INTERMESO

Bertaruh Nyawa dan Bersahabat dengan Jenazah

“Penanganan jenazah itu berat, kalau bukan panggilan jiwa nggak akan tahan.”

Ilustrasi: GettyImages

Foto-foto: Dok. Pribadi

Minggu 21 Oktober 2018

Sudah lebih dari dua pekan Kusmayadi terombang ambing di tengah laut. Cuaca buruk serta ombak tinggi menghantam kapal yang ditumpanginya beberapa hari terakhir membuat ia tidak nafsu makan. Di tengah situasi serba tidak menentu, Kusmayadi dikejutkan dengan penemuan tubuh seorang perempuan tanpa sehelai busana. Di tengah rintik hujan, Kusmayadi berusaha melihat lebih dekat  kondisi perempuan itu. Kulitnya putih pucat dan tubuhnya kaku persis seperti boneka.

Beberapa anggota dari rombongan yang berada bersama Kusmayadi bergerak cepat mengevakuasi tubuh perempuan itu. Sementara Kusmayadi membantu menaikan tubuh itu ke atas kapal agar tidak terbawa arus lebih jauh. Kondisi tubuhnya ternyata jauh lebih parah dari yang dibayangkan. Akibat terlalu lama terpapar air laut, kondisi tubuhnya banyak yang rusak. Belum lagi aroma busuk yang begitu menyengat indera penciuman. Sebagian rekannya bahkan tak tahan dan ingin muntah. Beruntung Kusmayadi sempat menyempilkan beberapa helai daun jeruk di dalam masker untuk menghalau bau busuk.

Kusmayadi segera mengambil kantong mayat berwarna hitam dan memindahkan tubuh yang sudah terbujur kaku itu. Namun Kusmayadi kesulitan karena kaki dan tangan perempuan itu sulit dirapatkan. “Karena posisi tangan dan kakinya terlentang. Kalau saya paksa nanti bisa patah.  Saya ajak ngobrol dalam batin, tolong kami mau bantu, pelan-pelan tangannya kami masukin ya dia mau. Bisa kita ajak kompromi lah. Kita perlakukan manusiawi lah,” ujar Kusmayadi saat menceritakan pengalamannya mengevakuasi jenazah korban pesawat Air Asia QZ8501 beberapa tahun silam. Itu merupakan pertama kalinya Kusmayadi melakukan evakuasi di tengah laut.

Para relawan di lokasi bencana.


Ada tangan yang meraih saya. Di saat itu saya pikir dalam kondisi seperti itu memang harus ada orang yang nolong meskipun taruhannya nyawa. Buat saya, tindakan itu sangat mulia dan ternyata jadi panggilan jiwa.”

Sebagai Koordinator Tim Emergency Response atau Aksi Cepat Tanggap (ACT), pekerjaan Kusmayadi berkutat pada evakuasi pasca terjadinya bencana. Bisa dibilang di mana pun terjadi bencana di situ pula Kusmayadi selalu ada. Lima tahun belakangan ini ia memang diberikan tanggung jawab besar oleh ACT. Karena biasanya Kusmayadi selalu dilimpahkan untuk menangani bencana skala nasional. Tugasnya termasuk mengevakuasi jenazah korban bencana dan memindahkannya ke kantong mayat. Tentu bukan pekerjaan mudah dan tak semua orang berani melakukannya. “Penanganan jenazah itu berat, kalau bukan panggilan jiwa nggak akan tahan. Dan interaksi kami dengan jenazah itu jangan dikira tidak ada risiko. Jenazah kan ada bakterinya, kalau tidak hati-hati kita bisa kena penyakit. Dan itu resiko yang harus siap diambil tim rescue,“ tutur Kusmayadi.

Jauh sebelum bergabung dengan ACT, Kusmayadi memang telah lebih dahulu akrab dengan bidang kerelawanan. Ketika ia menempuh pendidikan di sebuah sekolah penerbangan di daerah Blok M, Jakarta Selatan, Kusmayadi bergabung dengan Mapala alias Mahasiswa Pecinta Alam. Di samping naik turun gunung, Kusmayadi juga kerap diajak tim SAR untuk mengikuti berbagai kegiatan penyelamatan bencana. Dulu bahkan ia pernah membentuk sendiri sebuah tim penyelamatan sebelum akhirnya direkrut oleh ACT.  

Memasuki dunia kerelawanan bagi Kusmayadi ibarat membalas hutang budi. Sebab dulu Kusmayadi juga pernah menjadi korban tenggelam di sungai. Saat itu bencana banjir tengah melanda area sekitar rumahnya di Semarang. Namanya masih anak-anak, Kusmayadi yang saat itu masih duduk di bangku SD kelas 1 bermain di tengah banjir. Seluruh area persawahan persis di belakang rumahnya tergenang banjir sehingga sulit dikenali daerah yang dapat dipijak. Rupanya Kusmayadi salah langkah dan malah tercebur ke dalam sungai. Tak berapa lama kemudian ada seseorang yang terjun dan membantu menyelamatkan Kusmayadi. Ia memang tak mengenal sosok orang itu, namun jika tidak ada bantuannya mungkin nyawa Kusmayadi tak bisa tertolong.

 “Ada tangan yang meraih saya. Di saat itu saya pikir dalam kondisi seperti itu memang harus ada orang yang nolong meskipun taruhannya nyawa. Buat saya, tindakan itu sangat mulia dan ternyata jadi panggilan jiwa,” kata Kusmayadi.

Para relawan di lokasi bencana.

Kini Kusmayadi mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk kegiatan kerelawanan. Menjadi relawan, Kusmayadi tak mau kalah dengan apotek yang selalu siap sedia 24 jam. Seperti kemarin, ketika ia baru saja mendarat di Jakarta setelah membantu korban gempa di Lombok. Belum sempat istirahat, Kusmayadi kembali mendapat panggilan untuk mengevakuasi korban gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Karena dua hari pasca gempa dan tsunami, penerbangan ke Kota Palu masih sangat terbatas, dia memesan tiket pesawat menuju Kota Makassar. Dari sana Kusmayadi menempuh jalan darat menuju Kota Mamuju lalu tembus Kota Palu. Keadaan di Kota Palu seperti kota yang baru saja dijatuhi bom atom. Di malam hari tidak ada pencahayaan, segala macam infrastruktur rusak parah.  

“Di halaman rumah sakit itu jenazah sudah menumpuk, mohon maaf seperti bangkai saja. Bentuknya bermacam-macam. Ada juga mayat yang sudah gosong karena mungkin saat gempa terjadi konslet. Di Balaroa, kami berhasil evakuasi lebih dari 200 jenazah. Sedangkan di Pantai Talise dapat 100-an mayat. Dan sebetulnya sampai sekarang masih banyak korban,” ujar Kusmayadi.

Kondisi medan yang sulit tidak membuatnya gentar. Kusmayadi pantang pulang sebelum proses evakuasi tuntas. “Di Palu, di mana pun dapat kita jumpai kertas pengumuman dicari orang hilang dan kebanyakan anak-anak. Melihat itu hati kami seperti tercabik-cabik. Kami jadi malas untuk pulang. Kami seperti terikat batin dengan korban. Kalau kami pulang, siapa yang akan membantu menangani? Ini mungkin yang sulit dipahami kebanyakan orang,” tuturnya.  

Para relawan di lokasi bencana

Selama bertugas sebagai tim evakuasi, Kusmayadi terkadang juga kerap mendapatkan gangguan dari mahluk tak kasat mata. Terutama ketika ia bersama timnya ambil bagian dalam evakuasi korban pesawat jatuh Sukhoi di Gunung Salak. Saat tengah malam, Kusmayadi bersama timnya dikerahkan untuk menembus hutan menuju titik jatuhnya pesawat Sukhoi. Beberapa jam berputar di dalam hutan, Kusmayadi justru tersesat di Gunung Halimun. Saat tubuh mulai kelelahan, ia mendengar dan melihat penampakan tak biasa, bak berhalusinasi.

“Kami ber-12 mulai melihat villa yang indah. Jadi kalau melirik, kayak ada villa. Batin ini berpikir, enak ini kalau mampir.  Lewat pendengaran juga terdengar suara gamelan sayup-sayup tengah malam jam 2 pagi di dalam hutan. Teman-teman juga merasakan tapi mereka diam tidak mau cerita. Saya kan komandan regu ya nggak boleh juga nakut-nakutin nanti anggota jadi takut,” kata Kusmayadi. Namun dibandingkan mahluk astral, justru menurutnya ancaman yang lebih berbahaya yaitu bandit yang tak segan menganggu perjalanan Kusmayadi menuju lokasi evakuasi. “Yang saya lebih takutkan justru perampok. Tapi untungnya selama ini belum pernah kejadian.”

* * *

Sudah satu minggu Asrul Liana tidak menunjukan batang hidungnya di sekolah. Guru SMA-nya pun mulai gelisah karena tak kunjung mendapat kabar. Perempuan yang biasa disapa Ana ini bukan sengaja tidak memberi kabar. Bukan juga karena ia bolos bersama teman-temannya. Saat itu sepulang sekolah, Ana mendapat kabar bahwa salah satu daerah di Lombok, tak jauh dari rumahnya di Masbagik, Lombok Timur, tertimpa musibah banjir bandang. Tanpa banyak pikir lagi, hanya berbekal uang sekadarnya, Ana minta izin kepada orang tua untuk pergi membantu korban banjir.   

Para relawan di lokasi bencana.

“Waktu saya SMA tahun 2008, untuk pertama kali saya berinisiatif membantu sebagai relawan di sana. Awalnya saya penasaran kok orang mengungsi sampai di daerah saya, apa sih yang terjadi. Saya izin kepada orang tua. Awalnya orang tua ragu,” kata Ana. Tapi dia terus membujuk. Setelah dapat izin orang tua, dia segera berangkat. Ana bertahan hingga seminggu di lokasi bencana.

Tak sampai di situ, Ana juga aktif mengikuti kegiatan di Palang Merah Indonesia dan berbagai kegiatan kerelawanan lainnya. Makanya begitu lulus dari Universitas Mataram, Ana tidak betah berlama-lama bekerja di perusahaan keuangan. Kebetulan saat itu organisasi non profit, Konsepsi atau Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi, sedang membuka lowongan relawan. Ana bergabung di Konsepsi sebagai fasilitator desa.

Ana biasa mendampingi warga desa-desa di Lombok dalam berbagai bidang. Mulai dari pemberdayaan warga desa hingga penanganan masalah kesehatan anak. Saat Lombok digoyang lindu, rumah-rumah roboh dan banyak warga jadi korban, dia tak mau berpangku tangan. Ana kebagian tanggung jawab mendistribusikan logistik serta memberikan pendampingan kepada ibu dan anak.

Satu hari pasca gempa, Ana beserta relawan lain terjun ke lokasi yang mengalami rusak berat dan terdapat tenda-tenda pengungsian. Sebagian warga masih bertahan di daerah perbukitan karena khawatir akan datangnya tsunami. Padahal area perbukitan itu berbahaya karena sangat rawan longsor.

Para relawan di lokasi bencana.

“Karena terjadi banyak sekali gempa susulan. Saya sedang membujuk ibu-ibu di Desa Jenggala untuk turun dari bukit. Ternyata setelah lima menit kami turun langsung terjadi longsor. Kalau saya kurang hati-hati mungkin sudah tertimbun juga,” ujar Ana. Sebagai relawan, dia sadar betul akan risikonya. Meski berhati-hati, keselamatan jiwanya dapat terancam kapan saja.

Meskipun begitu, Ana tak pernah sekalipun mengeluh. Tapi namanya tubuh manusia, ada batas kekuatannya. Dia sempat tumbang karena keletihan. “Ketika menolong orang, saya sampai kurang minum dan akhirnya kolaps. Dokter di sana sudah bilang saya jangan disribusi dulu. Tapi  lihat senyum orang semua rasa sakitnya hilang. Padahal mereka hanya sekedar bilang 'Mba datang lagi ya, terima kasih'. Itu bentuk penghargaan luar biasa bagi saya, pokoknya nggak bisa digambarkan dengan kata-kata,” kata Ana.


Reporter: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE