INTERMESO
"Mamogang dan balimo-limo dua tradisi yang saling melekat, tidak bisa dipisahkan."
Tradisi mamogang menyambut Ramadhan di Barus, Sumatera Utara
Foto: Pasti Liberti/detikX Minggu, 19 Mei 2019Wajah Ahmad riang melihat neneknya, Dahlaini Tanjung, menyiapkan lesung batu. Ia berlari mengambil kursi plastik kecil di ruang tamunya. Lalu ikut duduk di samping Dahliani. Ahmad pun membantu neneknya memasukkan potongan-potongan daun ke dalam lesung. Ada daun pandan wangi, daun kambelu, daun silayu, daun nilam, daun jeruk kesturi, dan daun jeruk purut. Terakhir beberapa biji jeruk purut dipotong dua, lalu dimasukkan ke dalam lesung.
Aromanya menyebar, menyegarkan dapur yang disibukkan dengan aktivitas memasak. "Wangi," ujar Ahmad. Segera diambilnya alu yang tergeletak di lantai. Dengan lincah Ahmad menumbuk dedaunan itu sampai lumat. Sesekali neneknya mengambil alih alu agar pekerjaan itu lekas selesai. Setelah agak hancur, ramuan dedaunan itu dicampur air, kemudian diperas. Air perasannya dimasukkan ke dalam botol-botol plastik bekas. "Ini buat balimo-limo, sehabis salat Asar nanti. Acara ini memang paling ditunggu-tunggu anak-anak," kata Dahlaini.
Lepas jam tiga siang, dengan menumpang mobil bak terbuka, Dahlaini beserta anak dan cucunya membawa botol-botol plastik berisi cairan warna hijau. Tak lupa mereka menenteng rantang-rantang yang isinya nasi dan segala macam jenis lauk pauk. Anak laki-laki Dahliani membawa mobil menuju ke arah hulu Sungai Aek Sirahar dekat Jembatan Husor. Jauhnya kira-kira 6 kilometer dari rumah mereka di desa Kampung Mudik, Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Pada Maret 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus. Konon, dulu Barus, yang terbentang dari Kecamatan Barus hingga sebagian wilayah Aceh, merupakan salah satu titik awal penyebaran Islam di Indonesia. Suatu pendapat yang masih jadi silang pendapat di antara sejarawan.
Baca Juga : Menelusuri Islam Pertama di Nusantara
Mamogang menjelang bulan puasa di Barus, Sumatera Utara, beberapa pekan lalu
Foto: Pasti Liberti/detikX
Tak seperti hari biasanya, pada siang itu jalan menuju Jembatan Husor sangat ramai. Kendaraan berbagai jenis, mulai motor, bentor, mobil berukuran kecil, sampai truk pasir yang mengangkut manusia bergerak menuju jembatan ke arah Pakkat, Humbang Hasundutan. Balimo-limo memang sudah menjadi tradisi masyarakat Barus, kota tua di pesisir barat Sumatera Utara, sehari sebelum memasuki bulan Ramadan. Hampir semua keluarga muslim di Barus menjalankan tradisi ini.
Air harum-haruman ini untuk membersihkan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan. Intinya pada niatan untuk menyucikan diri."
Kira-kira seperempat jam perjalanan, mobil yang dinaiki Dahlaini turun ke arah tepi sungai. Menggunakan jalur yang digunakan truk penambang pasir dan batu sungai. Seiring matahari mulai rebah di ufuk barat, tepi Sungai Aek Sirahar bertambah ramai. Dua sisi bantaran sungai nyaris dipenuhi manusia beragam usia. Masing-masing keluarga menggelar tikar dan menurunkan bekal mereka. Semuanya serba-daging kerbau. "Lauknya gulai kerbau, rendang kerbau, dan perkedel kerbau," ujar Dahlaini.
Di pinggir sungai, semua orang melebur tanpa sekat. Setiap keluarga mengeluarkan bekal. Makan bersama dengan lauk sambil duduk di atas bebatuan. Baru setelah makan, mereka turun ke sungai sambil membawa botol berisi air perasan berwarna hijau. Orang tua menyiramkan air beraroma limau ke atas kepala dan ke badan anak-anaknya. "Air harum-haruman ini untuk membersihkan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan," kata Dahlaini. "Intinya pada niatan untuk menyucikan diri."
Sejarawan Universitas Negeri Medan, Medan, Sumatera Utara, Ichwan Azhari menyebut tradisi balimo-limo punya akar dari ajaran Hindu. "Asimilasi antara ajaran Islam dan Hindu," ujar Ichwan kepada detikX. Tak hanya warga muslim Barus yang menyambut Ramadhan dengan balimo-limo, tapi juga beberapa daerah lain di Tapanuli Tengah dan pesisir barat Sumatera Utara. Tradisi ini, menurut Ichwan, ada pula di beberapa wilayah Sumatera lainnya, seperti di Minangkabau dan Riau, dengan sebutan yang nyaris serupa. Balimo-limo juga tak jauh berbeda dengan tradisi padusan, yang masih bertahan sampai sekarang di Pulau Jawa.
Seorang warga Barus mempersiapkan balimo-limo
Foto: Pasti Liberti/detikX
Daging kerbau jadi bahan utama hampir seluruh masakan yang dibawa orang Barus ke acara balimo-limo. Namun kerbau itu tidak dibeli di pasar yang digelar tiap hari Sabtu dan Rabu. Orang Barus punya tradisi penyembelihan ternak kerbau secara massal, yang biasanya dilakukan di tepi Sungai Aek Sirahar. "Mamogang dan balimo-limo dua tradisi yang saling melekat, tidak bisa dipisahkan," ujar tokoh masyarakat Barus, Zuardi Mustafa Simanullang, yang akrab disapa Sizurlang kepada detikX.
Tahun ini mamogang digelar pada Sabtu (4/5), dua hari sebelum masuknya bulan puasa. Kerbau-kerbau yang akan disembelih sudah dibawa ke tempat penjagalan malam sebelumnya. Sesuai kesepakatan, tepat pukul 3 dini hari sembilan kerbau disembelih berbarengan. "Orang yang menyembelih ini ditunjuk dari imam-imam masjid yang berada di sekitar Kota Barus," kata Sizurlang. "Tidak boleh pemilik kerbau membawa tukang potongnya sendiri-sendiri."
Imam masjid yang menjagal tak diberi bayaran berupa uang tunai. "Upah" mereka diambil sedikit dari kerbau yang dipotong. "Secara tradisi, diambil (daging) selebar tiga jari di sekitar leher (kerbau). Itulah upah tukang potong," ujar Sizurlang. Menurut tradisinya, tak pernah ada hewan selain kerbau, seperti sapi atau kambing, yang dipotong dalam acara mamogang.
Setelah salat Subuh, orang-orang dari berbagai penjuru Barus akan memadati pinggir sungai berburu daging kerbau. "Dari semua lapisan," kata Sizurlang. "Kalau tidak membeli minimal setengah kilo saja, mereka akan merasa ketinggalan atau tidak ikut menyambut Ramadhan." Biasanya, kata Sizurlang, yang membeli dalam jumlah yang banyak adalah pasangan muda yang baru menikah. Menurut adat, pasangan ini harus membawakan daging yang sudah dimasak ke rumah orang tua masing-masing sekaligus untuk sowan.
Saksi bisu peradaban Islam pertama di Nusantara
Video : Gusti Ramadhan Alhaki/20detik
Acara potong kerbau massal kembali diulang pada akhir bulan Ramadhan dengan nama yang berbeda. Menyambut Idul Fitri, tradisinya bukan disebut mamogang lagi, tapi malapeh. "Malapeh kurang-lebih artinya keluar dan apa-apa yang kurang baik sudah kita lepas semasa bulan Ramadhan," ujar Sizurlang. Malapeh jauh lebih ramai ketimbang mamogang. Karena para perantau akan kembali ke Barus untuk merayakan Idul Fitri.
Uniknya, baik dalam mamogang maupun malapeh tidak hanya didatangi penduduk yang beragama Islam. "Kita lihat orang-orang yang datang ini tidak semua baragama Islam. Ada juga nonmuslim," ujar Sizurlang. Begitu juga sebaliknya ketika ada pemotongan kerbau menjelang hari raya Natal. "Betapa di Barus ini kerukunan umat beragama sangat erat satu sama lainnya. Di sinilah tergambar persaudaraan dan persatuan."
Redaktur/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo