Foto para korban genosida di Kigali, Rwanda, pada 1994
FOTO : GETTY IMAGES
Minggu, 4 November 2018Tibet tak selalu seindah foto-foto yang bertebaran di Google, tak selalu sedamai wajah Dalai Lama. Paling tidak itu yang dialami sendiri oleh Jhon Erickson Ginting. Dia terbang dari Xianggelila alias kota Shangri-La dan mendarat di Lhasa, ibukota wilayah otonomi Tibet, pada pertengahan 2006.
Begitu keluar dari Bandara Lhasa, Jhon langsung mendapat suguhan pemandangan kurang enak. Ada sekelompok wisatawan tengah berdebat sengit dengan calo-calo taksi. Rupanya, para calo itu pasang harga jauh di atas normal. Perdebatan itu berakhir buruk setelah wisatawan-wisatawan itu memilih naik angkutan umum. “Mereka memaksa dan memaki-maki para traveler tersebut dengan bahasa yang sangat kasar,” Jhon menuturkan.
Jhon tiba di Lhasa bersama dua teman seperjalanan, Ben dan pacarnya, Vivian, yang dikenalnya di Shangri-La. Tak cuma melihat indahnya Tibet, Jhon juga menyaksikan betapa keras dan sulitnya hidup di ‘atap dunia’ itu. Setelah sempat menikmati beberapa hari jalan-jalan hingga pedalaman Tibet, Ben dan Vivian mengajak Jhon melanjutkan perjalanan ke Kathmandu, Nepal.
Perjalanan Jhon dan teman-temannya dari Lhasa ke Kathmandu dengan mobil jip sewaan, menempuh jarak sekitar 1000 kilometer, benar-benar sebuah petualangan. Hingga kota Zhangmu, kota di perbatasan China dengan Nepal, tak ada persoalan. Meski sepanjang jalan lelahmendengar perdebatan tanpa akhir dari dua temannya, Ben dan Vivian, Jhon lumayan menikmati perjalanan.
Menyaksikan puncak Mount Everest dari Tibet. Foto : dok. Jhon Erickson Ginting
Tapi lain cerita setelah mereka menyeberang ke Kodari, kota di Nepal, di seberang Zhangmu. Ben, master bisnis lulusan universitas kondang di Amerika Serikat, Universitas Stanford, dengan percaya diri mewakili teman-temannya menawar mobil sewaan dari para calo. Jhon, Vivian dan Jerry, pemuda asal Shanghai, yang bergabung bersama mereka di Lhasa, memilih menonton dari jauh.
Entah bagaimana bermula, tawar-menawar harga sewa mobil itu berubah jadi pertengkaran. Calo-calo lain mulai merubung Ben. Suasana jadi tegang. Jhon ingat betul, tatapan mata puluhan orang itu sama sekali tidak bersahabat. Salah seorang diantara mereka mulai tidak sabar dan berteriak. “F*ck you tourist!! We will kill you!!” Jhon, kepada DetikX, menirukan umpatan sang calo. Sumpah serapah berhamburan.
Kalau terlambat sedikit saja mungkin kami semua bisa terbunuh'
Di tengah situasi kritis itu, tiba-tiba ada orang berlari dari jalan raya dan menawarkan sewa mobil dengan biaya 4000 rupee, 2000 rupee lebih murah ketimbang harga yang ditawarkan calo sebelumnya. Tanpa pikir panjang lagi, Jhon segera menyuruh Vivian dan Jerry lompat masuk ke mobil. Jhon menyeret Ben dari kerumunan dan menyuruhnya segera masuk mobil dan sopir buru-buru tancap gas. Meski masih kaget dan hampir jadi sasaran keroyokan para calo, Ben masih ‘berlagak’ menenangkan teman-temannya.
“Saya juga heran kok bisa mendadak ada yang nawarin kami naik mobil. Kalau terlambat sedikit saja mungkin kami semua bisa terbunuh,” kata Jhon soal pengalaman menegangkan di kota perbatasan Nepal. Situasi saat itu memang sedang tidak kondusif imbas perang saudara antara pemberontak Maois melawan tentara Nepal.
Pengalaman menegangkan seperti itu bukan hanya sekali dua kali dihadapi Jhon di pelbagai negara. Dia memang bukan tipe turis yang datang, tidur di hotel berbintang, makan serba enak, kemana-mana diantar pemandu, jeprat-jepret berswafoto, unggah foto-foto di Instagram, terus pulang. Sebagai ‘kuli ngebor’ yang punya pengalaman panjang di perusahaan-perusahaan minyak asing, lulusan Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sudah biasa terbang ke banyak negara. Tapi perjalanan seperti itu tak dia hitung sebagai jalan-jalan.
Jhon, kini 46 tahun, doyan jalan-jalan ke tempat yang bisa memompa adrenalinnya. Bayangkan saja, dari begitu banyak tempat di muka bumi yang layak dikunjungi, John justru sengaja memilih negara-negara yang dilanda konflik atau negara dengan tingkat kriminalitas tertinggi sebagai negara-negara tujuannya. Dari 25 negara yang pernah ia kunjungi, beberapa di antaranya tak ‘lazim’ jadi tujuan wisata seperti Kongo, Rwanda, Uganda, dan Malawi di benua Afrika.
“Perjalanan yang saya lakukan bukan tipe perjalanan yang disukai kebanyakan orang Indonesia. Saya jalan bukan cuma sekedar lihat pemandangan. Harus ada makna dan tantangannya. Kalau nggak, bukan perjalanan namanya tapi cuma darmawisata,” Jhon menuturkan.
Film televisi The Young Indiana Jones Chronicles yang dibintangi Sean Patrick Flannery merupakan salah satu inspirasi dari kenekatannya. Film itu mengisi hari-hari John semasa kuliah di ITB. Tapi yang mendorong John melakukan perjalanan menantang maut, salah satunya adalah kematian beruntun adik, bapak dan pamannya dalam waktu tiga tahun.
Kejadian ini sempat membuat Jhon terguncang. Ia menyalahkan Tuhan atas kematian ketiga orang yang ia cintai. Tak hanya meninggalkan kehidupan religiusnya, Jhon jadi suka menantang kematian, seolah-olah hendak menjemput sang maut. Dia sengaja melamar pekerjaan sebagai konsultan pengeboran minyak di Irak, negara yang tercabik-cabik oleh perang dan konflik bersenjata, pada 2007. Bukan gaji ribuan dolar yang menarik bagi Jhon. “Bukan karena gaji yang besar, tapi karena aku ingin menikmati sensasi berada di negara yang sedang berperang,” kata dia.
Sejak masih kecil, bisa dibilang Jhon memang sudah terbiasa dengan lingkungan keras. Dia lahir dari keluarga lumayan berada. Bersama saudaranya, ia tinggal di pinggiran kota Medan, tepatnya di daerah Pancur Batu. Rumahnya persis di samping terminal bus. Hal itu membuatnya dekat dengan dunia jalanan. Apalagi dulu di awal tahun 1980-an, daerah tempatnya tinggal, dikenal sebagai tempat lahirnya para dukun, santet dan pembunuh bayaran. Jika jam sudah lewat pukul 7 malam, tak ada warga yang berani keluar.
Waktu kuliah di Bandung, Jhon dan teman-temannya juga pernah ambil bagian dalam kegiatan LATSITARDA atau Latihan Integrasi Taruna Wreda yang melibatkan para taruna dari Akademi Militer dan Akademi Kepolisian, juga taruna sekolah di bawah Kementerian. Di kampus, dia ikut organisasi pecinta alam Wanadri Komisariat ITB. Saat bekerja di Irak, Jhon juga sempat dibekali berbagai persiapan bertahan hidup di negara konflik.
“Living between life and death is fun, but once you make a mistake, you dead. Saya bisa dibilang sudah cukup terlatih dan dibekali ilmu bela diri. Saya juga bisa tinju. Kalau sama sekali tidak punya kemampuan itu, don’t do it, please...seriously,” dia memperingatkan dengan tampang serius.
Ada sekitar 50 ribu mayat korban genosida pada 1994 disemayamkan di tempat ini, Murambi Genocide Memorial
Foto : dok. Jhon Erickson Ginting
Hanya enam bulan Jhon bertahan dengan gaji ribuan dolar di Irak. Dia melihat ada tantangan yang tak kalah menarik yakni backpacking ke negara-negara Afrika. Jujur saja, John sudah bosan dengan gaya travelling keliling dunia dengan fasilitas kelas satu. Bukannya sombong, tapi gaya jalan-jalan semacam itu sudah terlalu sering dia jalani selama bekerja sebagai ‘kuli ngebor’ sumur minyak.
Dalam hati kecil, Jhon juga berharap akan mendapat jawaban dari Tuhan atas kematian Ayah dan sanak saudaranya di benua hitam itu. Kakinya pertama menginjak tanah di benua hitam ketika kapal feri yang ia tumpangi berlabuh di Nuweiba, kota pelabuhan di Semenanjung Sinai, Mesir.
Di perjalanannya kali ini, John pun memilih menggendong ransel ala backpacker. Tapi ia juga tak ingin menyiksa diri dengan tidur di penginapan termurah. Ia hanya ingin mencari penginapan lumayan bagus dengan harga miring. John juga lebih senang mencari hotel dengan cara mendadak alias go show. Alasannya sederhana, supaya perjalanannya lebih terasa hidup dan lebih menegangkan.
Mereka pikir saya orang Arab. Sampai paspor saya dicek segala. Polisi mungkin heran, kok ada orang Arab di tengah rombongan turis
Menyimak kisah Jhon berkelana dari Mesir, Tanzania, Uganda, sampai Rwanda, banyak cerita ‘seram’, tapi ada pula kisah-kisah lucu dan konyol. Baru menghirup udara Mesir, Jhon sudah ketimpa banyak sial. Terutama ketika mesti menghadapi segala macam jenis calo. Mulai dari calo penginapan sampai calo kendaraan. Tapi urusan calo ini hanya satu masalah kecil.
Yang kadang menjengkelkan, tapi juga bikin deg-degan adalah tatkala menghadapi interogasi dari polisi. Ketika berangkat menuju Gunung Sinai menggunakan bus bersama rombongan yang isinya kebanyakan wisatawan bule dan tampang oriental, entah karena apa, tanpa banyak cakap polisi menyuruh Jhon turun. Dia mesti melayani serangkaian interogasi tanpa ujung pangkal.
Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali menimpanya, sampai membuat John jengkel bukan main. “Mereka pikir saya orang Arab. Sampai paspor saya dicek segala. Polisi mungkin heran, kok ada orang Arab di tengah rombongan turis. Saya jawab ke mereka, 'You are not the first person who said that and you are also not the first person who interrogated me'',” tutur John mengulang balasannya kepada polisi Mesir yang menginterogasi. Dilihat sekilas, dia memang agak mirip orang-orang Arab, tak heran jika polisi di sana salah mengira.
Dulu tempat ini adalah sebuah gereja. Di gereja di kota Ntarama, Rwanda, ini, sekitar 5000 orang dibunuh pada 1994
Foto : dok. Jhon Erickson Ginting
Tak melulu urusan menjengkelkan dengan petugas imigrasi, calo dan polisi, yang dia hadapi, tapi juga banyak kisah konyol seperti ini. Suatu siang, dia dirayu oleh Tim, teman seperjalanannya untuk mengunjungi klub malam Q Bar yang kondang di antara turis-turis asing di Dar es Salaam, kota terbesar di Tanzania. Jhon sebenarnya tak doyan berkeliaran di klub malam. Tapi dia sudah capek menghadapi ‘rayuan’ Tim, pemuda asal Amerika yang memang hobi berkeliaran di tempat remang-remang.
Singkat cerita, ada dua pelacur terus mepet Tim dan Jhon di Q Bar, mengajak mereka berkencan. Dengan segala cara, dua perempuan itu, Cathy dan Tina, merayu Tim dan Jhon. “African woman knows how to satisfy you,” Cathy membujuk dengan rayuan mautnya. Isi kantong Jhon hampir jebol gara-gara mesti mentraktir perempuan itu agar mereka segera pergi. “Bukannya bilang terimakasih sudah dibayarin minuman, dia malah marah-marah dan menyiramku.”
Jhon tak pernah mengaku sebagai orang alim, tapi dia memang tak gampang tergoda oleh perempuan malam. “Saya menikmati segala hal itu tapi tidak ikutan di dalamnya... I don’t buy girls, cemen banget kalo main pelacur. Lagian di Afrika jangan main-main, AIDS, man,” tutur Jhon. Dia menuangkan sebagian kisah petualangannya lewat blognya, Travel “X, dan buku, This is Africa!, yang diterbitkan pada 2015 silam.
Tidak, Tuhan sudah memaafkan mereka. Aku memaafkan mereka
Di Malawi, dia mengalami kejadian yang tak dia temui di negara Afrika lain, yakni cannabis tour . Iklim yang mendukung membuat ganja di Malawi dapat tumbuh subur. Peserta ‘tur ganja’ ini dipersilakan mencicipi rupa-rupa olahan makanan yang mengandung ganja. Para hippie sejati bahkan sampai teler berat setelah mengisap berlinting-linting ganja. Jhon tak ikut nyimeng, tapi tentu perjalanannya sia-sia jika dia tak mencicipi ganja. “Kalau dalam bentuk kue cokelat saya masih mau karena enak,” kata dia.
Afrika tidak hanya mengajari Jhon soal perang, kemiskinan, dan segala kekejian yang mampu dilakukan manusia. Perjalanan ke Afrika membuatnya hampir menjadi seorang tak ber-Tuhan. Imannya makin tipis melihat lautan penderitaan dan kematian di Rwanda. Pada pertengahan 1994, sekitar 800 ribu warga Rwanda keturunan suku Tutsi dan sebagian Hutu beraliran moderat, dibantai oleh kelompok ekstrimis Hutu yang disokong pemerintah. Pembunuhan itu memicu perang saudara di Rwanda selama bertahun-tahun. Jhon tak habis pikir, bagaimana Tuhan seolah menimpakan semua penderitaan di negara-negara Afrika, khususnya di Rwanda.
Ditemani Madame Seraphim, perempuan Rwanda yang keluarganya menjadi korban genosida. John mengunjungi Ntarama Genocide Memorial, 'rumah' bagi sekitar 5.000 korban genosida di kota Kigali. Selama memberikan penjelasan kepada John, mata Madame Seraphim terus berkaca-kaca. Peristiwa sadis itu sudah lama berlalu, tapi ia masih tak bisa menyembunyikan kesedihan dari wajahnya.
Madame Seraphim menyaksikan seluruh anggota keluarganya dibantai di depan mata kepalanya sendiri. Hanya ia saja yang lolos dari pembantaian itu. Sementara anak-anak, suami, ayah, ibu serta saudara saudari kandungnya semua jadi korban. “Madam Seraphim, do you forgive the killers who killed all your family?” tanya John dengan rasa penasaran.
“Ya, aku memaafkan mereka,” jawabnya dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Apakah tak ada kebencian lagi di hatimu? Apakah kamu tak ingin membalas dendam dan balas membunuh mereka?” Jhon kembali bertanya.
Dengan mantap, tanpa ragu, perempuan itu menjawab, “Tidak, Tuhan sudah memaafkan mereka. Aku memaafkan mereka.” Masih ada satu pertanyaan lagi dari Jhon Erickson. “Setelah semua peristiwa ini, apakah kamu masih percaya kepada Tuhan?” Jawaban Madame Seraphim membuat Jhon kaget. “Ya, aku tetap percaya kepada Tuhan,” jawabnya sekali lagi dengan yakin.
Jhon tak menyangka, Tuhan menjawab pertanyaannya dengan cara yang sederhana namun luar biasa. Kesaksian wanita Afrika itu menggugah hatinya. Ia tak merasa lagi menjadi orang dengan beban hidup paling berat di dunia ini. Perjalanan ke benua hitam membuka matanya bahwa masih banyak orang yang nasibnya jauh lebih buruk dari dia. Pertemuannya dengan Madame Seraphim sekaligus mengakhiri perjalanannya di Afrika. Jawaban yang ia cari telah didapatkan.
Setelah pulang dari Afrika, Jhon hidup ‘normal’, menikah, dan menjauhi bahaya. Bersama sang istri, kini John telah dikaruniai empat orang anak. “Sebetulnya adrenalin saya untuk melakukan perjalanan semacam ini lagi masih tinggi. Tapi saya tidak melakukannya lagi karena sudah ada istri dan anak-anak,” kata John sembari terbahak.
Reporter/Penulis: MELISA MAILOA
Editor: Sapto Pradityo