dukun

"Lu sering bawa turis luar negeri ke Jakarta, emang Jakarta apa sih bagusnya? Bukannya macetnya doang?"

Ilustrasi : Edi Wahyono

Minggu, 01 September 2019

Bermodalkan sebuah alamat dan peta usang, Ira Lathief menemani Ellen, wanita berusia 50 tahun asal Belanda, mencari sebuah rumah di Jakarta. Jauh hari sebelum menginjakkan kaki pertama kali di ibu kota Indonesia ini, Ellen sudah mengutarakan keinginannya untuk menemukan bekas rumah pamannya. Batavia memang jadi tanah kelahiran dan tempat tinggal sanak saudaranya itu sampai masa pendudukan Jepang.

Ellen sendiri lahir di tanah leluhurnya di Belanda. Barulah ketika pensiun, Ellen punya kesempatan untuk mewujudkan impiannya, melihat peninggalan keluarga di Jakarta. “Sepanjang hidupnya Ellen selalu mendengar cerita tentang Indonesia dari keluarganya," ucap Ira saat menceritakan pertemuannya dengan Ellen pada detikX beberapa waktu lalu di Jakarta. "Kalau kangen dengan Indonesia, ibunya akan masak nasi goreng, tempe dan sayur lodeh. Tapi Ellen sekali pun belum pernah datang ke sini.”

Jakarta kota yang asing bagi Ellen. Ia membutuhkan bantuan orang yang benar-benar kenal seluk beluk Jakarta. Lewat sebuah situs yang menjembatani pramuwisata dengan calon turis, Ellen menemukan nama Ira.  Ira punya pengalaman belasan tahun "blusukan" di Jakarta. Namun memenuhi permintaan Ellen bukan perkara mudah. Jakarta banyak berubah. Rumah-rumah tua hilang. Berganti dengan kehadiran gedung pencakar langit. Alamat dan peta bekal Ellen dari Belanda tak banyak membantu. .

Ira Latief di markas band Slank -- Foto : Dok. Pribadi

Alhasil, Ira dan Ellen sempat kesusahan mencari rumah itu. Sampai akhirnya mereka berjalan di kawasan sekitar Taman Menteng, Jakarta Pusat. Ira melihat sebuah bangunan tua yang terletak persis di seberang taman. Kuat dugaan mereka, itulah rumah yang mereka cari-cari. Bangunan bergaya jadul itu rupanya sudah berganti menjadi kantor Kedutaan Besar Portugal.

Kondisi itu membuat Ellen berinisiatif mengirim surat pada Duta Besar Portugal agar diizinkan memasuki dan melihat-lihat rumah itu. “Ellen ngirim surat ke Dubes untuk menjelaskan maksud kunjungannya. Ternyata ngga disangka responnya sangat bagus. Bahkan dia (Dubes) mau meluangkan waktu untuk menemani kami,” ungkap Ira.

Rupanya Duta Besar Portugal untuk Indonesia saat itu, Joaquim Alberto de Sousa Moreira de Lemos, penasaran. Joaquim ingin mendengar secara langsung cerita dari keluarga mantan pemilik bangunan yang kini ditempatinya sebagai kantor. Sang dubes terkejut bukan main ketika mendengar kisah keluarga paman Ellen. Cerita yang diungkapkan Ellen persis dengan kisah mistis yang sering dialami sejumlah staf kedutaan.

Pengalaman ini yang bikin saya merinding, tapi menakjubkan sekali"

Ira Latief, pendiri Wisata Kreatif Jakarta

“Kata (Dubes) di sana suka ada penampakan anak kecil berpakaian tempo dulu. Setelah disamakan dengan ciri-cirinya, sepertinya itu keponakan Ellen. Saat Jepang berkuasa, banyak orang Belanda yang dibunuh. Keluarga paman Ellen termasuk yang tidak berhasil melarikan diri,” tutur Ira yang terharu karena beberapa kali melihat Ellen menitikkan air mata. “Pengalaman ini yang bikin saya merinding tapi menakjubkan sekali.”

Momen peluncuran buku Bukan Ratu Sejagat, akhir Juni 2019 lalu 
Foto : Dok. Pribadi

Pekerjaan pemandu wisata dilakoni Ira secara tak sengaja. Saat menjadi mahasiswi di Universitas Padjajaran, Bandung, ia pernah mendapat kesempatan menjadi peserta Pertukaran Pemuda Asean Jepang atau Ship for Southeast Asian and Japanese Youth Program. Setelah program itu berakhir, banyak teman-temannya yang datang berkunjung. Sejak saat itu pula lulusan jurusan Hubungan Internasional itu kedatangan banyak tamu asing.

Lebih banyak di kantor aku kurang suka. Aku lebih suka ketemu orang di lapangan."

“Aku menemani mereka ke Jakarta sampai Bandung. Aku antar mereka kemana-mana dan saat itu nggak dibayar tentunya," ungkapnya. "Ternyata aku menemukan kenikmatan tersendiri dengan mempromosikan dan mengenalkan Indonesia ke orang asing. Tapi saat itu aku nggak tahu itu cikal bakal karir aku sebagai tour guide."

Setelah lulus, Ira sempat bekerja sebagai reporter di salah satu stasiun televisi swasta. Namun ketika mendapat promosi menjadi asisten produser, ia justru memilih keluar dari stasiun televisi tersebut. "Lebih banyak di kantor aku kurang suka. Aku lebih suka ketemu orang di lapangan," katanya.

Suatu waktu, sebuah iklan sebuah platform pariwisata dari Kanada lewat di linimasa akun Facebook milik Ira. "Anyone can be a tourist guide" begitu bunyi tagline platform itu. "Dari situ aku mulai apply . Sebulan sekali pasti aja ada dapat tamu," katanya. Ira akhirnya memutuskan menyeriusi profesi pemandu wisata. Ia pun akhirnya mengambil lisensi dari Dinas Pariwisata pada 2011.

“Aku sering dapat pertanyaan 'Lu sering bawa turis luar negeri ke Jakarta, emang Jakarta apa sih bagusnya? Bukannya macetnya doang? Tapi menurut tamu aku ternyata banyak hal yang menarik karena kan mereka dipandu guide ke tempat yang bagus,” tutur Ira yang baru ini menerbitkan buku mengenai refleksi diri sebagai seorang pemandu wisata dengan judul Bukan Ratu Sejagat.

Tamu yang ditemani Ira memang tidak hanya sekedar datang untuk mengunjungi Kota Tua maupun kawasan pecinan di Glodok saja. Mereka datang dengan alasan beragam. Salah satunya diminta dicarikan dukun. Sejak menjadi pemandu wisata ini, Ira baru menyadari, dukun Indonesia sangat terkenal di mata dunia. Terutama semenjak film Eat, Pray, Love yang dibintangi Julia Robert.

Tur Wisata Kreatif Jakarta di TMP Kalibata, Jakarta -- Foto : Dok. Pribadi

Dalam film itu, figur utamanya bersahabat dengan seorang wanita Bali yang bekerja sebagai dukun. Film yang diangkat dari buku karya Elizabeth Gilbert ini sukses membuat banyak orang penasaran dengan Bali dan dukun. “Waktu itu saya guide perempuan dari Eropa. Ia jauh-jauh ke sini minta dicariin dukun yang bisa melet pacarnya supaya bisa kembali seperti semula,” cerita Ira yang heran sekaligus takjub dengan kepopuleran dukun Indonesia.

Bukan cuma sekali dua kali saja Ira menerima permintaan dicarikan dukun. “Ada juga orang dari India minta dicarikan jin dan mau belajar ilmu hitam. Saya heran emangnya di India nggak ada orang yang punya kemampuan begitu,” ujar Ira yang juga pernah menulis buku berjudul "Do What You Love, Love What You Do" itu. "Tapi ga aku iyakan karena banyak pertimbangan etis seperti takut kenapa-kenapa."

Menjadi seorang pemandu wisata, Ira juga menyadari betapa banyak orang Jakarta yang merasa "asing" dengan kotanya sendiri. Mayoritas orang menganggap kalau jalan-jalan itu harus di luar kota atau luar negeri. Padahal bagi Ira, banyak hal yang masih bisa dijelajahi di kota sendiri.

Seperti ungkapan tak kenal maka tak sayang, untuk itu beberapa tahun belakangan ini Ira tak hanya membawa tamu asing. Ira membuat sebuah komunitas bernama Jakarta Food Traveler dan Wisata Kreatif Jakarta. Ia mengajak warga Jakarta untuk mengenal lebih dekat seluk beluk kotanya dengan cara yang lebih menyenangkan dan mengenyangkan.

Apa yang bisa aku lakuin sebagai guide supaya mengurangi sentimen SARA, aku bikin wisata ibadah lintas agama

Setiap pekan ia rutin mengajak warga Jakarta berjalan kaki. Mengunjungi titik-titik pariwisata di Jakarta. Seperti kawasan Little India, Pecinan Glodok maupun Kota Tua. “Ada yang ternyata baru pertama kali ngerasain naik busway. 'Oh ternyata naik busway nyaman juga nggak kalah kayak di Singapura',” ujar Ira menirukan ucapan peserta turnya.

Selain itu Ira juga kerap mengadakan wisata lintas agama dengan mengunjungi berbagai rumah ibadah di Jakarta. “Apa yang bisa aku lakuin sebagai guide supaya mengurangi sentimen SARA, aku bikin wisata ibadah lintas agama. Ternyata banyak loh orang yang seumur hidup belum pernah berkunjung ke rumah ibadah lainnya.”

Indra Diwangkara (baju kuning) mengantarkan sejumlah turis ke salah satu tempat bersejarah di Glodok, Jakarta Barat
Foto : Dok. Pribadi Indra

Cerita menarik soal profesi pramuwisata lainnya datang dari Indra Diwangkara yang sejak tahun lalu diberi tugas sebagai pemandu resmi di Balaikota DKI Jakarta. "Seluruh tamu gubernur saya yang pandu," ujar lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Jakarta itu. "Saya punya akses untuk bertemu dengan orang-orang penting. Ini sebuah pengalaman berharga."

Beberapa pekan lalu, Indra mendapat tugas mendampingi Wakil Wali kota Kiev, Ukraina. "Istrinya sangat cantik. Apalagi ajudan istrinya kayak model," katanya. Dalam sebuah jamuan makan malam, seorang lelaki berpakaian necis mendekatinya. Lelaki itu lalu meperkenalkan diri sebagai salah satu pimpinan komisi di DPRD DKI Jakarta. "Bapak itu minta izin untuk berfoto dengan ibu itu. Saya bilang silakan saja pak."

... diplomat bukan hanya di kedutaan. Kami itu diplomat juga."

Indra Diwangkara

Indra resmi menyandang profesi pramuwisata empat tahun lalu. Sebelumnya dia bekerja di salah satu lembaga yang mengurus pertukaran pelajar. Selama enam tahun tugasnya mengantarkan para pelajar keliling Indonesia. "Masa-masa itu saya memang sempat terpikir jadi tourist guide," kata Sekretaris DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia DKI Jakarta.

Namun baru pada tahun ketujuh niatnya itu terlaksana. Justru ketika dia dipindahkan jadi asisten pribadi bos lembaga itu. "Saya baca buku  Do What You Love, Love What You Do yang ditulis teman saya Ira Latief, seminggu kemudian saya resign saking pengennya jadi tourist guide," ujar Indra.

Keluarga sempat mempertanyakan keputusan Indra untuk beralih profesi. Namun Indra berdalih, pramuwisata merupakan pekerjaan yang diidamkannya. "Saya mulai dari nol. Lalu dapat order dua minggu sekali, lalu seminggu sekali, jadi sehari sekali. Sekarang malah luber karena kebanyakan tawaran," katanya.

Pramuwisata menurut Indra bukan profesi yang main-main. "Semua tourist guide itu harus punya sertifikat kompetensi," ujarnya. "Saya sempat bilang pada ibu Retno (Menlu) bahwa diplomat bukan hanya di kedutaan. Kami itu diplomat juga. Karena kami ini garda terdepan. Yang turis temui pertama kali di Bandara itu kita. Kalau mereka ini bertemu dengan guide yang menyebalkan pasti akan jadi bad impression. Pasti pandangannya langsung semua orang Indonesia itu kacrut kayak guidenya."


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Pasti Liberti Mappapa

[Widget:Baca Juga]
SHARE