INTERMESO


Setelah 17 April

"Syaratnya adalah elite politik harus siap kalah dan menang. Elite yang sudah matang selalu menyiapkan pidato kemenangan dan kekalahan"

Prabowo Subianto dan para pendukungnya

Foto : Rifkianto Nugroho/Detik.com

Sabtu, 20 April 2019

Belum juga semua Tempat Pemungutan Suara (TPS) selesai menghitung suara pada Rabu sore, 17 April 2019, Twitter sudah riuh dengan klaim kemenangan kedua kubu yang bertarung dalam Pemilihan Presiden 2019. Pendukung pasangan Calon Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin 'mengibarkan' tagar #JokoWinElection, sementara penyokong Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 'memproklamasikan' #TheVictoryOfPrabowo.

Hari beranjak gelap dan malam datang, situasi makin panas. Bahkan pada sore itu Prabowo sudah mendeklarasikan diri sebagai pemenang. Tak cuma sekali, tapi dua kali hanya berselang sekitar tiga jam. Dan deklarasi kemenangan itu, dia ulangi lagi keesokan harinya. Kali itu Prabowo tampil berdua bersama Sandiaga Uno yang kabarnya sedang kurang enak badan.

Empat jam usai mendeklarasikan kembali kemenangan yang ketiga kalinya di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Prabowo Subianto bergegas naik ke mobil Toyota Alphard putih dengan tujuan ke kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Saat keluar dari halaman rumahnya, ia muncul melalui sunroof mobil. Menyapa para pendukungnya dengan salam khas dua jari jempol dan telunjuk.

Melihat Prabowo yang menjulurkan tangan, para pendukung sontak mendekati mobil dan antusias memekikkan nama mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu. Terdengar juga teriakan bersahutan, "Presiden.. Presiden.. People power.. people power." Prabowo bersama Sandiaga Uno mendeklarasikan kemenangan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2019-2024 berdasarkan klaim penghitungan lebih dari 62 persen hitungan real count oleh tim internal mereka.

Prabowo menyebut kemenangan tersebut dideklarasikan lebih cepat lantaran timnya menemukan 'bukti' terjadi usaha-usaha dengan berbagai ragam kecurangan di berbagai kecamatan, kabupaten, dan kota seluruh Indonesia. Mantan menantu penguasa Orde Baru, Soeharto, itu juga mengajak para pendukungnya untuk bersyukur atas hasil pemilihan presiden versi quick real count tim pemenangan.

Pendukung pasangan Calon Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin di Bundaran Hotel Indonesia pada Rabu petang, 17 April 2019
Foto : Agung Pambudhy/Detik.com

Sementara di pihak seberang, tak sampai sejam sebelum Prabowo berbicara, Calon Presiden Joko Widodo menyebut hasil hitung cepat 12 lembaga survei yang mengunggulkan dirinya. " Jokowi-Amin dapat 54,5% dan Prabowo-Sandi mendapat 45,5%," ujar Jokowi didampingi sejumlah pimpinan partai. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan hitung cepat tersebut dikerjakan lembaga survei secara ilmiah. "Akurasinya 99 persen, yang hasilnya hampir sama dengan real count. Namun demikian, sekali lagi, kita harus tetap sabar menunggu penghitungan resmi dari KPU."

Saling klaim kemenangan oleh dua kompetitor ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau kedua kubu untuk mendinginkan suasana yang ditunjukkan dengan sikap menahan diri dan menjaga ketenangan. "Kami mohon agar kedua pasangan dan para pihak terkait betul-betul sabar menunggu hasil pemilu yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum," ujar Haedar kepada wartawan saat konferensi pers di Yogyakarta, Kamis lalu.

Bagi mereka, siapapun yang menjadi Presiden tidak terlalu menjadi masalah. Yang terlihat belum siap menerima hasil Pemilu justru para elite politik'

Masyarakat pun diminta tidak terlalu terpengaruh suasana oleh banyaknya hasil hitung cepat dan exit poll yang disajikan di media massa, media sosial, dan ruang publik. "Sebagai sebuah kerja ilmiah, hasil-hasil survei merupakan sajian hitungan atau data yang patut dihormati, namun sama sekali tidak mempengaruhi dan menentukan hasil Pemilu," ujar Haedar. "Hasil Pemilu yang secara resmi akan diumumkan KPU hendaknya bisa diterima dengan jiwa besar, kesatria, lapang hati, dan bijaksana. Apabila terdapat persengketaan hendaknya diselesaikan secara hukum."

Muhammadiyah, kata Haedar, juga menawarkan diri menjadi mediator untuk mendinginkan suasana antar pasangan calon yang bertarung dalam pilpres kali ini. "Kami insyaallah juga akan melakukan langkah-langkah serupa untuk menjadi mediator (rekonsiliasi). Atau pun juga kita menyelenggarakan acara-acara yang bisa mengarah kepada rekonsoliasi dalam arti yang luas," kata Haedar.

Kepada detikX, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menambahkan gagasan menawarkan rekonsiliasi itu muncul setelah Muhammadiyah melihat adanya gejala di mana ada pihak-pihak tertentu yang mengklaim telah memenangkan Pemilihan Presiden 2019. Padahal proses rekapitulasi suara masih berjalan dan KPU belum mengumumkan hasil Pemilu.

Pendukung Jokowi membentangkan bendera raksasa sebelum pawai pada Rabu, 17 April 2019
Foto : Pradita Utama/Detik.com

Di lain pihak, Muhammadiyah juga melihat ada pihak-pihak yang merencanakan mobilisasi massa dan gejala euforia kemenangan yang provokatif. "Air masih mendidih. Bara belum padam. Jika semua pihak tidak menahan diri, Muhammadiyah khawatir sebagian masyarakat akan terpengaruh dan melampiaskan hasil kekecewaan atas hasil Pemilu secara inskonstitusional," ujar Mu'ti.

Menurut Mu'ti, rekonsiliasi merupakan tawaran Muhammadiyah jika permasalahan Pemilu ternyata tidak dapat diselesaikan secara hukum. "Pilihan pertama adalah musyawarah. Jika memang tidak bisa, selesaikan secara hukum," kata Mu'ti. "Tapi, sebaiknya semua pihak kembali kepada kesadaran dan komitmen bersama, bahwa Pemilu hanyalah sarana untuk memilih pemimpin terbaik yang akan memegang amanah rakyat untuk kemajuan bangsa. Jangan sampai masalah Pemilu membuat bangsa Indonesia lupa akan tujuan dan komitmen bersama."

Sebenarnya kata Mu'ti mayoritas masyarakat terlihat sudah tenang. Masyarakat sudah lelah dengan hiruk-pikuk Pemilihan Umum dan begitu lamanya pelaksanaan kampanye di mana bertebaran pernyataan-pernyataan yang bernada memecah belah. "Mereka ingin situasi kembali normal dan kehidupan menjadi lebih baik, terutama ekonomi. Bagi mereka, siapapun yang menjadi Presiden tidak terlalu menjadi masalah," kata Mu'ti. "Yang terlihat belum siap menerima hasil Pemilu justru para elite politik."

Pandangan serupa juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masduki Baidlowi. Menurut Masduki sebenarnya polarisasi tajam yang dikhawatirkan terjadi di masyarakat tak terjadi. "Situasi di masyarakat kondusif. Mereka siap dengan perbedaan dengan hasil apa pun. Siap menang bahkan siap untuk kalah," kata Masduki. 

Persoalannya justru terletak pada para elite politik di negeri ini. Indonesia sudah beberapa kali menyelenggarakan Pemilu pasca reformasi. Seharusnya elite yang bertarung semakin hari tambah matang. "Salah satu syaratnya adalah elite politik harus siap kalah dan menang. Elite yang sudah matang selalu menyiapkan pidato kemenangan dan kekalahan. Jangan hanya pidato kemenangan. Kondisi hari ini justru sebaliknya," kata Masduki. "Elite harus banyak-banyak koreksi diri. Berikanlah contoh yang baik. Jangan terbalik. Menurut ajaran agama, tokoh itu harus memberi ajaran dan contoh yang baik bagi rakyatnya."

Pendapat berbeda disampaikan sejumlah aktivis yang bergabung dalam perkumpulan Rumah Indonesia. Salah satu deklarator Rumah Indonesia Ichsan Loulembah menyebut saat ini masyarakat sudah terbelah diametral dalam posisi berhadap-hadapan. Situasi ini mengkhawatirkan karena dua kubu punya kekuatan yang sama besarnya. "Sebelum terjadi eskalasi yang tidak terkendali, kita harus melakukan upaya-upaya pencegahan dan memitigasi segala sesuatunya, agar konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung tidak runtuh," kata Ichsan.

Dalam situasi sekarang, penting bagi penyelenggara Pemilu terutama KPU untuk lebih sering tampil untuk memberikan pemutakhiran terkait kondisi pasca pemungutan dan sekarang dalam proses penghitungan. "KPU ini satu-satunya yang diberi otoritas untuk mengalirkan informasi dan menjadi pusat rujukan soal Pemilu," ujar Direktur Eksekutif Institut Peradaban itu. "Sayangnya komunikasi publik mereka sangat lemah."


Redaktur/Penulis: PASTI LIBERTI
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE