Foto: Pradito Rida Pertana/detikX
Kamis, 21 Februari 2019Di sebuah gang sempit persis di samping Apotek Arga Nirmala, Jalan Brigjen Katamso, Dusun Purbosari, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Dwi Handoko duduk di dingklik tua miliknya. Tangan kanannya sibuk menekan sebuah jarum panjang ke dalam midsole sepatu pantofel berwarna hitam yang dipegang tangan kirinya. Raut mukanya tampak serius. Sesekali rahang dan tangannya menegang saat menusukkan jarum ke sepatu yang sedang direparasi.
Di tempat itu, 13 tahun sudah Dwi menjalani pekerjaan sebagai tukang sol sepatu. Namun siapa sangka, di balik pekerjaannya tersebut, ternyata Dwi adalah seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Gunung Kidul dari Partai Amanat Nasional, yang bertarung di Dapil I Gunungkidul.
Jalan yang ia tempuh untuk jadi caleg cukup panjang. Sejak 1999, ia aktif sebagai pengurus DPC PAN Desa Playen. Berikutnya, pada 2010, Dwi diberi amanah untuk menjadi Ketua DPC PAN Desa Playen hingga 2015. Kini ia menjadi pengurus harian DPD PAN Gunungkidul sebagai wakil Sekretaris Bidang UKM.
Karena itu, Dwi nekat maju sebagai caleg. Alasan lain yang mendorong Dwi adalah keresahannya terhadap para anggota Dewan yang tidak jujur dan tak amanah. Sadar dengan modalnya yang pas-pasan, Dwi punya strategi sendiri dalam menggaet hati para konstituen. Pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu ia manfaatkan betul untuk mensosialisasikan program-programnya. Dwi juga rajin bersafari ke masjid-masjid dan pengajian-pengajian di wilayah Wonosari dan Playen yang menjadi dapilnya.
“Saya kan aktif ikut pengajian di beberapa titik. Nah, selesai pengajian biasanya saya mengajak beberapa orang untuk ngobrol dan memperkenalkan kalau saya itu caleg. Saya juga silaturahmi di masjid-masjid untuk menemui ketua takmirnya. Kalau berkenan mendengarkan saya bicara, alhamdulillah, tapi kalau nggak mau, ya nggak jadi masalah. Semua itu saya lakukan untuk mengajak masyarakat memilih caleg dengan hati nurani, bukan karena uang yang dikasih, dan saya ingin menunjukkan bahwa caleg itu bukan diukur dari materi, tetapi dari SDM yang dimilikinya,” ucap Dwi kepada detikX, 14 Februari 2019.
Baca Juga : Mimpi Tukang Ojek Menggapai Senayan
Dwi Handoko, caleg DPRD Kabupaten Gunung Kidul yang juga seorang tukang sol sepatu sedang melayani pelanggannya.
Foto : Pradito Rida Pertana/detikX
Pendekatan kampanye yang sama juga ditempuh oleh Andri Rasyid. Caleg DPRD Provinsi Lampung Dapil III dari Partai Perindo ini bekerja sebagai tukang tambal ban keliling. Sejak 5 bulan lalu, Andri mensosialisasikan programnya melalui jasa tambal ban dan servis motor gratis bagi para pelanggan yang berdomisili di dapilnya.
“Kalau dia jawab rumahnya ternyata ada di dapil saya, saya gratiskan. Pokoknya setiap hari saya mondar-mandir. Bodo amat mau orang kata apa ke saya. Jadi semacam caleg beneran gitu lo, yang melakukan door to door, ha-ha-ha…,” kata Andri Rasyid kepada detikX melalui sambungan telepon, Selasa, 19 Februari 2019.
Andri bercerita bagaimana awal mula ia bisa bergabung dengan Perindo dan jadi caleg partai besutan pengusaha media Hary Tanoesoedibjo itu. Malam itu pada akhir Agustus 2015, Andri sedang bersantai di rumahnya sambil menonton berita di iNews TV. Mata Andri tertuju pada running text di layar televisi yang mengumumkan soal tata cara pendaftaran menjadi kader Perindo. Tanpa pikir panjang, Andri langsung pergi ke menuju warnet untuk mendaftar. Dua minggu kemudian, ia resmi menjadi kader Perindo pada 9 September 2015 setelah DPW Perindo Lampung menerbitkan kartu tanda anggota untuknya.
Andri sudah menjadi tukang tambal ban keliling sejak lulus SMA pada 1998. Sejak jadi kader Perindo, Andri sempat berhenti dari pekerjaannya itu karena malu dan tidak enak dengan teman-teman partainya. “Saya banting setir jadi penjual aksesori motor di rumah,” katanya.
Pada 2017, Perindo membuka pendaftaran caleg. Andri mencoba mendaftar dan ternyata lolos menjadi caleg DPRD Lampung nomor urut 4. Ninya maju menjadi legislator tak lain untuk mewakafkan sisa umurnya untuk menyuarakan aspirasi masyarakat kelas bawah yang selama ini terpinggirkan.
Andri Rasyid dengan sepeda motor bututnya yang dipakai untuk tambal ban keliling
Foto : Dok Pribadi
Setelah ditetapkan secara resmi oleh KPU menjadi caleg, Andri justru diberi saran oleh temannya untuk kembali jadi tukang tambal ban keliling. Alasannya sederhana, tukang tambal ban keliling punya kesempatan yang bagus untuk bertemu dengan konstituen dan langsung menyentuh masyarakat. Akhirnya, dengan modal Rp 300 ribu, Andri membeli sepeda motor bekas dan lalu menyulapnya menjadi motor beroda tiga. Mesin kompresor berukuran sedang dan aneka rupa peralatan bengkel ia simpan di sisi kiri motornya itu.
Mulailah Andri berkampanye dengan bengkel kelilingnya itu. Setiap hari, sebelum melakukan aktivitas kampanye keliling, Andri ngetem lebih dulu di jalan protokol Kota Lampung untuk mencari uang bensin. Setelah mendapat dua atau tiga pelanggan dan dirasa cukup untuk biaya oprasionalnya, Andri baru berangkat menjaring konstituen.
“Saya menyisir pokoknya ke daerah dapil. Ada pengkolan saya berhenti, ada motor yang mogok berhenti, ada warung yang ramai saya berhenti. Bahkan karena saya sudah menyebarkan nomor telepon saya, kadang ada yang memanggil saya untuk minta bantuan karena motornya mogok, ya langsung meluncur. Kalau lokasinya terlalu jauh, saya kasih konsultasi servis motor via telepon meski saya harus meraba-raba dari kejauhan,” katanya.
Selama berkampanye , banyak respons positif yang didapatkan Andri dari para konstituennya. Ketika membetulkan motor pelanggannya, misalnya, meski sudah menolak dibayar atas jasanya itu, pelanggan Andri kerap memaksa untuk membayar. Banyak juga pula yang membalas jasanya dengan dukungan doa bisa ke gedung wakil rakyat.
Namun ada juga yang mengkritik gaya kampanye yang serba-irit itu. Dia dipandang tak serius jadi caleg. Sebab, selembar kaus pun ia tak mampu memberi. Modalnya hanya stiker dan kartu nama dan itu pun dibeli dengan cara mencicil. “Sekotak itu Rp 40 ribu. Sejauh ini saya sudah habis 5 kotak stiker. Terus saya juga bikin banner kecil lima buah, bayarnya Rp 300 ribu. Dipasang di rumah satu, yang lain disebar,” ujarnya.
Sejumlah alat peraga kampanye dari beberapa caleg terpasang tak beraturan. Akibatnya, jalanan nampak kumuh karena pemasangannya tak mengindahkan estetika.
Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom
Meski modalnya pas-pasan dan bersaing dengan caleg yang lebih mapan, Andri tidak gentar. Dia optimistis bisa meraih minimal 20 ribu suara untuk mengantarkannya menjadi anggota DPRD Lampung. “Saya hanya punya keyakinan. Dalamnya laut kita bisa ukur, tapi kalau orang milih kita atau nggak, kita tidak pernah tahu,” kata Andri.
Namun, di mata pengamat politik Survei Media Nasional Rico Marbun, mimpi Dwi dan Andri tampaknya terlalu sulit jadi kenyataan. Sebab, paling tidak ada dua modal dasar yang mesti dimiliki seorang caleg untuk lolos, yaitu popularitas dan ‘brankas’. “Itu sebuah keniscayaan. Dua hal itu adalah rumus yang menurut saya alami dan harus wajib dia miliki,” ucap Rico kepada detikX, Rabu, 20 Februari 2019.
Namun, lanjut dia, bukan tak mungkin caleg-caleg bermodal tipis bisa lolos ke gedung wakil rakyat. Rico mencontohkan pengalaman pada Pemilu 1999, banyak caleg PDI Perjuangan dengan latar belakang tidak jelas dan tidak populer lolos ke Senayan. Hal yang sama terulang pada Pemilu 2004. Banyak caleg dari Partai Demokrat yang awalnya dipandang sebelah mata bisa lolos jadi anggota DPR atau DPRD provinsi/Kota. Hanya, partai mereka memang sangat populer pada waktu itu. Sejauh ini, menurut dia, hanya ada dua partai yang mengalami peningkatan suara yang besar, yakni PDI Perjuangan dan Gerindra. “Jika caleg-calegnya itu dari partai menengah, apalagi partai baru seperti Perindo, jelas itu berat,” pungkas Rico.
Reporter/Penulis: Ibad Durohman, Pradito Rida Pertana (Bantul)
Penulis: Ibad Durohman
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim