INTERMESO


Tien Soeharto dan Lelaki Gondrong

Tien Soeharto punya pengaruh besar semasa kekuasaan suaminya. Kepergiannya membawa duka mendalam bagi Soeharto.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 30 Juli 2019

Pesawat baru beberapa saat lepas landas dari Surabaya menuju Jakarta. Lazim dalam setiap kunjungan, Presiden Soeharto akan menghampiri rombongan yang menyertainya yang duduk di kursi bagian belakang. Ibu Negara Tien Soeharto turut mendampingi. Satu per satu Soeharto dan Tien menyalami anggota rombongan, termasuk para wartawan, sembari mengucapkan terima kasih.

Tien berhenti sesaat ketika menjabat tangan wartawan foto harian Sinar Harapan, Totok Soesilo. Pandangannya mengarah ke kepala Totok sambil berkata, "Lo, rambutnya kok gondrong?" Belum sempat Totok menjawab, Soeharto menyahut pertanyaan istrinya itu. "Yo ra opo-opo tho. Lha lagek nglakoni (Ya tidak apa-apa. Dia sedang bertirakat)." Mendengar teguran itu, Totok hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya karena terkejut dan malu.

Wartawan kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, itu juga tercengang atas ucapan Soeharto yang menganggap rambut gondrongnya dalam rangka bertirakat. Ucapan orang nomor satu di Indonesia itu terus dipikirkan Totok berhari-hari. Sebuah sindiran atau betul-betul menganggap dirinya memiliki perhatian dalam laku spiritual, seperti yang diceritakannya dalam buku 34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto.

Berdansa saat merayakan ulang tahun pernikahan pada 1986 
Foto: koleksi ANRI

Tak hanya itu, teguran ibu Negara juga membebaninya. Keesokan hari, Totok bergegas mencari tukang potong untuk memangkas rambut gondrongnya. Seminggu kemudian, dalam sebuah acara di Istana Merdeka, dia sengaja memotret dari jarak terdekat dengan Tien. Harapannya agar potongan rambut barunya dapat terlihat. Benar saja, Tien mengomentari model rambut itu. "La itu bagus, rapi, kan," kata perempuan keturunan Mangkunegara III itu.

Bukan hanya Totok yang rambut gondrongnya ditegur Tien. Dudi Sudibyo pun pernah kena 'omel' karena rambut. Saat terjadi pembajakan pesawat udara Garuda Indonesia Airways DC-9 Woyla, 28 Maret 1981, Dudi fotografer harian Kompas ditugaskan ke Bangkok untuk meliput dan mengabadikan upaya pembebasannya. Berhari-hari berada di Thailand tanpa istirahat membuat Dudi tak sempat memotong rambutnya. "Padahal waktu itu rambut sudah panjang," ujar Dudi kepada detikX beberapa waktu lalu di Jakarta.

Setelah pembajakan bisa diatasi lewat sebuah operasi pasukan khusus, pertengahan April 1981 Presiden Soeharto didampingi Tien menerima awak pesawat nahas itu di kediaman Jalan Cendana. Mereka diantar Direktur Utama Garuda Indonesia Airways Wiweko Supono. Dudi turut hadir dengan undangan Wiweko. Dia menyatu dengan rombongan awak pesawat. Setiba di kediaman, ketika akan menjabat tangan Tien, tiba-tiba rambut Dudi kena 'jambak'.

Nanti potong ya rambut gondrongnya."

"Nanti potong ya rambut gondrongnya," ujar Tien menegur sambil memegangi rambut Dudi, yang belakangan lebih dikenal sebagai seorang pengamat penerbangan. Soeharto hanya tersenyum melihat momen itu. Begitu juga rombongan awak pesawat yang diterima Presiden. Saidi, seorang tentara merangkap fotografer Istana, mengabadikan kejadian itu. "Sayangnya, saya tak terpikir meminta foto itu sampai Pak Saidi wafat," kata Dudi.

Rezim Orde Baru memang mengidentikkan rambut gondrong dengan gaya urakan dan anti kemapanan. Medio Januari 1972, Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, mengeluarkan larangan rambut gondrong pada bawahannya. Instruksi ini diperkuat Soeharto dengan mengirimkan radiogram pada anggota ABRI dan staf sipil di lingkungan militer beserta keluarga yang laki-laki untuk tidak memanjangkan rambut.

Tien Soeharto merupakan putri kedua pasangan KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo. Hatmanti masih keturunan Mangkunegara III. Rudolf Obsger-Roeder, orang Jerman yang menulis salah satu biografi Soeharto berjudul Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, menyebut Tien sebagai seorang 'gadis remaja yang patriotik'.

Tien Soeharto menyaksikan suaminya sungkem kepada Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo 
Foto: koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

Pada zaman pendudukan Jepang, Tien, yang punya nama lengkap Siti Hartinah, menjadi anggota Fujinkai, satu-satunya organisasi wanita yang dibolehkan masa itu. Masa revolusi kemerdekaan dia kemudian berjuang melalui Laskar Putri Indonesia dan Palang Merah Indonesia.

Pertemuannya dengan Soeharto terjadi di Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, saat usia mereka masih remaja. Tien dan keluarganya saat itu memang menetap di sana mengikuti lokasi dinas KPH Soemoharjomo, yang ditugaskan sebagai pejabat daerah di Wonogiri. Kebetulan Soeharto pindah dari Desa Kemusuk, Yogyakarta, ke Wuryantoro untuk bersekolah. Di Wonogiri, Soeharto tinggal di rumah pamannya, Prawirowihardjo.

Saat di sekolah itu, Soeharto melihat Tien, yang juga adik kelasnya. Tien membuat Soeharto jatuh hati. Menurut cerita adik tiri Soeharto, Probosutedjo, seperti dicatat Alberthiene Endah dalam Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto, perasaan itu hanya dipendam karena persoalan status sosial yang berbeda.  Soeharto tak percaya diri mendekati remaja putri dari kalangan ningrat Mangkunegaran itu.

Beberapa tahun kemudian, saat perang berkecamuk, Soeharto, yang sudah menyandang pangkat letnan kolonel, ditemui bibinya, istri Prawirowihardjo. Rupanya bibinya itu berinisiatif menjodohkan Soeharto dengan Siti Hartinah. Cinta Soeharto yang mekar saat remaja itu akhirnya berlabuh dalam sebuah hajat pernikahan yang digelar pada 26 Desember 1947 di Surakarta.

Keluarga Soeharto bersama kedua orang tua Tien Soeharto
Foto: koleksi ANRI

Tien menjadi pendukung Soeharto yang paling setia melewati masa-masa sulit. Saat Soeharto tersandung masalah ketika disangkakan melakukan bisnis menggunakan fasilitas militer semasa bertugas di Jawa Tengah, Tien hadir menopang suaminya.

Sejarawan Australia RE Elson dalam buku Suharto: A political Biography bahkan menyebut bahwa Soeharto sampai ingin berhenti saja dari ketentaraan dan berganti profesi jadi sopir taksi. Namun Tien mencegahnya. "Saya tidak menikahi sopir taksi, tapi prajurit. Hadapi kesukaran ini dengan kepala dingin, meski hatimu panas," ujar perempuan yang lahir pada 23 Agustus 1923 di Karanganyar, Jawa Tengah, itu.

Selama Soeharto berkuasa, Tien tak lepas dari tudingan miring, termasuk dalam mewujudkan ambisi besarnya mendirikan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) melalui Yayasan Harapan Kita. Pada penutupan rapat kerja gubernur, bupati, dan wali kota seluruh Indonesia di Istana Negara pada 30 Januari 1971, Tien didampingi Menteri Dalam Negeri Amirmachmud untuk pertama kalinya memaparkan rencananya  itu di depan khalayak.

Setelah itu, Tien juga berbicara di depan para istri gubernur se-Indonesia pada Desember 1971. Ibu enam anak itu meminta dukungan untuk mewujudkan TMII. Para istri diimbau melobi suami mereka untuk berpartisipasi dalam proyek miniatur Indonesia. Mulai membangun rumah-rumah adat daerah masing-masing, hasil kerajinan daerah, sampai urun dana.

Istri saya disebut-sebut sebagai Madamme Tien Percent."

Proyek TMII itu tetap berjalan meski mendapat tentangan keras dari berbagai kalangan. Soeharto membela habis-habisan istrinya. Saat meresmikan Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 6 Januari 1972, dia menyinggung khusus soal TMII. Menurut Soeharto, proyek miniatur Indonesia Indah telah dijadikan isu politik untuk mendiskreditkan pemerintah, dan dalam jangka panjang untuk mendepak ABRI keluar dari lembaga eksekutif.

Pada kesempatan itu juga, seperti yang dituturkan Dudi, Soeharto menjawab tudingan bahwa istrinya menuntut 'upeti' sebesar 10 persen dari setiap proyek negara. "Istri saya disebut-sebut sebagai Madamme Tien Percent (tien bahasa Belanda untuk sepuluh)," ujar Dudi menirukan pernyataan Soeharto.

Pembangunan TMII akhirnya bisa diselesaikan pada 25 April 1975. Tien sebagai pemrakarsa dan Ketua Yayasan Harapan Kita diberi kesempatan berpidato dalam peresmiannya. "Yayasan Harapan Kita memohon bimbingan dan bantuan pemerintah dalam membangun taman ini. Harapan kami, itu tidak sia-sia, pemerintah telah membimbing dan membantu kami," ujar Tien.

Tak hanya soal TMII. Tien juga diterpa isu tak sedap soal keyakinan yang dianutnya pada awal dekade 1970. Nusyirwan Rustian Utjin, kamerawan TVRI, pada 1971 mengikuti kunjungan Presiden Soeharto ke Burma, yang sekarang bernama Myanmar. Pada hari kedua, seusai pertemuan resmi, Soeharto dan rombongan mengunjungi pagoda. Utjin yang bersiaga dengan kameranya melihat Tien membawa bunga melati berjalan menuju pagoda.

Presiden Soeharto mengambil gambar video pada upacara tedak siti cucunya
Foto: koleksi ANRI

Dia mengarahkan kamera untuk mengabadikan momen itu. Termasuk ketika Tien berlutut dan kemudian menyembah pagoda. Begitu selesai, Mayor Guffron Dwipayana dari Sekretariat Negara menghampiri dan meminta film itu dikeluarkan dari kamera. "Daripada nanti ribut kalau ditayangkan," ujar Dwipayana. Utjin mengaku suasana pasti tambah runyam jika video itu ditayangkan. "Bisa memperuncing situasi tudingan terhadap Ibu Tien," ujarnya dalam buku 34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto.

* * *

Minggu, 28 April 1996, sekitar pukul 04.00 WIB, Tien kesulitan bernapas. Dia segera dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Sehari sebelumnya, menurut Sutanto, mantan Kapolri yang saat itu ajudan Presiden, Tien menghabiskan waktunya di sentra pembibitan buah Mekarsari. "Ibu Tien lupa bahwa sebenarnya beliau tidak boleh berjalan terlalu lama dan jauh," tulis Sutanto dalam buku Pak Harto: Untold Stories.

Pak Harto benar-benar terpukul."

Setelah melewati berbagai upaya penyelamatan medis oleh tim dokter, sekitar pukul 08.10 Tien berpulang. Wafatnya Ibu Negara kemudian diikuti rumor. Tien meninggal karena dua anak lelakinya Bambang Trihatmodjo dan Hutomo Mandala Putra berebut proyek mobil nasional. Pertengkaran keduanya diwarnai baku tembak dan peluru mengenai Tien. "Saya saksi hidup yang menyaksikan Bu Tien kena serangan jantung mendadak. Saya juga membawanya ke mobil, dan menunggu di luar ruangan saat upaya medis," kata Sutanto.

Sutanto menyebut kepergian Tien yang bertepatan dengan Idul Adha 1416 H itu membawa duka mendalam bagi Presiden. Hal tersebut juga diungkapkan Soenarto Soedarno, Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara. "Memang setelah itu tidak ada yang berubah dengan ritme kerja Pak Harto," ujarnya kepada detikX di gedung Granadi, Jakarta, beberapa waktu lalu. "Tapi, kalau beliau lagi sendirian, tampak jelas kedukaannya. Pak Harto benar-benar terpukul."


Penulis/Editor: Pasti Liberti Mappapa

[Widget:Baca Juga]
SHARE