INTERMESO

Cerita Srimulat 'Serbu' Jakarta

Dengan gayanya yang khas, Asmuni, Tarzan, Kadir, Basuki, Gepeng, Timbul, dan kawan-kawan menaklukkan penonton Jakarta. Di balik layar, ada banyak drama.

CERITA SRIMULAT 'SERBU' JAKARTA

Dengan gayanya yang khas, Asmuni, Tarzan, Kadir, Basuki, Gepeng, Timbul, dan kawan-kawan menaklukkan penonton Jakarta. Di balik layar, ada banyak drama.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Minggu, 9 September 2018

Gedung pertunjukan di kawasan Taman Ria Remaja Senayan dijejali pengunjung. Antrian calon penonton pementasan grup komedi Srimulat sudah mengular sangat panjang. Eko Saputro yang kala itu masih remaja kebagian tugas khusus.

Putra sulung Teguh Slamet Rahardjo,  pimpinan dan pendiri kelompok hiburan Srimulat, itu harus mengantarkan penonton masuk ke dalam gedung pertunjukan yang letaknya mepet dengan danau kecil di kawasan hiburan tersebut. "Penontonnya sangat ramai terutama saat malam Minggu," ujar Eko kepada DetikX, Kamis lalu.

Grup Srimulat menjadi primadona baru di panggung hiburan ibu kota mulai akhir tahun 1981. Asmuni, Triman, Gepeng, dan sejumlah nama, sukses mengibarkan nama Srimulat saat pertunjukan perdana pada 10 Oktober 1981. Teguh Slamet memang menyiapkan secara matang rencana ekspansi ke Jakarta. Sembilan tahun sebelumnya rombongan Aneka Ria Srimulat diundang untuk manggung di Taman Ismail Marzuki. Pentas lima hari tersebut terbilang sangat sukses. Srimulat bahkan diminta untuk kembali datang secara rutin.

Diam-diam Teguh berangan-angan suatu saat kelak ia bersama rombongannya akan menetap di Jakarta. Setelah sukses membuka cabang Aneka Ria Srimulat di Bale Kambang, Solo Teguh kemudian menatap Jakarta. Besar di Surabaya, Solo dan Semarang saja tidak cukup bila belum ‘menaklukkan’ Jakarta. “Kami tidak takut. Kami siap,” kata Teguh, dikutip Sony Set dalam bukunya, Srimulat, Aneh yang Lucu, setiap kali ditanya soal ambisi Srimulat merantau ke Jakarta.

Tarzan dan Kadir bicara soal Srimulat
Video : Monica Arum/20Detik

Bertahun-tahun punya pentas rutin di TIM ia yakin Jakarta merupakan lahan subur yang harus digarap. "Beberapa kali manggung di TIM dan Balai Sidang tontonan Srimulat selalu berhasil menyedot pengunjung," ujar Herry Gendut Janarto, penulis buku biografi Teguh Srimulat : Berpacu dalam Komedi dan Melodi kepada detikX.

Teguh mencoba mendekati pengelola TIM sekitar tahun 1979 untuk menjajaki kemungkinan ada tempat untuk menetap bagi rombongan kesenian di kawasan tersebut. Tapi upayanya kandas. Tak menyerah, Teguh mengincar sejumlah gedung kosong di Pasar Minggu dan Jatinegara. Lagi-lagi gagal karena gedung tak layak pakai. Dua tahun kemudian atas saran calon rekan bisnisnya, Asmuni dan Dadang Sugiatno diutus meninjau lantai atas Proyek Senen.

Beberapa kali manggung di TIM dan Balai Sidang tontonan Srimulat selalu berhasil menyedot pengunjung'

Melihat prospek kawasan Senen, Teguh menyiapkan surat kontrak. Tim Jakarta yang terdiri atas pelawak, pemusik, dan penyanyi pun sudah dibentuk. Peralatan-peralatan untuk dekorasi sudah dibeli. Tapi ketika Teguh mengontak pihak PT Pembangunan Jaya selaku pengelola Proyek Senen rupanya proposal Srimulat ditolak. "Rombongan Srimulat tidak disetujui menetap karena soal keamanan dan ketertiban umum," ujar Herry. Akibat kegagalan itu tim Jakarta yang sudah terlanjur terbentuk akhirnya ditugaskan pementasan keliling di Jawa Timur.

Belakangan PT Pembangunan Jaya menawarkan Srimulat menetap di Taman Ria Remaja Senayan. Asmuni dan Dadang kembali diminta menyurvei kawasan itu di sela-sela jadwal pentas di TIM pada Juli 1981. Mereka mendapati kenyataan tempat itu sangat sepi. Apalagi lokasi tempat mendirikan tempat pertunjukan sangat mepet dengan kolam renang. Asmuni melapor ke Teguh kondisi kawasan itu yang sepi tapi tetap optimistis tontonan Srimulat akan laku di Jakarta. Pilihan pun ditetapkan. Layar Srimulat terkembang di Jakarta.

Pementasan Srimulat tak pernah sepi penonton. Gedung lama berkapasitas 800 orang tak sanggup menampung semua calon penonton. Dengan gaya lawakan yang kadang agak ndeso, Srimulat mengocok perut warga Jakarta.

Tarzan : Ini mana tusuk giginya?

Basuki, pelayan rumah makan : Mau yang baru atau bekas?

Tarzan : Yang baru dong!

Basuki : Sudah habis

Tarzan : Kalau yang bekas?

Basuki : Masih dicuci

Baru tiga tahun kemudian Ciputra pimpinan PT Pembangunan Jaya membangunkan gedung baru dengan kapasitas 1100 orang. Gedung baru dicat kuning oranye itu diletakkan di tengah-tengah danau. Nama Aneka Ria Srimulat pun semakin berkibar di blantika hiburan. Selain pentas rutin setiap malam, undangan main di luar panggung semakin deras mengalir.

Tarzan dan Gogon
Foto : Detik.com



Eko Saputro mengatakan kekuatan Srimulat itu ada pada cerita dan pelawaknya. Menurut Eko meski sebagian besar cerita dibuat oleh Teguh, kadang-kadang ayaknya itu mengajak para pemain untuk diskusi membahas ide cerita. "Sesudah pentas biasanya Bapak kesulitan tidur. Pemainnya dikumpulin ajak diskusi sambil diajari," kata Koko. Tiap orang dirangsang masuk Dewan Cerita untuk membuat cerita-cerita baru. "Kalau ada yang punya usulan bagus, kasih judul cerita dan dipakai akan dikasih bonus tambahan."

Kuatnya cerita-cerita Srimulat juga diakui Toto Muryadi alias Tarzan. Tarzan yang bergabung dengan Srimulat Surabaya pada 1979 mengatakan kalau cerita yang akan dibawakan sudah lucu pantang bagi pelawaknya membuatnya tambah lucu. "Jika ceritanya dinilai butuh tambahan agar lebih lucu silakan berimprovisasi sesuai garis besar yang sudah dikonsep," kata Tarzan kepada detikX. "Nah kalau sudah melebar dari konsep biasanya saya atau Asmuni diberi tugas mengembalikan ke jalurnya."

Teguh pun membuat rambu-rambu agar tak menyerempet hal-hal yang sensitif saat Orde Baru seperti kritik politik atau materi lawakan soal suku, agama, dan ras. "Srimulat cari amannya saja," ujar Kadir Mubarak. Apalagi, kata Kadir, sebagian besar personel Srimulat bukan ‘anak sekolahan’ dengan titel pendidikan tinggi yang memadai untuk bicara atau melakukan kritik. "Kalau pelawak Srimulat mau ngritik pemerintah ya takut. Ngritik nanti tidak bisa jawab. Kan susah. Kalau ngritik tok nggak ada argumentasinya ya mending tidak usah ngritik."

Selalu memilih ada dalam jalur yang "lurus", membuat Aneka Ria Srimulat terbilang dekat dengan pemerintah. Grup ini kerap mentas di Istana Merdeka atau di acara-acara yang digagas pihak militer. Bahkan kadang diundang untuk menghibur secara eksklusif dalam acara-acara keluarga di kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana.

Anggota Srimulat di Taman Ria Senayan
Foto : Srimulatism

Srimulat makin populer membuat nama anggotanya makin meroket. Gepeng dengan ucapannya "Untung ada saya" dilirik para produser film. Sejumlah film dibintangi spesialis tokoh batur atau pembantu dalam pentas Srimulat itu seperti Untung Ada Saya, Gepeng Mencari Untung, dan Gepeng Bayar Kontan. Belakangan Gepeng kerap melanggar pakem panggung Srimulat dan akhirnya dikeluarkan.

Ada juga yang memilih untuk hengkang seperti Basuki yang mengajak sejumlah rekannya seperti Timbul, Nurbuat, Kadir, dan Rohana pada 1986. Mereka membentuk grup lawak Merdeka yang kemudian akhir pecah dan jadi Batik Grup. Jauh sebelumnya pada tahun 1975, Johny Gudel memilih kabur dari Srimulat Surabaya dengan membawa puluhan orang.

Munculnya televisi-televisi baru membuat banyak kesenian rakyat kolaps

Herry Gendut Janarto mengatakan keluar masuk grup seperti itu merupakan hal yang lumrah. Apalagi memang ada godaan insentif yang lebih besar kalau bermain lepas dari kelompok besar. Hebatnya kata Herry, meski sempat kelimpungan Teguh mampu dengan cepat mengembalikan performa Srimulat. "Regenerasinya pelawaknya cukup cepat," kata Herry. Keluarnya pelawak senior membuat Teguh tertantang untuk mengorbitkan pelawak-pelawak muda. "Srimulat itu dinamikanya kayak terminal. Datang dan pergi itu biasa saja buat Teguh Srimulat."

Tapi ada masanya Teguh merasa letih karena persoalan usia. Pria bernama lahir Kho Tjien Tiong itu memilih menyerahkan tampuk pimpinan Srimulat Surabaya, Semarang, dan Jakarta pada orang yang lebih muda. Sayangnya proses regenerasi ini tak berjalan mulus. Dengan berbagai pertimbangan Teguh akhirnya membubarkan Srimulat pada 1990.

Teguh tak cuma letih, tapi juga ada persoalan lain. “Munculnya televisi-televisi baru membuat banyak kesenian rakyat kolaps. Lihat panggung-panggung pertunjukan sekarang….sepi. Orang lebih memilih menonton televisi. Bapak sudah meramalkan itu jauh-jauh hari,” kata Eko Saputro. Jika Srimulat ingin hidup lagi, maka para pemainnya harus mampu beradaptasi dengan perubahan.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE