INTERMESO


DI BALIK KABAH DAN BINTANG

"Sudah, nggak usah ada PPP saja. Kalau tidak memakai simbol Kabah, tidak usah ada partai."

Untung Budi Pramono bersama bendera PPP di Thorong La, Himalaya

Foto : dok. PPP

Sabtu, 9 Maret 2019

Penentuan lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setahun setelah partai terbentuk pada 1973 itu sangat alot. Tercatat tiga kali pertemuan resmi Dewan Pimpinan Pusat PPP dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal Amirmachmud dan Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamtib) Laksamana Sudomo khusus membahas hal itu. Kata sepakat baru tercapai pada awal Juli 1974.

Rapat-rapat bersama itu berlangsung hangat. Rais Aam (Ketua) Majelis Syuro PPP KH Bisri Syansuri terlibat adu argumen dengan Jenderal Amirmachmud, yang juga merangkap jabatan sebagai Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Menteri Amirmachmud memilihkan lambang bintang untuk PPP, sementara Kiai Bisri memilih Kabah sebagai simbol persatuan.

Perdebatan berlangsung seru. Kiai Bisri mampu memberi argumen untuk mematahkan usul yang disampaikan pemerintah melalui Jenderal Amirmachmud. “Supaya menjadi persatuan yang sebenarnya, maka diusulkan agar persatuan itu diikat dengan simbol Kabah,” demikian usulan Kiai Bisri seperti yang tercatat dalam buku biografi Kiai Bisri Syansuri, Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap yang disusun Yayasan Mamba'ul Ma'arif.

Rezim Orde Baru menaruh perhatian sangat serius pada lambang yang akan digunakan dua partai politik hasil fusi tahun 1973. Sebelum pertemuan-pertemuan resmi itu, lebih dari 10 kali dilakukan lobi. Baik lewat telepon maupun dalam kesempatan jamuan makan kedua pihak. Bahkan dua hari menjelang tercapai kata sepakat soal lambang itu, pemerintah masih mencoba menggoyang pendirian Kiai Bisri Syansuri.

Pendukung PPP
Foto: dok. detikcom

Sekretaris Jenderal Departemen Agama Laksamana Pertama Bahrum Rangkuti sampai perlu datang khusus menemui kiai asal Jombang, Jawa Timur, itu. Bahrum, yang kabarnya diutus oleh pemerintah dan aparat keamanan, meminta sekali lagi kepada pendiri Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif, Jombang, itu agar PPP bersedia mengganti tanda gambar Kabah tersebut.

Jawaban yang keluar dari mulut Kiai Bisri membuyarkan harapan perwira tinggi Angkatan Laut itu. “Pemilihan tanda gambar Kabah ini adalah hasil istikharah. Karena ini merupakan petunjuk Tuhan, saya tidak bisa mengubahnya,” kata Bisri, yang juga anggota DPR mewakili daerah pemilihan Jawa Timur, seperti yang dikisahkan Zarkasih Nur, anggota Majelis Tinggi PPP, kepada detikX beberapa hari lalu.

Ngototnya Bisri agar PPP memakai lambang Kabah juga tak bisa ditahan Presiden Soeharto. Dalam sebuah rapat yang juga dihadiri Soeharto, masalah lambang kembali menjadi sumber perdebatan tajam dan sengit. Bagi Kiai Bisri, soal lambang itu tak bisa ditawar lagi. “Sudah, nggak usah ada PPP saja. Kalau tidak memakai simbol Kabah, tidak usah ada partai,” ujar anak ketiga pasangan Syansuri bin Abdus Shomad dan Siti Rohmah ini menegaskan pendiriannya. Soeharto pada ujung pertemuan tersebut akhirnya menyetujui.

Kiai Bisri, yang kukuh pada pendiriannya soal lambang Kabah itu, lahir di Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah, pada 23 Agustus 1887. Tayu merupakan daerah pesisir pantai utara Jawa yang mempunyai tradisi keagamaan yang kuat. Ketika remaja, Kiai Bisri merantau untuk memperdalam ilmu agama ke sejumlah kiai besar. Kiai Bisri berguru kepada ulama karismatik KH Kholil di Bangkalan, Madura.

Setahun berada di Madura membuat Bisri tak lantas merasa puas. Ia melanjutkan pengembaraan pencarian ilmunya dan berguru lagi kepada KH M. Oemar di daerah Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Dari Kiai Oemar, Bisri nyantri ke Tebuireng, Jombang, di bawah bimbingan KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Berbekal ilmu dari hasil 'nyantri keliling' itu, Bisri berangkat ke Mekah pada 1913.

Sepulang dari Mekah, Kiai Bisri mendirikan Pesantren Mamba'ul Ma'arif di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Pondok ini menjadi pesantren pertama yang membuka kelas untuk santri perempuan di Jawa Timur. Sebuah keputusan yang tergolong progresif untuk zaman itu. Greg Barton dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid menyebut Bisri Syansuri merupakan salah satu figur kunci yang membantu Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926.

Pemilihan tanda gambar Kabah ini adalah hasil istikharah. Karena ini merupakan petunjuk Tuhan, saya tidak bisa mengubahnya."

KH Bisri Syansuri, Rais Aam Majelis Syuro PPP pada 1973

Kantor Pusat PPP di Jakarta
Foto: dok. detikcom

Ulama ahli fikih ini mulai terlibat dalam politik dengan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili unsur Masyumi, tempat NU tergabung secara politis saat zaman revolusi. Pada pemilihan umum pertama tahun 1955, Kiai Bisri masuk menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Partai NU. Begitu juga saat Pemilu 1971, Kiai Bisri kembali masuk parlemen.

Sampai akhirnya rezim Orde Baru memaksa semua partai politik bergabung satu sama lain pada 1973. Partai-partai yang beraliran Islam dikumpulkan dalam dalam satu payung PPP, termasuk Partai NU. Kiai Bisri, yang saat itu menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, akhirnya dipercaya juga menjadi Rais Aam Majelis Syura PPP. Partai NU saat itu merupakan kekuatan politik kedua terbesar berdasarkan hasil Pemilu 1971, hanya di bawah Golongan Karya yang disokong habis-habisan oleh 'mesin politik' rezim Soeharto.

Setelah perdebatan panjang dengan pemerintah pada 1974 tak berarti permintaan kepada PPP untuk mengganti lambang Kabah mereda. Menjelang Pemilu 1977, kembali muncul permintaan agar PPP tidak menggunakan lambang Kabah. Hanya, Kiai Bisri masih bisa menahan tekanan-tekanan politik itu. Berbeda hal ketika Kiai Bisri mulai sakit dan akhirnya wafat pada 1980. Kekuatan NU di PPP pelan-pelan dilucuti oleh 'tangan-tangan' pemerintah. Pemerintah pun bisa 'memasang' Djaelani 'John' Naro sebagai Ketua Umum PPP.

Puncaknya saat rezim Soeharto juga menyeragamkan asas semua kekuatan politik di Indonesia. Ditandai dengan pidato Presiden Soeharto di depan sidang papipurna DPR pada 16 Agustus 1982. Soeharto menyebut asas lain di samping asas Pancasila akan merangsang unsur-unsur ekstrem, baik dari dalam maupun luar, untuk menonjolkan asas lain itu pada saat perjuangan politik seperti masa menjelang pemilu. "Ini akan mudah merangsang fanatisme kelompok yang sempit, yang dapat dimanfaatkan oleh golongan ekstrem yang sulit dikendalikan," Presiden Soeharto berpidato.

Menurut Soeharto, faktor-faktor tersebutlah yang menjadi musabab keberingasan yang mengarah pada kekerasan dalam musim kampanye Pemilu 1982. Pada Maret 1982, terjadi bentrokan antara massa Golkar dan pendukung Partai Kabah yang menyebabkan jatuhnya sejumlah korban jiwa. "Berdasarkan pada kenyataan serta belajar dari pengalaman pahit tersebut, semua kekuatan sosial-politik, khususnya partai politik, sebaiknya hanya mengikatkan diri pada asas Pancasila," kata Soeharto.

Ketua Umum PPP M Romahurmuziy
Foto: dok. detikcom

Pernyataan soal asas tunggal Pancasila diulang Presiden Soeharto saat membuka Muktamar I PPP di Jakarta pada 20 Agustus 1984. Soeharto menekankan, melalui Garis-garis Besar Haluan Negara 1983, sudah disetujui dengan bulat bahwa partai politik dan Golkar menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dua kali Presiden menekankan hal yang sama dalam pidato tersebut. Akhirnya keinginan rezim Soeharto terpenuhi.

Muktamar PPP akhirnya menyepakati perubahan anggaran dasar partai dengan menetapkan Pancasila sebagai asas. Sementara itu, soal lambang masih terjadi perpecahan pendapat di antara pimpinan partai. Satu pihak menghendaki Kabah dipertahankan sebagai lambang partai dan tanda gambar untuk Pemilu 1987. Pihak kedua menentang dengan alasan partai sudah menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Desakan juga muncul dari lawan-lawan politik.

Namun ujungnya pada akhir muktamar lambang Kabah masih tetap dipertahankan. Dalam anggaran dasar PPP yang baru juga dicantumkan bahwa lambang PPP adalah gambar Kabah berwarna hitam dengan garis kiswah berwarna kuning emas. Di bawahnya tertulis Partai Persatuan Pembangunan berwarna putih dengan latar belakang lambang berwarna hijau. Beberapa hari setelah muktamar, Ketua Umum PPP J Naro menyebut lambang itu tidak bertentangan dengan asas Pancasila.

Bintang itu diambil dari lambang sila pertama Pancasila. Sesederhana itu kok."

Lambang Kabah hasil Muktamar PPP tahun 1984 itu tak bertahan lama. Ridwan Saidi, politikus PPP di era Orde Baru yang mengepalai Departemen Organisasi DPP PPP, saat itu menyebut tekanan pemerintah untuk mengubah lambang bertambah kuat. Apalagi setelah PPP turut menyepakati Pancasila sebagai asas. Lambang bintang yang pernah disodorkan bertahun-tahun sebelumnya akhirnya digunakan. "Bintang itu diambil dari lambang sila pertama Pancasila. Sesederhana itu, kok," ujar Ridwan kepada detikX .

Zarkasih Nur, Wakil Sekjen PPP hasil Muktamar 1984, menyebut penggantian tersebut merupakan upaya menyelamatkan partai setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. "Pemerintah sudah susun aturan sedemikian rupa untuk mendesak agar lambang partai diganti. Kami tidak mampu melawan lagi," ujar Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah pada era Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Menteri Dalam Negeri dan Lembaga Pemilihan Umum akhirnya menetapkan PPP memakai tanda gambar bintang pada 1986. Lambang ini mulai dipakai sebagai tanda gambar pada Pemilu 1987. Perubahan asas dan tanda gambar membuat suara yang didapatkan PPP merosot. Ditambah lagi keputusan Muktamar NU di Situbondo pada 1984 melarang rangkap jabatan pimpinan NU dengan pimpinan PPP. Akibatnya, PPP harus kehilangan 30 kursi di DPR.

Jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998 membuat PPP memutuskan kembali menggunakan lambang Kabah dan asas Islam. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV pada akhir 1998. "Begitu reformasi, keharusan akan asas tunggal Pancasila mencair," ujar Zarkasih. "Lambang Kabah dan asas Islam adalam amanat pendiri partai. Kembali pada dua hal itu dasarnya kami mau melanjutkan kesepakatan pendiri partai. Kalau tidak melanjutkan, tentu kami mengkhianati perjuangan mereka."

Menurut Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy, lambang Kabah mempunyai makna kiblat dan pemersatu umat Islam, serta pemandu perjuangan. Lambang Kabah diharapkan menjadikan PPP sebagai pemersatu aspirasi politik umat Islam. "Lambang Kabah diharapkan menjadi inspirasi dan melahirkan semangat untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam di jalur legislatif maupun eksekutif," kata Romy, dia biasa disapa.


Redaktur/Penulis: PASTI LIBERTI
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE