INTERMESO
"Makanan tidak ada, air tidak ada, listrik mati, minyak tidak ada. Ini seperti latihan kiamat, kiamat kecil."
Foto-foto: Getty Images
Minggu, 14 Oktober 2018Pagi itu, hari Minggu, 26 Desember 2004. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sekaligus Ketua Harian Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Alwi Shihab, sedang berada di Bandara Nabire, Papua, saat ada pesan masuk ke telepon selulernya.
“Ada gempa dahsyat di Aceh,” begitu bunyi pesan singkat itu. Saat itu Alwi sedang mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi korban gempa di Papua. Alwi memperlihatkan pesan itu kepada Widodo AS, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang ada di sampingnya. Mendengar percakapan mereka, Presiden bertanya, “Ada apa?” Membaca pesan itu, Presiden Yudhoyono meminta Alwi mengecek kabar tersebut. Segera.
Di Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah duduk di dalam mobil dan bersiap berangkat untuk menghadiri acara halalbihalal keluarga besar Aceh di Istora Senayan. Seorang stafnya tergopoh menghampiri. “Pak, di Aceh ada gempa, dahsyat sekali,” kata staf itu, seperti dikutip dalam buku Tsunami, yang diterbitkan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nangroe Aceh Darussalam dan Nias (BRR NAD-Nias). Jusuf Kalla segera menelepon Presiden Yudhoyono.
Beberapa kilometer dari rumah dinas Wakil Presiden, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sedang ngolong di bawah mobil Impala tua saat pengawal menghampiri. Jenderal Sutarto memang hobi mengoprek mobil tua. Ada berita dikirim dari Dinas Siaga Markas Besar TNI di Cilangkap mengabarkan tsunami di Aceh.
Namun kabar dari Aceh masih sayup-sayup. Jenderal Sutarto mencoba menelepon Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda Mayor Jenderal Endang Suwarya untuk mendapatkan informasi lebih lengkap. Namun berulang kali dicoba, tak sekali pun tersambung.
Menit demi menit berlalu, laporan dari Aceh mulai berdatangan. Gempa luar biasa dahsyat, salah satu yang paling dahsyat yang pernah tercatat, mengguncang Aceh dan sekitarnya. Sumber lindu di tengah laut, beberapa kilometer arah utara Pulau Simeulue, sekitar 130 kilometer dari pantai barat Aceh. Bukan gempa yang memporak-porandakan Tanah Jeumpa, melainkan tsunami yang menggulung Singkil, Meulaboh, Calang, hingga Kota Banda Aceh, hanya berselang kurang dari setengah jam setelah lindu.
Sekitar pukul 2 siang pada hari itu juga, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, Menteri Perumahan Yusuf Asy’ari, Deputi Bakornas Penanggulangan Bencana Budi Atmadi Adiputro, Ketua Palang Merah Indonesia Mar’ie Muhammad, Wakil Gubernur Aceh Azwar Abubakar dan istri, serta sejumlah tokoh Aceh, terbang dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, menuju Aceh dengan pesawat pribadi milik Jusuf Kalla.
Saya melangkah, ada mayat, melangkah lagi, ada mayat lagi, dengan bentuk yang sudah mengenaskan."
Wakil Presiden membekali Sofyan, yang putra Aceh, uang tunai Rp 200 juta. Lantaran landasan Bandara Iskandar Muda rusak dikoyak gempa, pesawat dari Jakarta itu baru bisa mendarat di Pangkalan Udara Blang Bintang selepas Magrib. Uang tunai dari Jakarta segera dibelanjakan ke toko-toko yang masih buka. Sepanjang perjalanan ke pusat Kota Banda Aceh, terhampar pemandangan memilukan.
“Saya melangkah, ada mayat, melangkah lagi, ada mayat lagi, dengan bentuk yang sudah mengenaskan,” kata Mar’ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan. “Anak-anak kecil di jalanan berteriak sambil menangis memanggil-manggil ibunya.... Makanan tidak ada, air tidak ada, listrik mati, minyak tidak ada. Ini seperti latihan kiamat, kiamat kecil.”
Angka-angka dari BRR ini jauh dari cukup untuk menggambarkan kerusakan dan penderitaan tak terperikan di Tanah Serambi Mekah pada hari itu: 127.720 orang meninggal dan 93.285 orang hilang, 139.195 rumah rusak, 119 jembatan rusak, 3.415 sekolah roboh, dan 2.618 kilometer jalan hancur.
“Ke mana pun terbang, pemandangan yang aku lihat mengingatkanku pada Hiroshima setelah bom atom dijatuhkan. Semuanya rata dengan tanah,” Mike Griffith, aktivis lingkungan asal Selandia Baru, mengenang, seperti dikutip Bill Nicol dalam bukunya, God’s Punishment. Mike sudah lama terlibat pelestarian lingkungan Gunung Leuser dan tak lama setelah tsunami, terbang di atas Aceh.
Hingga berakhir operasi tanggap darurat pada 26 Maret 2005, tiga bulan setelah tsunami, bukan hanya melibatkan jumlah dana yang sangat besar, tapi juga jumlah tenaga yang terlibat luar biasa masif. Dari dalam negeri, ada sekitar 24 ribu relawan, tim medis, dan anggota TNI, dibantu hampir 500 alat berat, yang menggulung lengan baju untuk menangani para korban dan memulihkan kondisi Aceh.
Dari luar negeri, 34 negara sahabat mengirimkan sekitar 16 ribu personel disokong 9 kapal induk, 14 kapal perang, 31 pesawat, dan 82 helikopter. Melihat besarnya operasi kemanusiaan ini, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan, “Inilah operasi militer bukan perang yang terbesar setelah Perang Dunia II.”
Kini, hampir 15 tahun setelah tsunami menghancurkan Tanah Jeumpa, ada banyak pelajaran yang mestinya bisa kita petik dari bencana di Aceh.
Lampuuk pada Januari 2005 dan Desember 2014
Foto: Getty Images
Kurang-lebih sebulan setelah tsunami melumat wilayah sepanjang pantai barat Aceh, Kuntoro Mangkusubroto mendapat undangan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kuntoro, Menteri Pertambangan periode 1998-1999, diminta datang ke rumah dinas Wakil Presiden.
Kuntoro sudah mendengar selentingan kabar bahwa dia dicalonkan untuk memimpin proses pemulihan Aceh setelah tsunami. “Saya mendengar kabar itu dari Sri Mulyani,” kata Kuntoro seperti dikutip buku BRR. Saat itu Sri Mulyani menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Ternyata betul, Jusuf Kalla mengundang Kuntoro untuk membahas pemulihan Aceh sekaligus menawarkan jabatan sebagai kepala proyek besar itu.
“Bagi saya, tawaran ini merupakan kehormatan, tapi saya memerlukan proteksi politik,” kata Kuntoro. Jusuf Kalla memotong, “Maksud Anda?” Menurut Kuntoro, pemulihan Aceh—saat itu Aceh juga masih merupakan daerah konflik—merupakan pekerjaan luar biasa sulit. Karena itulah Kuntoro meminta sesuatu. “Apa pun lembaga yang nanti akan saya pimpin, perlu dibentuk berdasarkan undang-undang.” Dia juga meminta agar lembaga itu bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Bukan syarat yang gampang. Menerbitkan undang-undang bukan perkara gampang dan pasti butuh waktu panjang. Sementara itu, pemulihan Aceh setelah operasi tanggap darurat usai tak bisa ditunda lagi. Dua pekan setelah bertemu dengan Jusuf Kalla, Kuntoro diminta menghadap Presiden Yudhoyono. Urusannya ternyata hal yang sama. Kuntoro tetap meminta syarat undang-undang sebagai payung hukum pemulihan Aceh.
“Saya juga perlu posisi setingkat menteri,” ujar Kuntoro. Dia juga minta diberi keleluasaan merekrut orang, termasuk menentukan besar gajinya. Pekerjaan luar biasa besar dan sulit seperti rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh tak mungkin bisa digarap cepat jika ‘sang komandan’ tak punya wewenang besar. Dalam diskusi berikutnya, Sri Mulyani mengusulkan agar lembaga itu tak ‘sekadar’ mengkoordinasi, tapi juga sebagai pelaksana.
Setelah melewati tarik-ulur lumayan panjang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara ditandatangani Presiden Yudhoyono pada 16 April 2005. Tak semua keinginan Kuntoro terkabulkan, misalnya soal jabatan setingkat Menteri. Tapi Kuntoro dan timnya memutuskan jalan terus.
Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, pada Januari 2005 dan sepuluh tahun kemudian
Foto: Getty Images
Seorang sumber yang pernah bekerja di BRR menuturkan kepada detikX, lantaran sejumlah usulan tak dikabulkan, ada beberapa urusan administrasi dan birokrasi yang kelak membuat pekerjaan BRR lebih lambat, bahkan dipersoalkan ke pengadilan. Misalnya dalam soal pengadaan barang dan jasa di lokasi bencana. “Kalau mengikuti prosedur biasa, butuh waktu berpekan-pekan,” kata dia. Padahal pemulihan di lokasi bencana perlu secepatnya.
Belum lagi beberapa urusan ‘kecil’, seperti pengurusan visa dan izin beroperasi bagi staf dan lembaga kemanusiaan asing. Semua hal ini hanya bisa diurus di Jakarta. Perlu berbulan-bulan, perlu rapat berkali-kali di Jakarta, hingga akhirnya BRR bisa membuka layanan satu pintu untuk mengurus rupa-rupa izin bagi staf dan lembaga asing. “Visa yang normalnya butuh proses enam minggu di Jakarta akhirnya dapat diurus hanya dalam satu hari,” kata dia.
...sense of urgency yang tak merata di antara pejabat-pejabat pemerintah."
Empat tahun BRR menuntaskan 'megaproyek' di Aceh dan Nias. Banyak sekali pencapaian BRR, meski ada pula sejumlah kritik. Ada banyak pengalaman BRR yang bisa jadi pelajaran dalam soal pemulihan dari bencana. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan begitu banyak tempat yang rawan bencana. Belum lama Lombok digoyang lindu, dan dua pekan lalu Palu serta beberapa daerah di Sulawesi Tengah digoyang gempa dan diterjang tsunami. Lebih dari 2.000 orang meninggal.
Beberapa ‘alumni’ BRR, kata sumber itu, sudah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono untuk menyampaikan sejumlah masukan. Ada beberapa poin yang jadi perhatian. “Pertama soal sense of urgency yang tak merata di antara pejabat-pejabat pemerintah,” kata dia. Kedua, soal kesatuan komando dalam penanganan bencana mulai dalam koordinasi penyaluran bantuan hingga koordinasi dengan lembaga-lembaga yang hendak memberikan bantuan, baik nasional maupun internasional.
Masa tanggap darurat penanganan bencana di Palu dan Donggala sudah berakhir pada Oktober ini. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan dimulai bulan depan, November 2018. Dengan skala kerusakan sebesar Palu dan daerah-daerah di Sulawesi Tengah, apakah proses rehabilitasi dan rekonstruksi akan meniru model BRR?
Melihat skala kerusakan di Palu, sumber itu mengusulkan dikeluarkan perpu seperti saat penanganan bencana di Aceh. Beberapa hari lalu, Presiden Jusuf Kalla terbang ke Palu bersama Kuntoro. Menurut Wakil Presiden, proses rehabilitasi dan rekonstruksi Palu dan sekitarnya bakal makan waktu dua tahun. Tapi sayang, Kuntoro masih enggan bercerita. “Sekarang belum waktunya,” kata Kuntoro kepada detikX.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo