INTERMESO
#MariBerbagi
"Dari 10 restoran selama 2 hari saja, mereka bisa membuang 600 ayam goreng. Padahal kalau bisa dimanfaatkan tentu akan lebih berguna"
Ilustrasi
Foto : dok. FoodCycle
Sabtu, 11 Mei 2019Suara klakson motor terdengar di depan rumah tinggal Nimo yang berada di Kalibata, Jakarta Selatan. Sambil setengah berlari, perempuan berjilbab ini segera beranjak ke pintu pagar. Di depan sudah ada seorang ojek online menanti sambil menenteng beberapa tas kresek berukuran besar. Di balik plastik berwarna merah itu, terdapat puluhan kotak mika besar berisi aneka makanan.
Beberapa diantaranya berisi kambing guling, bebek panggang dan makaroni schotel. Nimo juga pernah menerima paket berisi daging sapi wellington dan steak salmon lada hitam. Tak terhitung sudah berapa kali ojek daring itu mengantar makanan dalam jumlah besar ke rumah Nimo. Semua makanan itu dibawa langsung dari dapur beberapa hotel bintang lima di Jakarta.
Paket kiriman makanan ini Nimo terima dengan cuma-cuma alias tak perlu membayar uang sepeser pun. Kalau pun ada uang, rasanya Nimo juga tidak akan sanggup membeli makanan semewah itu. Sudah beberapa tahun, perempuan asal Somalia, negara di Afrika Timur, ini hidup terkatung-katung di Jakarta bersama dengan ratusan pengungsi lainnya.
Mereka terpaksa hengkang dari negara asalnya yang didera perang bertahun-tahun. Perang, kekeringan, dan serangan teroris, datang silih berganti di negara itu, membuat orang-orang seperti Nimo tak ada pilihan lain selain lari. Jangankan uang, paspor atau visa yang menjadi syarat mencari kerja pun tak ada. Nimo dan pengungsi lain yang berasal dari Afrika hanya hidup berdasarkan belas kasihan. Mereka tinggal sementara di rumah singgah yang dikelola United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), badan PBB untuk menangani pengungsi, dan lembaga nirlaba seperti Second Chance Initiative.
Namun belakangan, sejumlah hotel, restoran maupun gedung serba guna rutin mengirimkan makanan yang berasal dari pesta pernikahan. Begitu pesta usai, makanan tersisa yang belum tersentuh dan tidak sempat disajikan, dikirim ke penampungan pengungsi. Nimo dipercaya menjadi koordinator sekaligus perantara dengan komunitas pengungsi Afrika itu.
Baca Juga : Dalam Sebungkus Nasi Kita Bersaudara
Makanan yang tersisa dari suatu pesta
Foto : dok. Food Cycle
Food Cycle, gerakan bagi-bagi makanan yang tersisa dari pesta ini merupakan buah inisiatif dari pasangan suami istri, Herman Andryanto dan Astrid Paramita. Mereka menjadi jembatan antara orang-orang yang kelebihan dengan mereka yang kekurangan makanan. Sejak 2017 silam, Food Cycle aktif mengumpulkan dan membagikan makanan-makanan yang berlebih dari pesta-pesta pernikahan di sejumlah hotel dan gedung di Jakarta.
Beberapa bulan sebelum memulai gerakan ini, Herman dan sang istri baru kembali ke tanah air setelah tinggal lama di kota Melbourne, Australia. Herman terusik melihat kesenjangan ekonomi dan sosial yang jelas terpampang di depan mata di Jakarta. Di balik gedung-gedung kantor dan apartemen yang jangkung menjulang, ada orang-orang yang susah payah bertahan hidup di Jakarta.
Yang membuat kami kaget setelah pergi lama, kesenjangan antara yang menjulang tinggi dan kalau belok masuk ke gang kecil kok terasa banget'
“Yang membuat kami kaget setelah pergi lama, kesenjangan antara yang menjulang tinggi dan kalau belok masuk ke gang kecil kok terasa banget. Kami terus pikir, gimana bisa menjembatani kesenjangan ini,” kata Herman saat berbincang dengan detikX di kantor Food Cycle, Pondok Jati, Jakarta Timur, beberapa hari lalu.
Kekhawatiran Herman dan Astrid terjawab setelah melihat sebuah kiriman video dari grup WhatsApp. Isinya bercerita tentang gerakan mengumpulkan dan membagikan makanan pesta pernikahan bernama No Food Waste yang telah lebih dulu ada di India. No Food Waste dirintis oleh Padmanaban Gopalan pada tahun 2015 di Coimbatore, kota terbesar kedua di negara bagian Tamil Nadu, India.
Kini No Food Waste telah menyebar ke sembilan kota lain di India seperti Chennai, Salem, Dharmapuri, dan Krishnagiri. Gerakan ini telah berhasil memberi makan hampir 900 ribu orang yang hidup kekurangan dan menyelamatkan sekitar 290 ton makanan. Selain No Food Waste, ada beberapa gerakan serupa di India, misalnya Feeding India yang digerakkan oleh Ankit Kawatra dan ratusan relawan. “Mungkin ini God's plan. Pesta pernikahan di Jakarta kan biasanya cukup besar. Kelebihan makanannya pasti bisa dimanfaatkan. Saya lihat konsep ini bisa direplika di Indonesia," kata Herman.
Herman Andryanto dan istrinya, Astrid Paramita
Foto : dok. Food Cycle
Pucuk dicinta ulam tiba, Herman bertemu dengan Kevin Mintaraga, pendiri marketplace khusus pernikahan, Bridestory. Jadilah sebuah program bertajuk A Blessing to Share. Bridestory membantu Food Cycle mensosialisasikan program ini kepada calon pengantin. Pasangan yang berminat menyumbangkan makanan yang berlebih dalam pesta pernikahannya tinggal mendaftar. Tapi bukan berarti mereka wajib menyisihkan makanan.
Dari 180 pesta pernikahan yang terdata tahun lalu, sekitar 60 persen di antaranya kelebihan makanan. Agar lebih efesien dan tepat sasaran, Food Cycle bekerjasama dengan organisasi yang telah punya pengalaman dalam bagi-bagi makanan kepada mereka yang kekurangan, misalnya Food Bank of Indonesia, Yayasan KDM dan Sahabat Anak. Mereka juga melakukan pengecekan kelayakan makanan serta pendistribusian.
“Makanan dari pesta pernikahan itu rentan banget rusak, makanya kami punya standar operasional yang diajarkan kepada rekan distribusi. Ada 4 poin utama yang harus diperhatikan yaitu rasa, aroma, tekstur dan visual. Kami juga memastikan bahwa makanan itu halal,” Herman menuturkan. Sejauh ini Food Cycle sudah berhasil menyelamatkan sekitar 5,6 ton makanan dari pesta-pesta pernikahan di Jakarta. Food Cycle bisa mengumpulkan hingga 100 kilogram makanan lebih dalam satu kali pesta pernikahan.
Bukan cuma makanan pesta, Food Cycle kini juga bekerja sama dengan beberapa jaringan toko roti di Jakarta. Roti yang masih layak dimakan namun menurut standar perusahaan tidak diperkenankan dijual dioper ke Food Cycle. Begitu pula dengan lunch box berlebih dari perkantoran. Kini Herman mengincar gerai jaringan restoran cepat saji. “Saya dapat info dari salah satu jaringan besar di Jakarta Timur. Dari 10 restoran selama 2 hari saja, mereka bisa membuang 600 ayam goreng. Padahal kalau bisa dimanfaatkan tentu akan lebih berguna,” katanya. Ayam itu dibuang bukan lantaran sudah basi atau tak layak makan, tapi tak memenuhi standar restoran.
Semakin menyelami permasalahan makanan berlebih ini, Herman dan istrinya yang lulusan sarjana Teknologi Makanan dari universitas di Australia ini menemukan masalah yang lebih kompleks. Herman kaget bukan main saat mengetahui Indonesia menduduki peringkat kedua dalam hal buang-buang makanan. Peringkat satu dipegang oleh Arab Saudi. Penelitian dari Economist Intelligence Unit tahun 2017 menunjukan, satu orang bisa membuang 300 kilogram makanan setiap tahun. Jika dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia berarti sekitar 87 juta ton makanan tersia-siakan.
Nasi bungkus yang dibagikan kepada mereka yang kekurangan
Foto : dok. Food Cycle
Sisa makanan yang terbuang ini justru makin bertambah selama bulan Ramadhan. Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan, 864 ton sampah bertambah pada hari pertama. Sampah ini terutama berasal dari pasar kaget dan tempat pedagang takjil. Padahal, masih banyak orang-orang yang di sekitar kita yang harus bersusah payah hanya sekadar untuk mengisi perutnya yang kelaparan.
Global Hunger Index (GHI) atau Indeks Kelaparan Global pada 2018 mengatakan, Indonesia masuk dalam kategori punya masalah kelaparan serius. GHI Indonesia tahun 2018 sebesar 21,9. Di ASEAN, posisi Indonesia lebih buruk dari Filipina, Myanmar, Vietnam, Malaysia dan Thailand. GHI merupakan alat untuk mengukur dan melacak kelaparan secara komprehensif di tingkat global, regional, dan nasional.
Target Food Cycle adalah zero food waste dan zero hunger
“Sekarang target Food Cycle adalah zero food waste dan zero hunger. Kami sadar, bagi-bagi makanan is not the final solution. Kalau kami distribusi makanan doang, nggak akan tercapai tujuan itu,” tutur Herman. Dia sempat kaget saat menyambangi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu di Bantar Gebang, Bekasi, melihat begitu banyaknya sampah makanan terbuang percuma.
Food Cycle turut mengolah makanan yang sudah tak laku dijual di pasaran. Salah satunya memproduksi kue bolu crumble dari bahan pisang yang sudah menghitam dan telah tampak proses pembusukan. Pisang itu diolah kembali dalam bentuk kue dan kemudian dipasarkan dengan merek Manna cake. Hasil penjualannya digunakan untuk menutupi biaya operasional Food Cycle. Di samping itu, Herman juga menggalang dana untuk membiayai kegiatan Food Cycle lewat situs Kitabisa.
Selain digerakkan para relawan, Food Cycle juga melibatkan para anak jalanan untuk ikut membantu membuat kue bolu crumble pisangnya. Mereka terlebih dahulu akan mendapatkan pelatihan sebanyak 30 sesi di sebuah sekolah kulineri di Jakarta. Sejauh ini sudah ada dua anak yang mendapat pelatihan itu. “Ke depannya di benak kami, kalau mereka jadi chef, mereka akan jadi dutanya Food Cycle. Mereka akan masak tapi juga peduli dengan sampah makanan,” tuturnya.
Langkah terakhir untuk meminimalisir sampah yaitu dengan proses recycle. Food Cycle mengumpulkan sampah organik dari beberapa perusahaan makanan yang telah bekerja sama. Menggunakan teknologi biokonversi, sampah organik diurai menjadi pupuk dengan bantuan lalat Black Soldier Fly. “Kami mulai dari gerakan yang sederhana. Ternyata perkembangannya nggak kami rencanakan. Banyak sekali pihak yang menyambut dan mendukung kami. Tinggal bagaimana kami menyambutnya,” ujar Herman.
Reporter/Penulis: MELISA MAILOA
Editor: Sapto Pradityo