INTERMESO


Kisah Tukang Poles Komik Lawas

Bertahun-tahun Erwin Prima Arya memburu komik lawas dan memperbaikinya, sehingga layak dibaca.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Minggu, 25 Agustus 2019

Tangan Erwin Prima Arya dengan lincah menggerakkan pena digital di atas layar tablet grafis yang diletakkan di samping laptopnya. Sementara matanya dengan awas melihat gambar superhero Sri Asih hasil pemindaian komik lawas karya Raden Ahmad (RA) Kosasih yang terbit pertengahan tahun 1950-an pada layar laptop. Sedikit demi sedikit warna hitam pudar Sri Asih diubahnya menjadi lebih terang. Begitu pula dengan arsiran-arsiran tipisnya.

"Bagian arsiran-arsiran ini yang sedikit lebih sulit," ujar Erwin saat berbincang dengan detikX di kantor Studio Bumilangit di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (20/8) lalu. Profesi Erwin tak biasa. Dia bekerja merestorasi komik-komik jadul asli Indonesia dari berbagai daerah, agar gambar dan ceritanya tetap bisa dinikmati para pecinta cerita bergambar.

Erwin memang sangat menggilai cerita bergambar. Sejak usia 10 tahun, dia sudah mengoleksi komik-komik asli Indonesia. Komik yang digandrunginya antara lain, Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH, dan Ramayana karya R.A. Kosasih. Satu kamar disulapnya jadi perpustakaan mini, khusus untuk komik-komik koleksinya.

Erwin Prima Arya -- Foto : Pasti Liberti/detikcom

Namun ada masa-masa tak enak antara Erwin dan komik-komik kesayangannya itu. Saat masuk kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA), Erwin pindah sekolah ke Bandung, Jawa Barat. Sayangnya, semua komik yang bertahun-tahun dikumpulkannya sedikit demi sedikit, tak ikut terangkut ke kota tempat tinggalnya yang baru.

Beberapa waktu kemudian, ketika pulang liburan ke rumahnya di Tanjung Karang, Bandar Lampung, Erwin terkejut. Dia mendapati kamar tempat komik koleksinya sudah kosong melompong. Seluruh komiknya habis dibuang. "Ibu memang tidak suka komik jadi semuanya dibuang-buangin," katanya. "Sejak itu saya kehilangan kontak dengan komik."

Saya terngiang-ngiang komik-komik itu sampai ke mimpi-mimpi. Mimpi saya bongkar-bongkar tukang loak dan akhirnya menemukan komik koleksi saya yang hilang.

Erwin Prima Arya

Kehilangan komik-komik kesayangan begitu membekas bagi pria kelahiran Lampung, 56 tahun yang lalu itu. Puluhan tahun dia merasa "dihantui" koleksinya yang lenyap tak bersisa. "Saya terngiang-ngiang komik-komik itu sampai ke mimpi-mimpi. Mimpi saya bongkar-bongkar tukang loak dan akhirnya menemukan komik koleksi saya yang hilang. Nah ini komik saya dulu nih. Nightmare saya itu begitu," katanya.

Sampai akhirnya Erwin bertemu dengan Andy Wijaya, seorang kolektor dan juga penggila komik sekitar tahun 2003 silam. Andy waktu itu punya toko komik di jembatan penghubung Mal ITC Kuningan dan Mal Ambasador. Bertemu dengan Andy yang satu hobi dengannya membuat ingatan Erwin kembali terkoneksi dengan dunia komik yang begitu dicintainya. Di tempat itu pula, dia bertemu dengan Ginardi Santosa, putra Ganes TH komikus yang dikaguminya.

Erwin kemudian meminjam komik Si Buta dari Gua Hantu episode "Bandjir Darah di Pantai Sanur". Episode ini pertama kali diterbitkan pada 1968. Sastrawan yang juga pecinta komik, Seno Gumira Ajidarma pernah menyebut episode itu merupakan salah satu karya terbaik Ganes TH dengan alur ceritanya yang memukau. "Instingtif aja begitu lihat komik itu. Wah gue bisa bersihin nih. Gue tau cara efektif gampang dan cepat," kata Erwin.

Contoh restorasi komik Gundala Putera Petir karya Hasmi (dok. Erwin Prima Arya)


Urusan gambar menggambar bukan barang yang asing bagi Erwin. Terutama mengolah gambar secara digital. "Jam terbang"nya belasan tahun di bagian komputer grafis. Saat itu Erwin bahkan mengepalai Departemen Komputer Grafis di sebuah rumah produksi. "Selain bisa gambar, saya juga menguasai olah digital. Kebetulan waktu booming Production House, banyak sekali tenaga ahli dari luar negeri yang didatangkan, saya berguru pada mereka," ujarnya.

... Tebal tipisnya tiap huruf kan tidak sama. Sebisa mungkin disamain sehingga natural.

Komik pinjaman itu kemudian dibongkar. Helai demi helai halamannya dipindai. Gambar hasil pemindaian itu lalu diolah melalui perangkat lunak Photoshop. Alur kerjanya memang terbilang simpel tapi tidak semua orang bisa telaten mengerjakan. "Secara teknis saya tidak menemukan kesulitan berarti. Cuma banyak saja. Satu komik kan banyak halaman, apalagi bisa berjilid-jilid. Ada yang sampai 800 halaman," kata pria hampir menjadi dokter lulusan Universitas Padjajaran, Bandung itu.

Pertama kali yang dikerjakannya adalah teks tulisan. Tulisan tidak sekedar dibersihkan atau ditebalkan. Erwin harus menulis ulang satu per satu huruf agar terlihat sama seperti tulisan tangan asli. "Saya tulis ulang dengan mengikuti tekanan-tekanan penulis aslinya. Tebal tipisnya tiap huruf kan tidak sama. Sebisa mungkin disamain sehingga natural," katanya. Setelah semua tulisan selesai digarap, Erwin masuk pada gambar utama. Kemudian terakhir, arsiran yang dinilainya paling rumit.

Beberapa kolektor lain pernah mencoba merestorasi dengan teknik berbeda. Komik difotokopi dan diperbesar. Bagian yang hitam dibersihkan dengan cara ditebalkan dengan spidol. Lalu baru kemudian dipindai dan dicetak kembali. "Cara kerja tidak efektif dan hasilnya tidak akurat karena banyak distorsi," ujar Erwin. "Resolusinya pun tidak karuan. Apalagi untuk arsiran yang kecil-kecil membersihkannya akan susah sekali."

Komik Gundala Putera Petir hasil restorasi  -- Foto : Tia Agnes/detikcom

Ada aturan tak tertulis dalam melakukan restorasi komik tua, jangan sampai gaya khas penciptanya hilang atau berubah. "Kalau pakai teknik manual tadi bisa berubah garisnya. Tidak natural lagi," ujar ayah dari dua anak itu. Menaati aturan itu akan membutuhkan usaha ekstra jika ternyata komikus yang karyanya akan di"daur ulang" itu punya gaya arsiran yang sangat detail.

Erwin menyebut Zam Nuldyn dari Medan, termasuk kategori komikus yang karya-karyanya punya tingkat kesulitan tinggi untuk direstorasi. "Saya pernah bikin Dewi Krakatau. Itu edan. Arsirannya ada yang kayak arsiran duit," katanya. Begitu juga karya komikus Abdulsalam dari Yogyakarta yang seangkatan dengan Zam Nuldyn. "Teguh Santosa kadang-kadang ada arsiran yang sangat detail. Semakin detail tingkat kesulitannya semakin tinggi."

Kendala lain kata lulusan SMA Negeri 3 Bandung itu, yakni kualitas cetakan. Ada gambar dari komik jadul itu  yang arsirannya hilang karena terkena luberan tinta. Demi alasan estetika, Erwin berinisiatif membuat arsiran baru menggantikan luberan tinta yang tercetak itu. "Untuk kasus tertentu saya harus gambar kembali, daripada ga enak dilihat saya ubah dengan batas-batas tertentu. Makanya orang yang restorasi itu syarat utamanya harus bisa gambar. Kalau ngga bisa gambar ya ngga bagus."

Selesai mengerjakan Bandjir Darah di Pantai Sanur, Erwin ketagihan memperbaiki komik tua. Berkongsi dengan beberapa kawannya yang sejalan, dia berburu komik-komik jadul sampai kebeberapa daerah. Mereka pun tak segan mengeluarkan uang pribadi demi mendapatkan atau meminjam komik-komik yang dinilai langka dari kolektor.

Kotor karena kualitas mesin cetaknya yang jelek saja

Sejak 2016 lalu, Erwin menjadi tenaga ahli restorasi secara profesional di Studio Bumilangit. "Kalau sehari saya kerja 8 jam, kira-kira saya bisa selesaikan 4 halaman," katanya. Dia pun telah menyelesaikan restorasi atas beberapa judul komik Gundala Putra Petir karya Hasmi yang pekan depan tanggal 29 Agustus akan ditayangkan versi film layar lebar.

Tak semua penggemar komik klasik merasa puas pada komik hasil restorasi. Ada saja yang protes, dengan alasan komiknya menjadi terlalu bersih. "Cetakan dulu biasa ada kotor-kotornya, jadi tidak original lagi. Gitu kata mereka," ujar Erwin. Padahal kata Erwin, mereka yang protes tersebut tidak pernah melihat gambar asli dari komik itu. "Kotor karena kualitas mesin cetaknya yang jelek saja."

Andy Wijaya
Foto : Pasti Liberti/detikcom

Sementara komikus asal Yogyakarta, Dwi Aspitono menyebut restorasi komik tua membutuhkan orang berkeahlian khusus dengan tingkat ketelitian tinggi. Komikus yang dikenal dengan nama Dwi Jink itu juga pernah melakukan restorasi beberapa komik lawas diantaranya komik berjudul Madelaine karya Teguh Santosa yang dibuat pada Maret 1967 dan komik strip Jagoan Tulen episode Raja Buaya karya Mansyur Daman alias Man.

Dalam pengalamannya, Dwi Jink seringkali menjumpai hasil pemindaian komik yang akan direstorasi tak sempurna. Terutama jika sumbernya mengalami kerusakan. "Komik setrip pak Man kadang ada gambar yang hilang karena kertas korannya lapuk," kata Dwi Jink pada detikX beberapa waktu lalu. "Kalau kondisinya seperti itu,  saya mereka-reka dengan berimajinasi sendiri tentunya menyesuaikan gaya pak Man. Untungnya saya satu aliran dengan Pak Man jadi bisa saya sesuaikan."

Penting juga untuk menggugah kembali dunia komik bertema kepahlawanan di Indonesia. Sehingga, generasi muda dapat menghargai dan menggemari karya para legenda.

Andy Wijaya, Commercial General Manager, Bumilangit Entertainment Corpora

Commercial General Manager, Bumilangit Entertainment Corpora, Andy Wijaya mengatakan restorasi komik merupakan upaya mengabadikan hasil karya komikus terbaik yang pernah populer dan menginspirasi banyak orang. "Daripada nanti hilang dan akhirnya kita menyesal," ujar Andy . "Penting juga untuk menggugah kembali dunia komik bertema kepahlawanan di Indonesia. Sehingga, generasi muda dapat menghargai dan menggemari karya para legenda.

Bumilangit sebagai pemegang hak pengelolaan Intellectual Property sejumlah komik lokal sendiri sudah menerbitkan ulang enam judul komik Gundala hasil restorasi yang disebut Gundala Putra Petir Remastered Edition. Beberapa judul komik lainnya seperti Sri Asih saat ini masih dalam proses pengerjaan dan menurut rencana akan diterbitkan berdekatan dengan peluncuran filmnya.


Penulis: Pasti Liberti Mappapa

[Widget:Baca Juga]
SHARE