INTERMESO


Mimpi Darul Islam yang Tak Padam

Anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berikrar setia pada Pancasila. Tak sedikit simpatisan Darul Islam yang kontra pada putusan itu.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Sabtu, 17 Agustus 2019

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyuruh beberapa stafnya menggeser posisi sebuah papan besar bertuliskan ikrar kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Satu per satu empat orang perwakilan mantan anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) diminta maju untuk membubuhkan tanda tangan pada papan itu.

Setelah itu, perhatian bergeser pada bendera merah putih. Diawali Sarjono Kartosoewirjo, yang memberi hormat pada merah putih lalu menciumnya dengan takzim. Wiranto yang menyaksikan  di samping Sarjono mengangguk-angguk seraya tersenyum. Pelukan Wiranto pada anak bungsu pendiri NII, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu, mengakhiri momen cium bendera tersebut yang digelar di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (13/8) lalu.

Menyandang nama Kartosoewirjo di belakang namanya membuat Sarjono masih jadi tokoh sentral acara ikrar kesetian itu tersebut. "Kepentingan ikrar ini sebenarnya bukan keluar dari pribadi saya. Saya ikrar ga ikrar ya gini saja," ujar Sarjono yang ditemui detikX di sebuah penginapan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sehari setelah acara deklarasi tersebut. "Malah saya sempat pertanyakan mengapa saya harus ikrar lagi."

Kesetiaan apa lagi yang harus saya berikan.

Sarjono mempertanyakan alasan mengapa diminta untuk ikrar lagi pada staf Kemenkopolhukam yang menemuinya. Pasalnya beberapa puluh tahun lalu, dirinya sudah beberapa kali berikrar setia. Dia pun sudah beberapa kali bergabung dengan partai politik. Bahkan pernah mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif dalam beberapa pemilihan umum terakhir. "Kesetiaan apa lagi yang harus saya berikan. Rumah dan mobil saya bayar juga pajaknya," kata Sarjono lagi.

Sarjono saat mencium bendera merah putih disaksikan Menkopolhukam Wiranto
Foto : Ari Saputra/Detikcom

Pihak Kemenkopolhukam terus membujuknya. Alasannya, momen ikrar kesetiaan tersebut sangat pas karena menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus. "Kalau akang yang membacakan ikrar ini, efeknya akan luas pada simpatisan DI/TII dan NII seluruh Indonesia. Karena mau diakui atau tidak, terorisme dan gerakan fundamentalis Islam di Indonesia merupakan turunan dari DI/TII," ujar Sarjono menirukan ucapan staf Wiranto yang menemuinya.

Belakangan Sarjono mengaku tak masalah jika kembali mengucapkan ikrar setia tersebut. Menurut dia, bagi seorang muslim ikrar kesetiaan itu hal biasa saja. Tak jadi persoalan berapa kali pun diucapkan. "Dalam setiap salat, dua kalimat syahadat dibacakan. Baik tahiat awal maupun tahiat akhir. Jadi sehari semalam bisa sembilan kali. Itupun orang masih bisa lupa," katanya.

* * *

Pendiri DI/TII, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dilahirkan pada 7 Januari 1907 di Cepu. Ayahnya seorang mantri penjual candu, diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang distribusi perdagangan candu yang dikontrol pemerintah. Jabatan itu disamakan dengan Sekretaris Distrik yang terbilang kedudukan yang cukup penting bagi seorang pribumi waktu itu.

Kartosoewirjo dicukur di Wisma Siliwangi -- Foto : Dok. Pendam Siliwangi

Salah satu petinggi Darul Islam, Ateng Djaelani saat berbicara pada wartawan di Aula Hankam, Jakarta pada 9 November 1977 menyebut bahwa nama Sekarmadji merupakan variasi dari nama tokoh pewayangan Samiaji. Samiaji merupakan nama lain dari Puntadewa, tokoh sulung dari Pandawa yang termashur karena keluhuran budinya. Sementara Maridjan berasal dari Mi'rodjan yang artinya naik terus. Kedua nama ini tidak pernah dipakai. Kata Kartosoewirjo, seperti diceritakan Ateng, "Kalau saya sebutkan nama Samiadji Maridjan nanti dikira muluk, lebih baik nama Kartosoewirjo saja."

Sarjono punya cerita lain soal nama itu. Menurutnya nama asli ayahnya adalah Sukarmadji. "Su artinya bagus, Karma artinya kinerja, dan Adji artinya raja. Jadi raja yang memiliki kinerja yang bagus," ujarnya. Ketika pindah ke Jawa Barat, menurut Sarjono orang-orang menyebutnya dengan Sekarmadji yang diartikannya sebagai raja yang diharapkan.

Pendidikan Kartosoewirjo terbilang keren. Saat pindah ke Bojonegoro pada 1919 dia dimasukkan ke Europeesche Legere School (ELS), sebuah sekolah khusus anak peranakan Eropa dan pribumi dengan status tinggi. Setelah lulus pada 1923, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya dan melanjutkan ke Sekolah Kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Selama tiga tahun dia harus ikut kelas persiapan sebelum memulai kuliah utama.

Su artinya bagus, Karma artinya kinerja, dan Adji artinya raja. Jadi raja yang memiliki kinerja yang bagus

Selama masa itu pula, Kartosoewirjo mulai aktif dalam pergerakan politik. Dia sempat bergabung dengan Jong Java. Namun saat Jong Java pecah, Kartosoewirjo memutuskan pindah ke organisasi baru bernama Jong Islamieten Bond. Aktif di pergerakan membuatnya terpengaruh membaca buku-buku kiri dan antikolonial. Hampir semua buku itu dipasok saudara kandung ayahnya bernama Mas Marco Kartodikromo.

Marco seorang wartawan yang sempat aktif di Sarekat Islam dan kemudian pindah jadi aktivis partai komunis. Ketika PKI melakukan pemberontakan pada pemerintah kolonial Belanda pada 1926, Marco dibuang ke Boven Digul. Sementara Kartosoewirjo  harus rela dikeluarkan dari sekolah dokter karena buku-buku kiri yang dikoleksinya. Masa-masa ini juga Kartosoewirjo muda terpesona pada Haji Omar Said Tjokroaminoto, tokoh pergerakan terkemuka yang oleh Belanda dijuluki Raja Jawa yang tak bermahkota.

Anggota DI/TII yang menyerah dan keluarganya 
Foto : Dok. Pendam Siliwangi

Pada Ateng Djaelani, Kartosoewirjo mengaku mula-mula tertarik pada pidato Tjokroaminoto. Suatu hari ada rapat akbar Sarekat Islam di Surabaya. Setelah rapat bubar, dia mendekati Tjokroaminoto dan mengatakan ingin jadi murid. Dia pun diterima sebagai sekretaris pribadi. Kartosoewirjo disebut mewarisi keahlian tulis menulis gurunya itu. Waktu itu Tjokroaminoto  juga punya murid lain yakni Sukarno, dan Semaun yang kemudian menjadi tokoh komunis.

Kartosoewirjo ikut pindah saat mentornya boyongan ke Cimahi. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi sekretaris umum Partai Serikat Islam Hindia Timur. Dia mulai aktif belajar tentang Islam. Saat menyepi di Malangbong, Garut karena penyakit yang diderita, Kartosoewirjo juga menimba ilmu agama pada sejumlah ulama aktivis PSI. Interaksi dengan Tjokroaminoto, jadi aktivis PSI, dan pelajaran agama dari Garut itu membangun pemahaman keislaman Kartosoewirjo. Dia terinspirasi gagasan negara Islam yang diperjuangkan PSI.

Kami umat Islam Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia.

Perseteruan dengan pimpinan PSI membuat Kartosoewirjo dipecat. Dia memilih pindah ke Malangbong dan mendirikan lembaga pengkaderan Institut Suffah. Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, artinya "menyucikan diri". Siswanya diajarkan mulai dari ilmu agama sampai politik. Namun lembaga ini bubar pada masa pendudukan Jepang. Ketika butuh  bantuan untuk melawan pihak Sekutu, Jepang mengizinkan pembentukan milisi bersenjata.

Institut Suffah pun diaktifkan kembali untuk menggembleng pemuda-pemuda jadi kader militer. Pemuda itu lantas  masuk ke sejumlah laskar yakni Hizbullah dan Sabilillah. Laskar ini terlibat dalam masa-masa revolusi melawan Belanda. Sampai kemudian, Kartosoewirjo pada Mei 1948 diangkat sebagai imam Majelis Islam Pusat. Pemberontakan ini dilandasi rasa tidak puas pada pemerintah Indonesia yang dinilai dikuasai kaum sosialis dan komunis.

Dua anak Kartosoewirjo Tahmid Basuki Rahmad dan Sarjono -- Foto : Dok. Sarjono

Mohammad Natsir menyebut pemberontakan itu imbas dari keputusan Perjanjian Renville 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara Indonesia meninggalkan daerah-daerah yang dikuasai tentara Belanda secara de facto. Kartosoewirjo yang punya milisi bersenjata menolak perjanjian tersebut. Baru kemudian pada 7 Agustus 1949 Darul Islam baru diproklamasikan secara resmi di Cisampak, Tasikmalaya. Bunyi proklamasinya,"Kami umat Islam Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam."

Selama 13 tahun, Kartosoewirjo bersama keluarga dan pengikutnya bergerilya di hutan melawan pemerintah Indonesia. Tanggal 4 Juni 1962, dia tertangkap bersama sejumlah pengawalnya di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber, sekitar Bandung Selatan. sebelum dieksekusi mati pada 5 September 1962, Kartosoewirjo mengeluarkan wasiat. Salah satunya dia meyakini bahwa suatu waktu cita-citya negara Islam bakal terlaksana walaupun lawan menentang..

* * *

Eksekusi atas Kartosoewirjo tidak menyurutkan mimpi Darul Islam bahkan sampai saat ini. Selama empat generasi Darul Islam tetap berkembang dan bertransformasi. Ide negara Islam masih tetap bergema dari generasi ke generasi. Al Chaidar, mantan aktivis salah satu faksi Darul Islam menyebut keyakinan pendirian negara Islam sudah menjadi ideologi para simpatisan Darul Islam. "Ketika kesadaran politik dan bernegara mereka disatukan dengan keyakinan ini sulit untuk diubah," kata Chaidar yang kini pengajar di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Tidak ada angka pasti berapa jumlah simpatisan Darul Islam saat ini. Sarjono menyebut ada sekitar dua juta orang. Namun Chaidar memperkirakan ada sekitar tujuh juta orang simpatisan yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam penelitiannya pada 2006, Chaidar menyatakan terdapat 38 faksi Darul Islam. Namun kini menyusut menjadi sekitar 14 faksi. "Ada yang hilang, ada pula yang bergabung dengan faksi lain. Ada yang antikekerasan, ada yang pro kekerasan," ujar Chaidar. "Dalam waktu dekat akan ada kongres yang digalang faksi dari Jawa Barat dan Jakarta untuk mengangkat seorang tokoh senior dari Padalarang untuk jadi imam nasional."

Indoktrinasi terhadap angota Di/TII yang menyerah di Parompong, Lembang
Foto : Dok. Pendam Siliwangi

Ketika sejumlah mantan aktivis muncul pada acara ikrar kesetiaan, timbul suara sumbang di kalangan simpatisan dan aktivis NII. Salah satunya Usep Fathoni yang menyebut bahwa Sarjono meski merupakan anak biologis Kartosoewirjo namun bukan anggota Darul Islam. "Sarjono tidak pernah berharokah. Kalau hubungannya dengan NII maka Sarjono cuma bagian rakyat umat Islam bangsa Indonesia. Maka status hukum ikrar itu bersifat pribadi bukan atas salah satu faksi NII," ujar Usep pada detikX beberapa waktu lalu.

...kami ini sedang berjuang dan akan terus berjuang

Usep yang mengaku tidak masuk dalam salah satu faksi ini menyatakan bahwa sikap para simpatisan yang kontra pada ikrar tersebut dilandaskan pada ajaran Alquran. "Jadi intinya kami ini sedang berjuang dan akan terus berjuang karena ikrar itu tidak mempengaruhi bernegara dan kenegaraan NII," ujarnya. "Kata pak Karto(soewirjo), NII itu milik umat Islam bangsa Indonesia bukan milik Kartosoewirjo."

Staf khusus Menkopolhukam, Sri Yunanto menyebut deklarasi ikrar kesetiaan itu merupakan langkah awal pemerintah untuk mendekati simpatisan Darul Islam yang lain. "Deklarasi itu seperti kunci untuk membuka pintu dan untuk contoh bagi kelompok yang meragukan Pancasila atau jauh dari Pancasila. Yuk mari, dedengkot saja sudah melakukan ikrar," ujar Yunanto. Pemerintah menurut Yunanto memiliki dan menyiapkan sejumlah program untuk memberdayakan kelompok-kelompok tersebut.



Editor: Pasti Liberti Mappapa

[Widget:Baca Juga]
SHARE