INTERMESO
Investigasi media Israel mengungkap soal penyadapan komunitas LGBT di Indonesia. Tak ada lembaga yang mengakui.
Ilustrasi penyadapan ponsel
FOTO : Getty Images
Selasa, 26 November 2018Panggil saja dia Teguh. Teguh bersama Hartoyo dan teman-temannya aktif di Suara Kita, organisasi yang memperjuangkan hak-hak komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di Indonesia dan melawan perlakuan diskriminatif terhadap mereka.
Teguh hanya bisa berkomentar singkat saat kepadanya ditunjukkan satu penggalan berita dari Haareetz, media asal Israel, yang diunggah di situsnya beberapa pekan lalu. “Wow....Aku nggak bisa berkata apa-apa,” ujar Teguh, beberapa hari lalu. Berita itu memuat hasil investigasi wartawan Haaretz selama berbulan-bulan terhadap perusahaan-perusahaan Israel yang menjual spyware alias perangkat penyadapan.
Haaretz mengaku mewawancara lebih dari 100 narasumber di 15 negara yang menjadi pelanggan spyware buatan Israel, mulai dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Meksiko, India, Arab Saudi, Mesir, sampai Botswana. Terkait dengan perangkat ‘mata-mata’ yang dijual ke Indonesia, wartawan dari Israel mewawancara tiga narasumber yang paham soal penjualan dari perusahaan itu, Verint System.
Meski didirikan oleh warga Israel dan sekitar separuh dari karyawannya berkantor di Herzliya Pituah, Israel, perusahaan ini menjual sahamnya di bursa saham Amerika dan berkantor pusat di Melville, New York. Haaretz tak menyebut lembaga apa di Indonesia yang membeli dan memakai produk Verint. Seorang sumber mengatakan, produk Verint dipakai oleh lembaga itu untuk memata-matai para aktivis komunitas LGBT dan kelompok minoritas agama.
Baca Juga : Dijual: Penyadap iPhone dan Android dari Israel
Ilustrasi
Foto : Getty Images
Salah satu sumber menuturkan dia pernah datang ke Indonesia untuk membantu mengajarkan cara mengoperasikan perangkat itu. "Begitu tiba di negara Indonesia, aku diminta membantu investigasi kasus yang sedang macet. Ternyata kasus itu terkait dengan seorang tokoh publik yang terkena kasus penistaan agama,” kata Natanel, bukan nama sebenarnya.
Sebagai komunitas yang masih sulit diterima di Indonesia, menurut Teguh, dia dan teman-temannya paham bagaimana ‘bermain aman’ di internet dan sosial media. “Kami punya beberapa pelatihan dasar terkait keamanan digital,” Teguh menuturkan. Satu hal misalnya bagaimana mengirim email yang aman. Suatu kali, situs SuaraKita, pernah dikerjain orang. Tapi berkat bantuan seorang teman, situs SuaraKita bisa pulih kembali. “Nggak tahu siapa pelakunya. Kami juga nggak punya niat mencari tahu. Situs bisa diakses lagi, ya sudah...”
Nggak tahu siapa pelakunya. Kami juga nggak punya niat mencari tahu. Situs bisa diakses lagi, ya sudah...'
Verint, menurut salah satu analis di perusahaan keamanan di Indonesia, merupakan pemain besar di bisnis itu. Verint punya kantor perwakilan di Menara Batavia, Jakarta. Di gedung itu, Verint satu kantor dengan PT Ciboodle Indonesia. Tulisan besar Verint terpampang besar di dinding lobi kantor yang terletak di lantai 26 Menara Batavia tersebut.
Ketika detikX datang dan menyampaikan tujuan untuk wawancara, resepsionis yang menyambut mengatakan PT Ciboodle Indonesia tak memiliki karyawan yang khusus mewakili perusahaan mengeluarkan pernyataan resmi soal Verint. Akhirnya kami meninggalkan sejumlah pertanyaan dan nomor telepon untuk disampaikan kepada petinggi perusahaan. Namun hingga tenggat tulisan, tetap belum ada jawaban dari PT Ciboodle Indonesia.
Ilustrasi
Foto : Getty Images
Tak jelas benar, kantor pemerintah yang mana yang membeli perangkat Verint dan memakainya untuk memata-matai komunitas LGBT. Badan Intelijen Negara (BIN) membantah melakukannya. “Itu cuma hoaks” kata Wawan Purwanto, juru bicara BIN. Demikian pula pihak kepolisian. Kepala Biro Penerangan Divisi Humas Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo menyatakan Polri tak pernah memiliki kebijakan khusus untuk memata-matai komunitas tertentu. "Tidak ada pengawasan khusus pada kelompok LGBT," ujarnya. "Kecuali ada pelanggaran khusus baru diproses."
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga membantah kabar itu. Anton Setiyawan, Kepala Direktorat Proteksi Ekonomi Digital sekaligus juru bicara Badan Siber mengatakan mereka tidak punya kepentingan melakukan pengawasan pada kelompok LGBT. "Kami tidak melakukan hal tersebut," ujar Anton. Dia juga menyanggah saat ditanya apakah Badan Siber menggunakan teknologi yang diproduksi Verint System. "Wah kami tidak (pakai)."
Bukan hanya satu-dua negara yang memakai spyware untuk memata-mata warganya. Negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, juga banyak negara lain, pun melakukannya. Pada Juli 2015, informasi internal HackingTeam, perusahaan pembuat spyware dari Italia, dibobol dan disebar lewat internet. HackingTeam yang didirikan oleh Alberto Ornaghi dan Marco Valleri pada 2003 merupakan pembuat Remote Control System (RCS), perangkat penyadap yang bisa dipakai untuk menguping segala macam telekomunikasi lewat komputer atau ponsel, bahkan membajak perangkat-perangkat itu.
Salah satu informasi rahasia yang disebar adalah daftar pemakai penyadap buatan HackingTeam. Di antara pemakai jasa HackingTeam adalah Info-communications Media Development Authority-Singapura, Komisi Anti-korupsi Malaysia, Dinas Intelijen Malaysia dan kantor Perdana Menteri Malaysia, Kepolisian dan Royal Thai Army, Thailand. Pada Maret 2018 lalu, Rappler juga menulis soal pembelian alat-alat penyadap oleh pemerintah Filipina.
Privacy International mencatat, ada lumayan banyak transaksi pembelian alat yang bisa dipakai menyadap oleh pemerintah Indonesia. Ada beberapa perangkat dibeli dari Finlandia dan Inggris, sebagian perangkat yang lain dibeli dari perusahaan-perusahaan di Jerman dan Swiss. Di antara perusahaan Jerman yang bertransaksi dengan pemerintah Indonesia adalah Elaman dan Gamma Group. Gamma ini lah penyedia spyware FinFisher.
Ilustrasi
Foto : Getty Images
Di situsnya, www.gammagroup.com, sangat sedikit informasi yang bisa digali soal perusahaan ini. Siapa pemilik dan siapa manajemen perusahaan ini, jejaknya disembunyikan lewat pelbagai cara. Pada 2012, investigasi bersama Guardian bersama International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), sedikit menyingkap siapa orang dibalik pembuat spyware FinFisher.
Semula, Martin Muench, yang selalu menjadi ‘wajah’ dari Gamma Group membantah bahwa ada nama Louthean Nelson di daftar pemilik saham perusahaan itu. “Louthean Nelson tak ada hubungan dengan semua perusahaan dengan nama Gamma Group International,” kata Martin. Tapi jawabannya segera berubah begitu wartawan Guardian menunjukkan bukti kaitan Nelson dengan Gamma. Pada 2007, Nelson mendirikan perusahaan cangkang Gamma Group International Ltd. di Kepulauan British Virgin dengan perantara perusahaan Singapura, BizCorp Management.
Kami berhasil menemukan satu lembaga pengguna FinFisher di Indonesia, Lembaga Sandi Negara, tapi kami juga menemukan bukti bahwa ada beberapa lembaga lain di Indonesia yang menggunakan FinFisher
Pada 2015 lalu, para analis di Citizen Lab, Munk School of Global Affairs and Public Policy, University of Toronto, Kanada, menelusuri jejak spyware FinFisher. Hasilnya, mereka menemukan ada 32 negara yang memakai FinFisher, di antaranya Indonesia dan Malaysia. Menurut laporan CitizenLab, ada delapan server pada tiga penyedia jasa internet di Indonesia yang menjadi operator FinFisher.
CitizenLab menduga, sebagian di antaranya dikendalikan oleh Lembaga Sandi Negara (kini dilebur ke dalam Badan Siber dan Sandi Negara). Alamat internet yang dipakai, sangat mirip dengan alamat internet yang pernah dipakai oleh karyawan dari HackingTeam saat mengirimkan email sebelum mempresentasikan produk mereka kepada Lembaga Sandi pada Februari 2013.
Hanya berselang beberapa bulan setelah laporan CitizenLab, pada Januari 2016, Bill Marczak dan tim dari CitizenLab kembali menemukan server FinFisher yang dipakai oleh lembaga intelijen di Indonesia. Kali ini lokasi server itu tak ada di Jakarta, tapi di Ultimo, Sydney, Australia. “Kami berhasil menemukan satu lembaga pengguna FinFisher di Indonesia, Lembaga Sandi Negara, tapi kami juga menemukan bukti bahwa ada beberapa lembaga lain di Indonesia yang menggunakan FinFisher,”kata Bill dikutip ABC, kala itu.
Reporter/Penulis: PASTI LIBERTI
Editor: Sapto Pradityo