INTERMESO

Bang Ali Pun 'Takluk' Pada Urbanisasi

“Bang Ali pernah menutup kota Jakarta untuk pendatang, namun ternyata kebijakan itu gagal”.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Sabtu, 15 Juni 2019

Meledaknya laju migrasi ke Jakarta pada akhir dekade 1960-an bikin pusing Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Ali Sadikin. Perwira tinggi Korps Komando Operasi (KKO) ini menghadap Presiden Soeharto pada 5 Agustus 1970 pagi. Bang Ali melaporkan bahwa pemerintah daerah DKI Jakarta mulai hari itu akan menetapkan Jakarta sebagai kota tertutup bagi pendatang dari daerah lain. "Orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan rumah akan saya kembalikan kepada gubernur-gubernurnya," ujar Bang Ali usai pertemuan dengan Soeharto di Gedung Bina Graha, Jakarta.

Alasan utama Bang Ali mengeluarkan kebijakan tersebut adalah karena urbanisasi dinilainya sudah pada taraf membahayakan keselamatan dan tata kehidupan masyarakat Jakarta. Pemerintah DKI telah berusaha memperbaiki dan menambah fasilitas perkotaan agar seimbang dengan jumlah penduduknya. Namun semua tambahan fasilitas itu seolah tenggelam dalam pertumbuhan penduduk yang cepat. "Kalau di daerah sekolah juga tersedia mengapa para pelajar mesti datang ke Jakarta? Ini hanya akan menyulitkan saya. Saya sudah membangun sekolah banyak-banyak tetapi percuma saja," katanya. 

Perintah pun turun pada lurah sampai Ketua Rukun Tetangga (RT). Mereka diinstruksikan tidak menerima para pendatang baru dari luar daerah DKI Jakarta tanpa pekerjaan dan tempat tinggal. Beberapa minggu kemudian keluar aturannya yang lebih rinci. Pendatang baru harus menunjukkan dan menyerahkan surat jaminan dari kepala keluarga yang menyatakan bertanggungjawab terhadap tempat tinggal pendatang tersebut. Para pencari kerja juga harus menyerahkan jaminan tertulis dari calon majikan. Semua persyaratan itu harus diserahkan ke Kantor Urusan Penduduk DKI Jakarta untuk diteliti.

Suasana arus balik di terminal
Foto : Pradita Utama/detikcom

Kalau di daerah sekolah juga tersedia mengapa para pelajar mesti datang ke Jakarta? Ini hanya akan menyulitkan saya. Saya sudah membangun sekolah banyak-banyak tetapi percuma saja."

Syaratnya tak hanya berupa surat-surat jaminan. Para pendatang baru pun diwajibkan menyetor uang jaminan sebanyak dua kali ongkos transportasi ke daerah asal dengan nilai nominal minimal Rp 1.000. Jika ternyata dalam waktu enam bulan pendatang tersebut dinilai tidak memenuhi syarat untuk tinggal di Jakarta, ia akan dipulangkan. Uang jaminan tersebut akan dikembalikan dalam bentuk tiket atau karcis pulang kampung menggunakan angkutan darat atau laut kelas paling rendah. Sementara bagi yang memenuhi syarat uang jaminan dikembalikan dengan dipotong 10 persen untuk administrasi.

Urusan urbanisasi di Jakarta bukanlah cerita baru. Indonesianis dari Yale University, Lance Castles dalam artikelnya yang berjudul The Ethnic Profile of Djakarta menyebut semasa Jakarta masih bernama Batavia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Pieterzoon Coen, dalam kebijakan pemerintahannya yang dimulai 1619 mendatangkan sejumlah budak dari wilayah taklukan di kawasan timur nusantara, yakni dari wilayah Banda. Zaman itu orang Jawa dan Sunda yang tinggal di pedalaman tidak diizinkan menetap dalam benteng kota Batavia karena alasan keamanan.

Artikel yang dimuat dalam jurnal Indonesia terbitan Cornell University, Amerika Serikat, itu juga menyebut, setelah 1665, budak-budak juga didatangkan terutama dari Bali dan Sulawesi Selatan. Cacah jiwa penduduk dalam kota Batavia pada 1673 seperti yang disebutkan dalam Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India memperlihatkan komposisi penduduk selain 2.750 orang Eropa dan Mardijker 5362 orang juga terdapat orang Bali sebanyak 981 orang, Tionghoa termasuk peranakan 2747 orang, dan Melayu 611 orang.

Dari tahun ke tahun, demi memenuhi ketersediaan tenaga kerja, orang-orang Belanda mendatangkan lebih banyak lagi budak. Jumlah orang Bali berlipat ganda menjadi 7.720 jiwa seperti ditunjukkan dalam sensus penduduk pada 1815 yang dimasukkan Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java. Begitu juga dari Melayu jadi 3.155 jiwa, Sulawesi Selatan 4.139, dan Sumbawa 232. Masa itu sudah tak ada larangan lagi terhadap masuknya orang Sunda dan Jawa ke dalam kota Batavia. Mereka pun menjadi bagian dari tenaga kerja kota dengan jumlah 3.331 jiwa.

Setelah kemerdekaan, pertumbuhan populasi migran di Jakarta baru mendapat perhatian khusus. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia yang dipimpin Hendrik Jan Heeren melakukan survei urbanisasi di Jakarta menyebut dalam periode 1951-1953 sebanyak 100 ribu orang masuk ke Jakarta setiap tahunnya. Penelitian pada 1953 yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Urbanisasi Djakarta itu menemukan fakta bahwa 75 persen penduduk Jakarta lahir di luar Jakarta. "Daerah asal mereka Jawa Barat terutama yang berbatasan dengan ibu kota di sebelah timur dan barat. Daerah lain yang terbanyak 'mengirimkan' migran adalah Jawa Tengah," tulis Heeren.    

Heeren juga memaparkan hampir separuh dari para migran itu masuk ke Jakarta sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda di akhir 1949. Jakarta saat itu kembali jadi ibu kota Republik setelah bertahun-tahun dipindahkan ke Yogyakarta. Bung Karno yang berada di Yogyakarta pun turut pindah ke Jakarta. Fakta yang ditemukan Heeren mayoritas orang datang ke Jakarta dengan alasan ekonomi. Jakarta sebagai tempat pusat pemerintahan tampaknya menjanjikan harapan akan membawa kemakmuran. Namun ternyata sebagian besar migran itu akhirnya bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik baru dan pedagang kaki lima di pinggir jalan.

Pedagang kaki lima di Jakarta
Foto : Rengga Sancaya/detikcom

Laju urbanisasi di DKI Jakarta semakin tak terbendung. Gubernur DKI Jakarta era Sukarno, Soemarno Sostroatmojo menyebut angka pertumbuhan penduduk saat masa kepemimpinannya yang dimulai 1960 mencapai 3 persen pertahun. "Ini terutama karena urbanisasi," ujarnya dalam wawancara dengan Majalah Prisma yang diterbitkan pada Mei 1977. Soemarno yang menjabat sebagai gubernur selama dua periode itu mengatakan para pendatang di Jakarta itu cukup merepotkan karena banyak yang menjadi penganggur dan gelandangan.

Mengatasi urbanisasi itu Soemarno mengeluarkan kebijakan Jakarta sebagai kota tertutup pada 1962. Gubernur kelahiran Jember, Jawa Timur itu pun mengatakan sudah memberi instruksi pada setiap RT dan  Rukun Kampung (RK) agar melaporkan pendatang baru dan melarang pendatang yang tidak memiliki pekerjaan masuk ke Jakarta. "Ternyata usaha ini gagal," ujar Menteri Dalam Negeri Kabinet Dwikora I dan II itu. Upaya Soemarno membendung kedatangan penduduk dari luar Jakarta dengan kebijakan kota tertutup kemudian dipakai juga oleh suksesornya, Bang Ali.

Semuanya ini menimbulkan masalah yang memusingkan pemerintah daerah. Mengatasi soal urbanisasi minta pengorbanan. Kalau tidak segera ada tindakan, kita sendiri yang hancur."

Bang Ali, dua tahun setelah mengeluarkan kebijakan Jakarta kota tertutup menyebut persoalan manusia merupakan masalah yang sulit ditanganinya. Keluhan gubernur yang lahir di Sumedang, Jawa Barat itu disampaikan dalam pertemuan dengan pimpinan media massa 10 Maret 1972. Harian Kompas 13 Maret 1972 menuliskan Bang Ali menyebut 70 persen pendatang dari daerah lain merupakan tenaga tidak terlatih dan berpendidikan minim. "Semuanya ini menimbulkan masalah yang memusingkan pemerintah daerah. Mengatasi soal urbanisasi minta pengorbanan. Kalau tidak segera ada tindakan, kita sendiri yang hancur," ujar Bang Ali.

Gubernur Jawa Barat Solihin Gautama Purwanegara pun urun saran soal urbanisasi yang membuat pening Bang Ali. Mang Ihin menyarankan pembangunan industri di daerah Jabar terutama yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta. Tetap tingginya angka urbanisasi ke Jakarta meski Bang Ali mengeluarkan kebijakan keras pada para pendatang menurut analisis Suharso yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Penduduk Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, disebabkan banyak pendatang yang sengaja tak melapor. Pendatang itu menurut Suharso menemukan cara untuk menetap di Jakarta tanpa melalui prosedur resmi dan legal.

Calon penumpang memadati Stasiun Senen, Jakarta
Foto : Jhoni Hutapea/detikcom

Karena itu menurut Suharso kebijakan kota tertutup yang dikeluarkan Bang Ali tidak efektif dan tidak ada manfaat seperti yang dituliskan Harian Kompas. Meski catatan Kantor Urusan Penduduk DKI Jakarta menunjukkan arus orang menuju ibu kota menurun tapi tidak demikian dengan fakta di lapangan. "Jumlah penduduk yang melaporkan diri pindah ke Jakarta menurun, namun kenyataannya mereka tetap masuk dan bertempat tinggal tanpa melapor," ujar Suharso.

Sejarawan Ridwan Saidi menduga belum rapinya administrasi kependudukan kala itu menjadi faktor gagalnya Bang Ali mengendalikan kencangnya arus urbanisasi. "Sistem pencatatannya manual pasti bocor juga," katanya pada detikX. Soal adanya "main mata" antara ketua RW atau lurah  dengan pendatang baru, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam pada zaman Gubernur Ali itu menyebut kemungkinannya kecil. "Waktu itu saya juga bilang biarkan saja, tidak usah diburu-buru. Kalau mereka rasa gagal pasti pulang kampung juga," ujar Ridwan.


Penulis: Pasti Liberti
Editor: Pasti Liberti
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE