INTERMESO
"Yang menang harus bisa lebih menahan diri dari pada yang kalah, nggak boleh terus menerus bereforia"
Pendukung pasangan Calon Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin saat kampanye
Foto : Ulet Ifansasti/Getty Images
Minggu, 21 April 2019Maryann Meador sudah 23 tahun menikah dengan suaminya. Selama hampir seperempat abad berumahtangga, menurut Maryann, 65 tahun, sudah jadi hal biasa bagi dia dan suaminya berbeda pendapat dalam soal politik. Selama ini, perbedaan itu tak pernah jadi persoalan besar di antara mereka.
Semua itu berubah sejak Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu. Keluarga pasangan asal Saint Marys, Negara Bagian Georgia, itu tak lagi sama. Suaminya mendukung Donald Trump. Sementara Maryann sama sekali tak suka dengan Trump. Dan perbedaan itu tak lantas terlupakan, bahkan setelah lebih dari dua tahun Pemilihan Presiden itu usai.
Sekarang, mereka tak pernah lagi menonton bersama NBC Nightly News. Sedikit saja ada perdebatan politik, akan segera berubah menjadi pertengkaran. Kini Maryann selalu membaca berita politik diam-diam dan segera menangkupkan laptopnya jika sang suami menghampiri. Setiap kali suaminya minum kopi dengan cangkir bergambar Donald Trump bertuliskan 'Make America Great Again', dia selalu geregetan membantingnya. "Tapi apa yang akan aku peroleh?" kata Maryann kepada New York Times beberapa bulan lalu.
Pemilihan Presiden Amerika dua tahun lalu menyisakan banyak 'luka' pada warganya. Kampanye yang keras dan kasar dengan menebar sentimen agama dan rasial membuat banyak keluarga terbelah, pertemanan bubrah. Gara-gara beda pilihan politik, seorang sahabat Joshua Narramore, warga kota Avon Lake, memutuskan pertemanan dengannya. Padahal sebelum Pemilihan Presiden 2016, mereka bersahabat karib. Pertemanan itu putus setelah Joshua menyatakan dukungan kepada Trump lewat Facebook. Mereka tak lagi saling bicara. "Ini menyedihkan...Tapi aku tetap selalu berdoa untuk dia," ujar Joshua soal sahabatnya.
Tak cuma hubungan pertemanan dan kekerabatan yang terpengaruh polarisasi politik. Kisah cinta Savannah Fehling, 23 tahun, asal kota Sarasota, bubar lantaran dia sadar berbeda sikap politik dengan pacarnya. Pacarnya orang yang condong konservatif, sementara Savannah lebih dekat dengan Partai Demokrat. Bahkan, ada dua bersaudara kandung di New England yang tak saling bicara usai Pemilihan Presiden. Orang tuanya sampai perlu berkonsultasi dengan psikiater untuk mendamaikan mereka.
Menurut penelitian Pew Research Center, sekitar 38 persen warga Amerika yang mengaku seorang Demokrat mengatakan bahwa hubungan pertemanan akan terganggu jika sahabatnya punya sikap politik berbeda. "Masalah ini sekarang merasuk ke dalam rumah tangga, lingkungan perumahan, tempat ibadah dan lingkungan kerja, menyebar bak virus," kata Carolyn Lukensmeyer, Direktur National Institute for Civil Discourse.
Apakah situasi serupa akan terjadi di Indonesia?
Prabowo Subianto disambut para pendukungnya
Foto : Detik.com
Tepat pukul 3 sore, dua jam setelah pencoblosan Pemilihan Umum 2019 usai, berbagai lembaga survei berlomba-lomba menyajikan hasil hitung cepatnya. Sebagian besar hitung cepat lembaga survei ini memenangkan sang petahana, Joko Widodo, dan pasangannya Kiai Ma'ruf Amin untuk memimpin Indonesia periode 2019-2014.Namun kubu Prabowo Subianto menolak kesimpulan hasil hitung cepat itu. Lewat deklarasi yang beberapa kali diadakan, ia dengan yakin mengklaim sebagai pemenang. Kejadian ini seolah de javu, membawa ingatan publik kembali pada Pemilihan Presiden 2014 silam.
Di tengah pertarungan wacana kemenangan antara kedua kubu, situasi menjadi semakin memanas dan sulit ditebak, akan ke mana ujungnya. Polarisasi politik antara pendukung Jokowi dan Prabowo saat ini seakan merupakan kelanjutan pertarungan pada Pilpres 2014 yang tampaknya belum benar-benar selesai. “Apalagi sayangnya kandidat yang ada sama dengan 5 tahun lalu. Ini membuat situasi polarisasi seperti jadi permanen,” tutur Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI).
Polarisasi masyarakat antara pendukung Jokowi dan Prabowo tercipta, salah satunya disebabkan oleh permainan isu-isu sensitif seperti agama yang kerap digunakan oposisi. Membuat hubungan antara masing-masing pendukung menjadi semakin renggang. Kelompok pro Jokowi menuduh kubu lawannya penyokong khilafah, sedangkan pendukung Prabowo menyebarkan kabar burung bahwa Jokowi punya sejarah dengan Partai Komunis Indonesia. Saling asal tuduh yang belum terbukti kebenarannya.
Padahal secara ideologi tidak ada yang bisa mengklaim paling Islam, paling sekuler atau paling nasionalis'
“Padahal secara ideologi tidak ada yang bisa mengklaim paling Islam, paling sekuler atau paling nasionalis. Saya kira dua-duanya anti komunis dan anti Islam radikal dan punya komitmen dengan Pancasila. Lihat saja debat ke empat mereka sama-sama menyatakan ideologi Pancasila, sebetulnya masalah sudah clear di situ,” tutur Firman kepada detikX beberapa waktu lalu.
Namun Firman menilai, ketegangan ini tidak akan bertahan lama. Salah satu contohnya yaitu ketika Pilkada 2018, di mana partai politik yang sebelumnya berseberangan justru bisa bersatu. Seperti kata orang, bagi sebagian elite politik, tak ada musuh dan teman yang abadi.
“Karena ini bukan suatu pembelahan ideologi, ini masih debatable, sehingga memang potensi untuk selesainya juga ada, tidak permanen. Di negara tertentu seperti Amerika Latin, polarisasi bisa terjadi sangat permanen karena sudah menyangkut ideologi. Tapi di Indonesia ini kan pertarungan figuritas saja, tidak terlalu ideologis,” kata pria yang menjadi profesor riset termuda LIPI di usia 42 tahun.
Pendukung Jokowi saat berkampanye di Solo, Jawa Tengah
Foto : Getty Images
Situasi panas yang membuat Indonesia seolah terbelah sebagian besar terpantik 'debat kusir' dan saling caci di sosial media. Lahirnya umpatan cebong dan kampret membuat kedua kubu tampak seperti dua musuh yang sulit didamaikan. Ditambah lagi kemunculan para buzzer yang ikut menyebarkan berita bohong dan membakar situasi sehingga potensi polarisasi itu tampak lebih besar dari pada sebenarnya.
Sayangnya, ada elite politik malah ikut 'memancing di air keruh' tanpa mempedulikan potensi konflik di antara pendukung dan kemungkinan ancaman keutuhan bangsa. Situasi Indonesia saat ini digambarkan sedang mengalami masa darurat berita bohong alias hoaks. “Menurut saya intinya pada hoaks, kalau tidak bisa dikendalikan meskipun sudah jelas siapa yang menang dan kalah, ketegangan ini akan sulit disembuhkan, “ kata Ahmad Suaedy, Direktur pusat penelitian Wahid Institute.
Wahid Institute ikut berperan meredam ketegangan di tengah ketidakpastian hasil Pemilihan Presiden ini. Terutama dalam hal menangkal penyebaran hoaks. “Kami melanjutkan apa yang sudah kami lakukan, di antaranya pendidikan langsung lewat workshop, seminar, kontra sosial media. Kami membangun narasi damai supaya mereka yang semula anti bisa masuk ke apa yang kami lakukan,” tutur Suaedy.
Tapi menurut Suaedy, siapa pun kelak yang terpilih secara resmi punya tugas besar untuk menyembuhkan luka akibat ketegangan yang berkepanjangan ini. “Yang menang harus bisa lebih menahan diri dari pada yang kalah, nggak boleh terus menerus bereforia. Yang menang harus lebih aktif menyembuhkan dari pada yang kalah,” katanya.
Meskipun hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih menunggu beberapa pekan lagi, capres petahana sudah melakukan upaya menurunkan tensi politik. Jokowi mendorong rekonsiliasi pasca-Pilpres 2019 dengan mengirimkan utusan yakni Luhut Binsar Panjaitan untuk bertemu dengan capres Prabowo Subianto. Luhut merupakan senior Prabowo di militer. Mereka juga pernah berkongsi bisnis.
"Sudah sering saya sampaikan bahwa persahabatan dan tali silaturahmi kami semuanya, saya dan Pak Kiai Ma'ruf tidak akan putus dengan Pak Prabowo juga Pak Sandi, sehingga siang tadi saya utus seseorang untuk bertemu dengan beliau," ujar Jokowi di Plataran Menteng, Jakarta Pusat, Kamis lalu. Jokowi mengungkapkan keinginannya untuk bisa bertemu dengan Prabowo. "Agar kami bisa berkomunikasi....Kalau kami bisa bertemu rakyat akan melihat bahwa pemilu telah selesai dengan lancar, aman, dan damai."
Kiai Ma'ruf berharap, polarisasi masyarakat akibat Pemilihan Presiden dan Pemilihan Anggota Legislatif bisa segera diakhiri setelah Pemilihan Umum usai. "Kita kubur, ada cebong ada kampret, kita kubur saja," kata Kiai Ma'ruf.
Reporter/Penulis: MELISA MAILOA
Editor: Sapto Pradityo