INTERMESO

Cerita Surga
dari Jakarta

"Penghasilan ini jelas lebih besar ketimbang hidup di kampung jadi buruh tani."

Foto: Kawasan kumuh di Penjaringan, Jakarta Utara (Pradita Utama/detikcom)

Senin, 17 Juni 2019

Aroma kopi yang keluar dari gelas plastik kecil menyegarkan hidung saat Ahmad mengaduk kopi yang baru saja diseduhnya. Setelah menyesap sedikit kopi panasnya, ia merapikan puluhan renteng berbagai merek kopi dan minuman siap saji lainnya yang dijejalkan pada setang sepedanya yang mulai berkarat. Bagian belakang sepedanya dipenuhi termos air panas, termos es, dan ratusan gelas plastik. "Saya keluar (jualan keliling) sore," ujarnya kepada detikX, Selasa pekan lalu, di kawasan Tanah Abang, Jakarta.

Ahmad berbicara agak terbata-bata dengan logat Madura yang kental. Pemuda berusia 18 tahun itu baru setahun hijrah ke Jakarta dari wilayah Plampaan di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Tekanan kondisi ekonomi keluarganya membuat Ahmad lebih tertarik menuruti ajakan kawannya mencari nafkah di Ibu Kota ketimbang menyelesaikan sekolahnya di sebuah sekolah menengah atas. "Buat saya, pilihan hanya merantau keluar dari kampung," katanya.

Merantau, bagi Ahmad, tampaknya lebih menjanjikan perbaikan nasib. Bukan hanya Ahmad, meninggalkan kampung merupakan hal yang lumrah bagi pemuda seumurannya. Mereka memilih pindah ke kota-kota besar atau berangkat ke Malaysia jadi buruh migran di perkebunan sawit. "Kalau tak punya sawah atau kebun sendiri, tinggal di kampung ya hanya jadi buruh tani," ujarnya.  

Kota Jakarta pun jadi tujuannya karena mendengar cerita mudahnya mendapat uang dari kawan-kawannya yang sudah lebih dulu keluar dari kampung. "Ketimbang di Surabaya, lebih enak Jakarta. Lebih ramai," katanya.  Ahmad mengaku dalam sehari mampu memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp 200 ribu. "Penghasilan ini jelas lebih besar ketimbang hidup di kampung jadi buruh tani," ujarnya. Namun ia harus rela tidur berimpitan di kamar sempit berdinding kayu.    

Para perantau tiba di Pelabuhan Tanjung Priok setelah pulang kampung.
Foto : Pradita Utama/detikcom

Jakarta memang masih menjadi kota primadona para pencari kerja dari seluruh penjuru Tanah Air. Bukan hanya prestisenya sebagai ibu kota, Jakarta juga merupakan pusat bisnis sekaligus pusat administrasi pemerintahan dan kekuasaan politik. Jadinya impian sukses di Jakarta bak cerita surga yang menggoda. Bukan hanya para tenaga kerja profesional dan terdidik yang menyerbu Kota Jakarta. Sebagian besar justru tenaga kerja tanpa pendidikan dan keterampilan sama sekali.

Laporan Statistik Migrasi Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Survei Penduduk Antar-Sensus 2015, arus migran risen yang masuk DKI Jakarta hampir 500 ribu jiwa. Disebut migran risen jika provinsi tempat tinggal lima tahun yang lalu berbeda dari provinsi tempat tinggal sekarang. Tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten, menjadi provinsi asal terbesar para migran tersebut.

Dengan komposisi usia migran 15-54 tahun hampir mencapai 90 persen, terdapat tiga alasan utama pindah ke DKI Jakarta, yakni pekerjaan, ikut pasangan atau orang tua, dan mencari pekerjaan. Data BPS yang dilansir pada 2016 itu juga memperlihatkan sekitar 75 persen dari para migran risen memiliki pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama. Hanya 9 persen dari 500 ribu orang itu yang memiliki pendidikan sarjana.

Kehadiran para pendatang baru ke Jakarta disambut terbuka Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pun meniadakan operasi yustisi kependudukan bagi pendatang. "Jakarta adalah milik semua. Di Indonesia, tidak ada larangan bagi warga negara untuk mendapatkan pekerjaan di mana pun mereka berada. Itu prinsip dasar dalam bernegara dan Jakarta tidak dikecualikan dari itu," katanya.

Macet menjadi pemandangan sehari-hari Jakarta, kota yang diserbu oleh banyak pendatang ini.
Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom

Anies juga menyinggung masalah ketidakadilan dalam operasi yustisi. Operasi tersebut selalu memiliki target kelompok masyarakat tertentu. "Karena yang hampir tersasar selalu yang di bawah. Padahal kita semua warga negara Indonesia tidak boleh dibedakan antara kaya dan miskin, tengah, atas, bawah. Justru sekarang kita menerapkannya sebagai prinsip keadilan dan kesetaraan kesempatan," ujarnya.

Meskipun operasi yustisi ditiadakan, Anies tetap meminta perangkat rukun tetangga dan rukun warga melakukan pendataan warga baru. Ia menyebut kegiatan mendata para warga pendatang baru dengan istilah Layanan Bina Kependudukan, yang akan digelar pada 14-25 Juni 2019. "Tapi kita meminta kepada RT/RW, bila ada warga baru, untuk dicatat, lapor dan dicatat kependudukannya, sehingga kita tahu siapa yang berada di Jakarta," katanya.

Kebijakan yang digulirkan Gubernur Anies itu sebenarnya bukan hal baru. Pemprov DKI Jakarta juga tak menggelar operasi yustisi semasa era Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Basuki, gubernur tidak ingin ada cara penertiban dengan sistem kejar dan tangkap. "Operasi yustisi kayak Tom and Jerry. Pak Gub kan tidak mau lagi kejar-kejar, tangkap-tangkap," ujar mantan Bupati Belitung Timur itu pada 16 Juli 2013 di Balai Kota Jakarta.

Meski tidak menghapuskan operasi yustisi, menurut Basuki, Pemprov DKI Jakarta memilih menggunakan Program Bina Kependudukan. Contohnya sosialisasi aturan-aturan kependudukan, seperti surat keterangan pindah, jaminan pekerjaan, dan jaminan tempat tinggal. Selain itu, dilakukan pembinaan pendatang agar tidak mendirikan bangunan liar. "Kalau kamu nggak dapat kerjaan, tetap mesti numpang sama saudara atau teman kamu yang punya rumah. Jadi mereka yang tanggung jawab balikin kamu ke kampung."

Sosiolog Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine menyebut arus migrasi ke perkotaan merupakan hal lumrah yang terjadi di setiap kota besar. Apalagi Indonesia menganut migrasi yang terbuka, yakni setiap warga negara mempunyai hak masuk ke berbagai kota dan tidak bisa dibatasi. "Syaratnya, pemimpin Jakarta perlu memikirkan sebagai daerah tujuan migrasi, yaitu bagaimana kesanggupan dan kesiapan menerima arus migrasi tersebut," kata Daisy. "Daya dukung dan kebutuhan kota seperti apa? Ini harus jelas data-datanya."

Banyak pendatang di Jakarta yang rela hidup di gang-gang sempit. 
Foto : Andry Novelino/CNN Indonesia

Derasnya arus migrasi tanpa perencanaan punya konsekuensi akan menambah beban kota. Apalagi Jakarta sebagai kota megapolitan sudah punya permasalahan kepadatan penduduk. "Mereka berduyun-duyun masuk, sementara Jakarta tidak punya lapangan kerja gimana? Lalu tempat tinggalnya gimana?" ujar Daisy. Kebijakan Gubernur Anies membebaskan para pendatang baru, menurut Daisy, perlu diikuti dengan membuat regulasi pengganti untuk mengatur masalah tersebut.

Tanpa regulasi yang jelas, masyarakat tak terlindungi. Persaingan hidup di Jakarta akan semakin keras. "Membiarkan terbuka bebas pasti akan ada yang kalah, kemudian terpinggirkan," kata Daisy. Mereka yang kalah ini akan terjebak dalam ruang permukiman yang tak layak dengan kebutuhan dasar tak terpenuhi. "Akan muncul squatter area atau permukiman ilegal yang kumuh dan standar hidup rendah. Kalau seperti ini, pemerintah daerah bisa dinilai tidak bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya. Karena pemerintah bekerja untuk menjamin semua masyarakat mendapat kebutuhan dasar yang sama," tuturnya.

Daisy juga menyebut, untuk meredam arus urbanisasi ke Jakarta, pemerintah pusat juga harus konsisten mendorong pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jakarta. Kota-kota di provinsi penyumbang para migran ke Jakarta harus dibangun setara dengan Jakarta. "Jadi ada pemerataan, bahkan seharusnya bisa bersaing dalam konteks ekonomi, sehingga daya tarik itu tidak terpusat di Jakarta saja, tapi menyebar ke berbagai kota dengan keunikan masing-masing," katanya.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE