INTERMESO

Dokter Bekasi Di Perang Yaman

"Hal pertama yang ada di benakku adalah aku ingin pulang. Aku ingin memesan tiket pesawat paling pagi dan meninggalkan semua ini"

Bocah korban perang di Yaman, FOTO : GETTY IMAGES

Sabtu, 20 Oktober 2018

Ketika orang-orang mengungsi dari Yaman, Rangi Wirantika Sudrajat justru malah datang ke medan perang di negeri itu. Padahal dulu, tak pernah terbayang di benak dokter Rangi jika suatu hari dia bakal menginjakkan kaki di negara yang bertahun-tahun dirundung perang saudara itu. Mendatangi daerah konflik semacam ini sama saja dengan bunuh diri.

Benar saja, tak sampai sepuluh menit setelah mendarat di Yaman pada 2016 lalu, Rangi sudah disambut dengan penampakan bangkai pesawat yang luluh lantak dihajar rudal. Perasaan khawatir mulai berkecamuk di benak Rangi. Apalagi ia hanya pernah melihat perang lewat tayangan di televisi.

Namun tekad dokter lulusan Universitas Trisakti itu sudah bulat untuk menolong korban perang di Yaman. Rangi datang ke negara di ujung selatan Arab Saudi itu sebagai bagian dari tim kemanusiaan MSF (Medecins Sans Frontières), Dokter Lintas Batas. MSF merupakan organisasi kemanusiaan medis internasional independen yang memberikan bantuan salah satunya kepada para korban perang.

Sambil menelan ludah sendiri, Rangi menaiki mobil yang akan membawanya beserta rombongan menuju sebuah rumah sakit di Kota Taiz. Ibukota Provinsi Taiz ini merupakan kota terbesar ketiga di Yaman setelah Sana'a dan Aden. Sejak perang saudara, kota itu menjadi salah satu medan tempur paling sengit antara pasukan Houthi melawan prajurit loyalis pemerintah.

Perjalanan darat ditempuh selama delapan jam. Makin jauh masuk ke wilayah negara di tepi Laut Merah itu, terhampar pemandangan negara yang usai dilanda 'kiamat' kecil. Jalan rusak, rumah-rumah di kiri kanan hancur diterjang rudal dan mortir, membuat nyali Rangi makin ciut.

Dokter Rangi
Foto : dok.pribadi

Belum sampai di Kota Taiz, mobil yang ditumpangi Rangi berhenti di sebuah pos pemeriksaan. Sekelompok laki-laki berpakaian militer mengerumuni mobilnya. Dari balik kaca mobil, mata Rangi awas mengamati seorang tentara yang tengah berdiri di sampingnya. Tiba-tiba tanpa peringatan, dia mengangkat senjata laras panjang dan menembaki mobil yang berada persis di sebelah rombongan Rangi. Rangi terhenyak, kaget bukan kepalang, nyaris tak percaya melihat pemandangan di depan mata.

“Seumur hidup, aku nggak pernah lihat senapan, apalagi senapan yang ditembakkan. Makanya begitu sampai aku dalam hati wah nggak bisa nih kayaknya, it's too much," ujar Rangi. "Hal pertama yang ada di benakku adalah aku ingin pulang. Aku ingin memesan tiket pesawat paling pagi dan meninggalkan semua ini.” Beruntung Rangi beserta rombongan MSF diizinkan meninggalkan pos pemeriksaan dan melanjutkan perjalanan.

Seumur hidup, aku nggak pernah lihat senapan, apalagi senapan yang ditembakkan'

Rangi masih ingat betul ketika pertama kali menyaksikan perang melalui program Dunia Dalam Berita yang ditayangkan TVRI saat dia masih kecil. Saat itu ia melihat Perang Kosovo antara tentara Yugoslavia melawan milisi Albania pada 1998. Di tengah musim salju yang dingin, ibu-ibu membawa anaknya meninggalkan Kosovo untuk mencari pertolongan. Rangi masih kelas 4 SD, ia juga belum paham apa yang terjadi di Kosovo. Tapi dalam hati kecilnya ia merasa sangat iba. Rangi juga heran mengapa seolah tak ada orang yang peduli dengan mereka.

“Karena masih kecil aku bilang ke nenekku, 'Pokoknya aku ingin jadi orang yang bisa menghentikan semua perang ini. Karena kasihan, mengapa nggak ada yang peduli sama mereka?' Nenekku ketawa aja. Dia bilang kepadaku ,'Kamu harus jadi Sekretaris Jenderal PBB kalau gitu',” cerita anak pertama dari dua bersaudara ini.

Ketika beranjak dewasa, teman SMA-nya yang mengetahui ketertarikannya di bidang kemanusiaan memberikan informasi soal MSF. Dokter Tanpa Batas didirikan oleh sekelompok dokter dan wartawan di Prancis pada 1971. Sekarang MSF sudah menjelma menjadi organisasi besar lintas negara dengan lebih dari 30 ribu staf yang beroperasi di puluhan negara yang didera bencana, wabah, konflik bersenjata dan perang. Pada 1999, MSF mendapatkan anugerah Nobel Perdamaian.

Karena saat itu Rangi hanya mengetahui jika relawan di MSF harus menjadi dokter, ia tanpa ragu memutuskan berkuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti, Jakarta. Rangi sekaligus memenuhi impian kakeknya yang menginginkan dirinya menjadi seorang dokter. Rangi sempat menjalankan praktik lapangan di Lampung. Selama dua tahun ia juga sempat bekerja di rumah sakit swasta di Bekasi hingga akhirnya secara resmi bergabung menjadi tenaga medis di MSF sejak awal 2015. Rangi bukan satu-satunya dokter Indonesia di MSF. Ada beberapa dokter lain yang ikut dalam misi MSF di sejumlah negara seperti Marie Caesarini dan Husni Mubarak Zainal.

Dokter Rangi Sudrajat
Foto : dok.pribadi

Tak menunggu lama setelah bergabung dengan MSF, Rangi langsung dikirim ke Pakistan  untuk memberikan bantuan medis kepada para korban perang. MSF menugaskan Rangi di sebuah rumah sakit ibu dan anak di Kota Chaman, Provinsi Balochistan, di perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan. Dari Islamabad, dia terbang ke satu kota dan masih melanjutkan perjalanan berjam-jam melewati gunung gersang dan jurang yang terjal, "Aku pikir ini seperti perjalanan ke ujung dunia," Rangi menuturkan. Dalam hati dia membatin, mustahil ada kota di tempat segersang ini.

Rupanya di kaki gunung yang landai, Rangi menemukan banyak pengungsi dalam berbagai kondisi sangat mengenaskan. Kota Chaman memang berada persis di tepi wilayah konflik di Afghanistan. Dari Kandahar, salah satu basis utama Taliban di Afghanistan, Chaman hanya berjarak 100 kilometer. Demi keamanan, staf MSF di Chaman seperti Rangi tak boleh keluyuran.Apalagi mereka memang harus siap 24 jam menerima panggilan tugas.

Sebagai dokter baru di MSF, Rangi terkejut ketika menemui pasien yang kebanyakan anak kecil dan menderita penyakit yang belum pernah ia tangani sebelumnya. “Di Indonesia ada malnutrisi tapi nggak yang sampai garis merah. Misal anak usia 1 tahun tapi berat masih 5 kg, itu kurus sekali. First time shocking banget, apa aku mampu menangani ini?” ujar Rangi yang awalnya sempat meragukan dirinya sendiri. Di luar dugaan, Rangi justru menikmati tugas pertamanya di Pakistan. Ia bahkan sempat menambah masa tugasnya dari sembilan bulan menjadi sepuluh bulan lamanya.

Rangi mungkin tak menyangka, misi selanjutnya yang ia jalankan di Yaman justru akan sangat menguji komitmennya sebagai tenaga medis. Meski hanya lima bulan, kondisi di Yaman jauh lebih berat dan mengerikan karena perang masih berkecamuk. Rangi bertugas di sebuah rumah sakit di Kota Taiz. Rumah sakit yang cukup besar karena bangunannya merupakan bekas hotel yang tidak digunakan dan lantas disulap menjadi rumah sakit.

Rumah sakit tempat Rangi bekerja merupakan satu-satunya fasilitas kesehatan gratis di Taiz. Tak heran jika berbondong-bondong pengungsi datang meminta bantuan. Masing-masing bangsal bisa disesaki oleh lebih dari 30 pengungsi. Ia pun harus bekerja hingga subuh tanpa henti. Kadang Rangi juga harus melayani di Unit Gawat Darurat karena di sana kekurangan tenaga medis.

Jarak rumah sakit dengan wilayah perang hanya sekitar 5 km. Jika naik ke atap rumah sakit di malam hari, Rangi dapat melihat langit mendadak berubah merah tanda bom sedang ditembakkan. Lima bulan di Yaman, telinga Rangi sudah 'akrab' dengan suara ledakan bom dan tembakan senapan. Tapi bukan berarti dia tak kenal takut lagi. Ketika ia bertugas, Rangi sempat panik karena salah satu rumah sakit di daerah Yaman Utara yang dibantu MSF dihantam peluru kendali. Kejadian itu menewaskan empat orang dan menyebabkan sepuluh staf rumah sakit terluka.

Di mana-mana, perang memang brutal. “Aku jadi khawatir, kalau rumah sakit di sana saja diserang, berarti rumah sakit tempatku bertugas juga sama. Apa kita harus menghentikan bantuan ini? Sedangkan pengungsi masih banyak yang membutuhkan pertolongan kami,” ujar Rangi. Beruntung hingga tugasnya di Yaman usai, rumah sakit di Taiz itu selamat dari serangan bom.

Rangi bersama salah satu pasien
Foto : dok. pribadi

Di sela-sela tugasnya, Rangi juga sempat ngobrol dengan sesama dokter Yaman yang kebanyakan perempuan. Sebagai sesama perempuan yang seumuran, Rangi kerap iseng menanyakan soal mimpi dan cita-cita mereka. Namun justru jawaban mereka membuat Rangi semakin terenyuh. Dalam kondisi perang tak ada waktu untuk memikirkan perihal mimpi di masa depan. Yang jadi pikiran mereka malah rasa khawatir kalau-kalau entah besok atau lusa mereka akan jadi korban bom selanjutnya.

“Aku sudah menyaksikan tempat terburuk di dunia. Sekembalinya ke Indonesia aku jadi lebih bersyukur. Jangan deh kita ribut-ribut dengan hal kecil yang nggak perlu," ujar Rangi. Di tempat seperti Yaman, bisa hidup sampai bulan depan saja masih jadi pertanyaan. "Mereka juga pengin hidup dengan normal tapi nggak bisa karena perang. We don't really want to life in that kind of place. We really don't want to be in a war.”

Aku sudah menyaksikan tempat terburuk di dunia

Beratus-ratus hari berada di tempat mengerikan semacam itu ternyata membawa dampak bagi kesehatan psikologis Rangi. Setelah menyelesaikan tugas di Yaman, Rangi diberikan amanah untuk menghadiri rapat MSF di Hong Kong sebelum kembali ke Indonesia.

Malam hari ketika Rangi sedang lelap tidur di kamar hotel, samar-samar ia mendengar suara pesawat yang tengah lewat. Rangi mendadak mengalami serangan panik. “Aku tiba-tiba panik pas jam 3 pagi dan pengin lari ke jalan di depan hotel. Karena kalau di Yaman, jika mendengar suara seperti itu maka harus waspada. Aku nggak sadar kalau aku sudah di Hong Kong,” kata dia.

Rangi sempat mengambil cuti selama satu tahun untuk menenangkan diri. usai rehat, dia kembali bertugas di daerah yang didera musibah. Dia sempat dikirim MSF ke Sudan Selatan dan membantu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Dan baru beberapa hari lalu dia pulang ke Bekasi setelah menyelesaikan tugasnya sebagai tenaga medis untuk menangani korban bencana tsunami dan gempa di Palu, Sulawesi Tengah.

Meski lelah lahir dan batin menjadi dokter di daerah perang dan bencana, Rangi tak berniat berhenti. Pesan orang tua dan senyum pasiennya lah yang membuat Rangi terus bekerja untuk membantu sesama.

“Kalau ada pasienku yang gagal aku selamatkan, aku bisa jadi sedih banget. Tapi kalau mereka sembuh, itu jadi sumber kebahagiaanku. Dan aku selalu ingat pesan ibu, 'The more I see you in this world, the more I understand, the more I see you in this world, the more I'm proud of you',” tutur Rangi.


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE