INTERMESO


PENDIRI GOLKAR YANG MELAWAN SOEHARTO

"Harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi."

Kerusuhan di Jakarta saat peristiwa Malari pada 1974
Foto: buku 40 Tahun Indonesia Merdeka

Jumat, 1 Februari 2019

Rahman Tolleng masih sering geli setiap kali menuturkan kejadian ‘lucu’ saat dia diperiksa tentara pada awal 1974 itu. Saat itu Rahman bersama sejumlah aktivis mahasiswa dan orang-orang yang dianggap dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Soebadio Sastrosatomo, Moerdianto, dan Sarbini Sumawinata, ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Boedi Oetomo.

Rahman dan orang-orang PSI ini dianggap ‘kompor’ di balik protes besar mahasiswa menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada pertengahan Januari 1974. Entah bagaimana persisnya, protes mahasiswa dari pelbagai kampus pada 15 Januari itu berubah menjadi kerusuhan besar di Jakarta (dikenang sebagai peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974).

Jakarta membara dilalap amuk. Presiden Soeharto marah besar, merasa dipermalukan di depan tamu negara. Hariman Siregar, saat itu Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, bersama beberapa seniornya, seperti Syahrir dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, diringkus. Menyusul kemudian Rahman Tolleng dan ‘geng’ PSI.

Saat itu, kata Rahman seperti dia tulis di buku Hariman dan Malari, untuk kedua kalinya dia diperiksa di RTM Boedi Oetomo. Pemeriksa bertanya kepada Rahman apakah dia mengenal Hariman. “Saya jawab, ‘Tidak, saya tidak tahu.'” Pemeriksaan itu dilakukan di ruang depan RTM, sehingga setiap orang yang berlalu lalang bisa melihat pemeriksaan itu. Baru saja Rahman menjawab, Hariman lewat didampingi tentara. Rupanya dia baru pulang dari rumah sakit. Begitu melihat Rahman di ruang depan, Hariman spontan berteriak. “Bos...!” Sia-sialah jawaban Rahman.

Abdul Rahman Tolleng dipenjara selama 16 bulan gara-gara Malari. Saat ditangkap, Rahman sebenarnya masih anggota DPR RI dari Golongan Karya (Golkar) dan Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya, koran yang jadi corong Golkar. Sampai sekarang masih banyak yang gelap dari Malari. Bagaimana Rahman dan orang-orang PSI bisa dianggap ikut bertanggung jawab atas kerusuhan itu?

Abdul Rahman Tolleng, 1937-2019
Foto: Mochamad Solehudin/detikcom

“Dalam peristiwa Malari, saya bukan seorang pelaku, bahkan saya sesungguhnya barangkali hanya lah seorang korban....Waktu itu saya sering mengkritik Dwifungsi ABRI dan menuntut agar Dwifungsi ABRI diakhiri. Saya juga korban mungkin karena saya dikategorikan sebagai anggota PSI, yang kata Ali Murtopo saat itu adalah dalang peristiwa Malari,” kata Rahman saat memperingati 40 tahun Malari beberapa tahun lalu.

Meski nyaris dua tahun dipenjara, dicopot dari DPR RI, dilorot dari posisi Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan kehilangan jabatan Pemimpin Redaksi Suara Karya, Rahman tak pernah menyesal. “Saya justru ingin berterimakasih kepada mereka yang langsung atau tidak langsung telah menjebloskan saya ke dalam RTM Boedi Oetomo. Mengapa? Karena dengan penahanan saya itu, saya sebenarnya telah terbantu untuk keluar dari dilema moral yang saya hadapi sebagai seorang eksponen Golkar,” kata Rahman.

Dengan penahanan saya itu, saya sebenarnya telah terbantu untuk keluar dari dilema moral yang saya hadapi sebagai seorang eksponen Golkar."

Rahman barangkali memang lebih nyaman berada di luar lingkaran kekuasaan. Sejak masih mahasiswa di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran pada awal 1960-an--keduanya tak lulus--Rahman sudah jadi oposan rezim, saat itu rezim Presiden Sukarno. Setelah keluar dari penjara, Rahman bebas bersuara mengkritik pemerintah, juga elite politik.

Sudah kenyang ditempa pengalaman politik, kritik Rahman tetap tajam dan tetap relevan sampai hari ini, tak termakan umur. Misalnya kritik dia soal mutu demokrasi di negara ini. Menurut Rahman, setelah rezim Soeharto tumbang dan katanya masuk era reformasi, penguatan ideologi politik dan peningkatan kualitas demokrasi sama sekali tak terjadi. Partai-partai bermetamorfosis menjadi personal party dipimpin seorang oligark di puncaknya. Para oligark ini berlaku seolah-olah direktur sekaligus pemilik sebuah perusahaan.

“Kualitas demokrasi justru kian merosot dan mengalami pendangkalan,” kata Rahman saat memperingati Malari. Dia juga menyoroti peran media yang dinilainya tak banyak berkontribusi untuk pendidikan politik, terutama menjelang pemilihan umum. “Media sibuk memelototi hasil survei dan setiap hari publik dijejali analisis survei seolah pemilu itu identik dengan survei. Padahal sejatinya, pemilu bukan semata memilih orang atau partai, tapi yang terpenting memilih program. Tapi tidak ada pembicaraan soal hal ini, apalagi mengharapkan pemaparan.”

Hal yang terus dia lakukan sampai tutup usia pada Selasa lalu, 29 Januari 2019.

Demonstrasi mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974
Foto: buku 40 Tahun Indonesia Merdeka

Kebanyakan orang barangkali tak kenal nama Rahman Tolleng. Dia sepertinya memang sengaja menjauh dari sorotan. Sejak 1974, dia tak pernah lagi duduk di jabatan publik. Kabarnya, Presiden Abdurrahman Wahid pernah menawarkan posisi strategis kepada Rahman, tapi dia enggan menerima. Hanya ada satu-dua buku yang lumayan banyak menulis soal peran Rahman, salah satunya Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia karya Francois Raillon yang terbit pada pertengahan 1980-an.

Bagi para aktivis anti-Orde Baru, Rahman merupakan senior, mentor, guru, juga ‘bos’ mereka. “Rahman ini seperti dokter yang pasiennya banyak sekali,” kata Abdul Salim Hutajulu, aktivis Malari. Dulu kantornya di Jalan Tamblong Dalam, sekaligus kantor mingguan Mahasiswa Indonesia, selalu ramai dengan para aktivis dari Bandung, juga dari luar kota. Mereka bergosip dan berdiskusi soal rupa-rupa isu-isu politik.

Abdul Rahman Tolleng lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan, pada 5 Juli 1937 dari keluarga Islam Bugis yang ketat beribadah. Saat masih SMA, dia aktif di Pelajar Islam Indonesia. Rahman merantau ke Bandung pada 1955 setelah tamat SMA. Dia sempat berkuliah di Jurusan Farmasi ITB, lalu pindah ke Universitas Padjadjaran. Namun waktunya lebih banyak tersedot untuk dunia pergerakan mahasiswa. Rahman bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), organisasi mahasiswa yang dekat dengan PSI.

Sejak awal 1960-an, Rahman, juga PSI, sudah melihat gejala perubahan Presiden Sukarno yang makin otoriter. Keterlibatannya dalam gerakan-gerakan anti-Sukarno inilah yang membuatnya jadi buruan polisi dan tentara. Bersama Soeripto, sesama aktivis Gemsos, Rahman sempat dicurigai terlibat dalam kerusuhan 1963 di Bandung. Soeripto tertangkap dan dipenjara, tapi Rahman berhasil kabur. Selama dalam persembunyian, Rahman dan teman-temannya terus mengkampanyekan sikap antikomunis dan anti-Sukarno, lewat selebaran-selebaran gelap.

Setelah peristiwa 30 September 1965, Rahman bersama aktivis-aktivis mahasiswa dari pelbagai kota bergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Rahman menjadi salah satu anggota Presidium KAMI mewakili mahasiswa Bandung. Sebagai corong suara, Rahman Tolleng, Awan Karmawan Burhan, dan Ryandi S mendirikan mingguan Mahasiswa Indonesia. Bersama harian KAMI yang dikelola Nono Anwar Makarim, mahasiswa Indonesia menjadi corong utama kelompok-kelompok yang kritis terhadap rezim Presiden Sukarno.

Sukarno dilengserkan lewat Sidang MPRS dan Soeharto dilantik sebagai presiden pada 1968. Untuk memperkuat barisan pendukung Soeharto, operator politik Soeharto, Ali Moertopo, merekrut para pimpinan gerakan mahasiswa seperti Rahman Tolleng, Cosmas Batubara, David Napitupulu, dan Sofjan Wanandi, kemudian menempatkannya sebagai anggota DPR Gotong Royong (DPRGR).

Bisa dibilang, Mayor Jenderal Ali inilah, disokong lembaga yang dia dirikan bersama Harry Tjan Silalahi dan Wanandi bersaudara, Jusuf dan Sofjan, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), juga dibantu para aktivis seperti Rahman, yang jadi arsitek politik Soeharto pada masa awal Orde Baru. Mereka inilah yang menyulap Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) menjadi kendaraan politik Soeharto untuk menghadapi Pemilihan Umum 1971.

Sidang Kasus Malari 1974
Foto: dok. Perpusnas

Pilihan Rahman dan para aktivis mahasiswa menjadi anggota DPRGR dan menjadi salah satu ‘pendiri’ Golkar banyak dikritik dan dicaci. Di antara yang suaranya paling lantang adalah Arief Budiman dan adiknya, Soe Hok Gie. Arief juga mengkritik mingguan Mahasiswa Indonesia yang dipimpin Rahman. Mingguan itu dinilainya tak lagi kritis terhadap Orde Baru. “Dia tak kritis lagi terhadap hal-hal tak benar yang dilakukan oleh Golkar,” Arief menulis seperti dikutip Rum Aly dalam bukunya, Silang Jalan Kekuasaan dan Pembaruan.

Soal pilihannya itu, Rahman mengatakan, saat itu dia melihat Golkar sebagai satu-satunya mesin politik yang menjanjikan pembaruan dalam pembangunan. Dengan menjadi anggota DPR dan bergabung dengan Golkar, dia punya cita-cita melakukan perubahan dari dalam sistem. Kepercayaannya itu keliru.

Dia tak kritis lagi terhadap hal-hal tak benar yang dilakukan oleh Golkar."

“Asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi,” kata Rahman dikutip Jopie Lasut dalam bukunya, Malari Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal Orba. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri tak kehilangan sikap kritis kepada pemerintah Orde Baru, meski Rahman berada di lingkaran kekuasaan. Sikap kritis itu terus dijaga hingga Rahman dipenjara dan Mahasiswa Indonesia mati lantaran diberedel pemerintah.

Penjara tak membuat Rahman jera, lantas menjauh dari politik dan bersembunyi dari Orde Baru. Diskusi-diskusi politik, terutama di lingkaran ‘geng’ PSI di Jalan Guntur jalan terus. Pada 1991, bersama sahabatnya, Marsillam Simanjuntak, Abdurrahman Wahid, Bondan Gunawan, Adnan Buyung Nasution, Arief Budiman, dan beberapa aktivis mendirikan Forum Demokrasi. Mereka sepakat menunjuk Abdurrahman alias Gus Dur sebagai Ketua. Di antara semua tokoh Forum Demokrasi, Tri Agus Susanto Siswowiharjo, mantan aktivis Yayasan Pijar, yang pernah dipenjara Orde Baru, mengenang, Rahman dan Marsillam selalu hadir dalam setiap diskusi.

Rahman Tolleng, old soldier itu, memang tak pernah berhenti berpolitik. “Lidahnya sangat tajam. Kalau dalam diskusi dengannya kita belum merasakan ketajaman lidahnya itu, maka kita belum dapat apa-apa,” ujar Budi Yoga Permana. Alumnus Universitas Parahyangan ini pertama kenal Rahman lewat buku Raillon. Setelah masuk lingkaran ‘geng’ PSI, dia makin sering bertemu dan ngopi bersama Bung Rahman, sapaan Rahman Tolleng di kalangan kelompok sosialis. Keseriusannya dalam berpolitik membuat kesan Rahman sebagai sosok yang sangat serius dan tak bisa bercanda. “Padahal Rahman Tolleng itu orang yang sangat humoris. Dia menikmati humor cerdas, terutama humor politik.”

Pada Selasa lalu, para sahabat dan ‘murid’ Rahman: Marsillam, Sarwono Kusumaatmadja, Budi Yoga, dan sebagainya, mengantarkan Rahman ke peristirahatannya yang terakhir. Selamat jalan, Bos....


Redaktur: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE