INTERMESO
PBB memvonis Indonesia sebagai negara dengan tingkat sanitasi terburuk kedua di dunia
Ilustrasi : Edi Wahyono
Sabtu, 25 Agustus 2018Matahari tak lagi tampak di ufuk barat. Kota Jakarta yang riuh berangsur lengang. Di belakang kemudi sebuah truk, tampak raut wajah seorang pria yang gelisah. Entah sudah berapa kali ia bolak balik putar stir, menyusuri Jalan Gunung Sahari. Namun Tardi, begitu ia disapa, belum juga menemukan lokasi pas untuk membuang muatan truknya. Padahal sebuah jam mini di dasbor truk telah menunjukkan pukul 10 malam.
Wajar jika Tardi mulai lelah dan mengantuk. Sudah seharian dia melayani penyedotan dan pengangkutan tinja di wilayah Jakarta Pusat dan Timur. Tepukan di pundaknya membuat Tardi setengah terperanjat. Sarwo, temannya yang sehari-hari membantu mengoperasikan truk tinja, memberikan isyarat bahwa situasi sudah ‘aman’untuk membuang muatan truknya yakni tinja.
Perlahan Tardi memarkirkan truk berwarna kuning itu di badan jalan. Sensor parkir sengaja ia matikan agar warga sekitar tidak terbangun dari tidur. Keduanya turun setengah melompat dari dalam mobil, bergegas melancarkan ‘operasi senyap’. Sarwo bertugas menunggu di belakang truk, berjaga-jaga jika ada petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta atau siapa saja yang kedapatan melihat aksi mereka.
Tardi segera membuka gulungan selang spiral dan mengarahkannya ke dalam aliran anak Kali Ciliwung. Meski berperawakan tubuh kecil, Tardi bisa menjinakan derasnya laju kotoran segar manusia dari dalam selang. Ia tak ingin lumpur berwarna hitam itu tercecer di pinggir turap kali. Lima belas menit berlalu, muatan sebanyak empat meter kubik itu terkuras tak tersisa. Seperti malam-malam sebelumnya, Tardi dan Sarwo bisa bernafas lega. Merekasudah bisa pulang.
“Saya udah lebih dari sepuluh tahun jadi supir truk tinja dan selama buang ke kali belum pernah ketahuan. Soalnya kebanyakan buangnya di malam hari pas udah sepi,” ujar Tardi malu-malu menceritakan pengalamannya. Mestinya, tinja hasil sedotan dari septic tank milik warga memang tak boleh begitu saja dibuang ke sungai. Dan Tardi bukan satu-satunya sopir truk tinja yang nakal di kota sebesar Jakarta ini.
Ada kalanya pula Tardi harus membuang muatan di siang hari. Biasanya kepepet karena orderan sedot tinja sedang membeludak. Caranya, ia memasang tanda segitiga berwarna merah di belakang truk seolah mogok. Padahal diam-diam selang penuh tinja sedang digelontorkan ke sungai. Ketika musim hujan tiba, rupanya bukan cuma tukang ojek payung yang senang karena kebagian berkah. Supir truk tinja pun memanfaatkan celah itu untuk membuang muatan di badan jalan. Tidak akan ada yang curiga, apalagi jika hujannya cukup deras.
Kita dari awal memang salah. Kalau di luar negeri sudah terbangun pipa, baru kotanya dibangun. Sedangkan kita sebaliknya
Rina Agustin, Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPRKondisi perkampungan padat di Jakarta
Foto : Praditia Utama/Detik.com
Ulah sopir-sopir truk tinja nakal ini memang bukan isapan jempol belaka. Seorang warga di dekat Kali Sunter pernah merekam sebuah truk berwarna oranye yang tengah kedapatan membuang muatan tinja. Video berdurasi 34 detik itu diunggah Ambo Dalle melalui YouTube dan telah ditonton lebih dari 35 ribu kali.
Kini Tardi sudah ‘bertobat’. “Capek juga setiap hari kayak main petak umpet sama petugas, kerja setiap hari jadi nggak tenang begini. Mendingan buangnya di tempat resmi sudah jelas dan nggak mencemari lingkungan,” Tardi yang sudah insaf dan memilih bergabung menjadi pekerja harian lepas di Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) PD PAL Jaya, menuturkan.
Urusan tinja memang bukan topik yang sedap untuk dibahas. Begitu tinja lenyap digelontor air toilet, orang tak mau tahu lagi kemana tinja itu pergi. Padahal di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, urusan tinja ini urusan yang sangat serius dan gawat. Lantaran pembuangan tinja di Jakarta tak terurus, air tanah dan air sungai di kota ini sudah tercemar berat oleh limbah rumah tangga.
Kondisi kita sekarang ini sama seperti Jepang di tahun 1950 sampai 1960-an'
Riset Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta pada tahun 2011 menemukan tingkat pencemaran bakteri Escherichia coli atau E.coli terhadap air tanah di Jakarta sudah mencapai 90 persen. Itu kondisi tujuh tahun lalu. Dan sejak 2011 hingga sekarang, tak ada perbaikan berarti dalam pengelolaan tinja di Jakarta.
Belum lama ini, Dinas Lingkungan Hidup DKI juga melakukan pengujian kualitas air terhadap 20 sungai di Ibu Kota. Dinas Lingkungan mengukur kualitas air 20 sungai di Jakarta pada 21 Maret–12 April lalu. Hasil uji air menunjukkan total 20 sungai telah tercemar berat oleh bakteri E.coli. Pencemaran terparah terjadi di Sungai Mookervaart, Kalibaru, Cideng, Jakarta Pusat, dan Mampang, Jakarta Selatan.
Air Sungai Mookervaart, misalnya, mengandung konsentrasi E.coli berkisar 144 juta–17,1 miliar per 100 mililiter, atau lebih dari seratus juta kali lipat ambang batas maksimal kandungan bakteri E.coli dalam air. Ambang batas maksimal itu seharusnya sebesar 50 per 100 mililiter.
“Dampak jangka pendek diare, panuan, kudisan dan sebagainya. Jangka panjangnya stunting alias anak cebol karena pertumbuhan tidak sempurna, itu termasuk pertumbuhan otak tidak sempurna. Ini permasalahan bangsa yang harus kita cari solusinya bersama,” ujar Direktur Utama PD PAL Jaya, Subekti. Menurut data yang dilansir UNICEF pada 2012, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 152.000 orang per tahun dan dua per tiganya karena diare. Itu artinya diare menyebabkan 17 balita meninggal setiap jamnya.
Selain itu biang keladi pencemaran air karena bakteri E. coli juga disebabkan karena sedikitnya jumlah warga Jakarta yang dilayani Intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Di perkotaan, limbah domestik idealnya diolah dengan sistem perpipaan terpusat. Masing-masing rumah akan dipasang pipa yang terhubung dengan IPAL. Air tinja diolah hingga memenuhi standar mutu air sebelum dibuang ke sungai.
Saat ini, Jakarta memang telah memiliki sistem jaringan perpipaan di IPAL Waduk Setiabudi. Tapi jaringan pipa air limbah rumah tangga itu hanya mampu melayani 4 persen warga Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), berencana membangun Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpadu atau Jakarta Sewerage System (JSS) yang tersebar di 15 zona. Targetnya IPAL terpadu pada 15 zona itu baru selesai pada tahun 2035 dan akan mampu melayani pengolahan air limbah Jakarta hingga 90 persen.
“Kondisi kita sekarang ini sama seperti Jepang di tahun 1950 sampai 1960-an. Bahkan Malaysia sudah lebih maju. Kita dari awal memang salah. Kalau di luar negeri sudah terbangun pipa baru kotanya dibangun. Sedangkan kita sebaliknya. Makanya membangun IPAL jadi pekerjaan yang lebih lama, sulit, dan mahal,” ujar Rina Agustin, Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR. “ Di Indonesia baru ada 13 kota yang punya sistem perpipaan terpusat, tapi itu pun baru sebagian kecil. Jujur saja, sistem perpipaan ini belum populer dan belum jadi prioritas. Kalau ada proyek air, cepat urusannya karena kita memang butuh air. Tapi begitu menyangkut buangan air, nanti dulu. Itulah tantangan kita ke depan.”
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, meski sedikit ‘keselip lidah’, tak bohong saat mengatakan bahwa air buangan tinja bisa diolah menjadi air minum saat meresmikan mesin pengolahan air tinja pada akhir Mei lalu. Secara teknologi, hal itu mungkin dilakukan. Singapura sudah melakukannya lewat jaringan NEWater. Sebelum benar-benar dibuang ke selokan, air di Singapura didaur ulang dan dipakai lagi berkali-kali. Tapi tentu saja Jakarta masih jauh untuk mengejar Singapura.
Jika seluruh penyedia jasa layanan pengangkutan tinja satu pemikiran dengan Tardi, selokan, kali maupun sungai di Jakarta mungkin dapat menjadi habitat baru bagi ikan koi. Seperti halnya selokan di Shimabara, Nagasaki, Jepang. Sayangnya, masih banyak pemilik dan sopir truk tinja yang betah bermain kucing-kucingan dengan petugas. Mereka lebih suka buang muatan tinja ke sungai. Bahwa ulahnya mencemari sungai, mereka tutup mata. Yang penting gratis.
Kalau tidak percaya, tengok saja Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Di tempat inilah seharusnya seluruh tangki septik di Jakarta bermuara dan diolah. Di Jakarta IPLT dikelola oleh PD PAL Jaya, perusahaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hingga kini Jakarta baru memiliki dua IPLT yaitu IPLT Duri Kosambi di Jakarta Barat dan IPLT Pulo Gebang di Jakarta Timur. Kapasitas pengolahan limbah tinja di dua IPLT ini masih jauh sekali dari cukup untuk melayani megapolitan sebesar dan sepadat Jakarta.
Dalam pengolahan limbah domestik itu, IPLT Duri Kosambi menggunakan metode konvensional serta mekanik. Metode konvensional memakan waktu 27 hari, sementara metode mekanik hanya butuh 7 hari. Air hasil olahan limbah tinja dibuang kembali ke aliran sungai setelah memenuhi standar baku mutu. Sementara padatan lumpur tinja diubah menjadi pupuk, briket dan sumber energi biogas yang lebih bermanfaat. Pengembangan olahan limbah tinja ini masih dalam tahap riset dan uji coba.
Setiap hari, IPLT Duri Kosambi rata-rata menerima 150 truk tinja. Kebanyakan berasal dari penyedia jasa layanan penyedotan tinja swasta mitra PD PAL Jaya. Mereka dikenai pungutan sebesar Rp 27 ribu per satu meter kubik tinja. Sayangnya, jumlah limbah tinja yang diterima IPLT Duri Kosambi masih jauh dari harapan. Apalagi jika dibandingkan dengan kapasitas kemampuan pengelolaan limbah tinjanya.
“Dengan kapasitas pengolahan 1800 meter kubik per hari, harusnya kami bisa melayani sampai 300 truk tinja. Tapi kalau dihitung dari jumlah penduduk dan jumlah truk tinja yang masuk kok cuma 150 truk. Dan sebetulnya kalau semua truk tinja benar pembuangannya ke sini, kami juga pasti kelabakan. Pertanyaannya truk tinja yang lain buang kemana?” kata Rommel Sitompul, Kepala Sub-IPLT Duri Kosambi. Padahal PD PAL Jaya telah melakukan sosialisasi untuk menjaring lebih banyak pihak swasta. “Setiap dikasih tahu dalam forum, jawabannya iya iya aja, tapi dia buangnya nggak tahu kemana. Padahal sudah dibilang nanti kamu ditangkap ada sanksi. Kalau orang bilang, ngeyel.”
Instalasi Pengolahan Limbah Tinja milik PD PAL Jaya
Foto : Melisa Mailoa/Detik.com
Untuk meningkatkan kapasitas pemasukan limbah tinja tentu PD PAL Jaya tak bisa hanya ongkang kaki dan hanya menunggu empunya truk tinja swasta tobat. PD PAL Jaya terus berupaya ‘menjemput bola’ melalui Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT). Jasa yang ditawarkan tak jauh berbeda dengan penyedotan limbah tinja swasta. Hanya saja PD PAL Jaya akan menawarkan penyedotan lumpur tinja terjadwal dalam kurun waktu satu hingga maksimal tiga tahun.
Agar program ini tepat sasaran, PD PAL Jaya menarik minat masyarakat dengan rupa-rupa pemanis. Seperti memberikan hadiah langsung berupa alat-alat kebersihan bagi warga yang pertama kali bergabung dalam program LLTT sampai hadiah undian televisi dan telepon seluler. “Bahkan armada mobil tinjanya kami desain sedemikian rupa untuk menghilangkan kesan menjijikkan. Udah mirip kayak mobil pengangkut es krim. Tujuannya karena kami ingin membuat sedot tinja ini dekat dengan masyarakat,” kata Handry Hanafiah, Staff Unit Khusus Pelayanan Terjadwal dan Non Terjadwal PD Pal Jaya.
Meski berbagai macam upaya telah dilakukan untuk menarik minat masyarakat, Direktur Utama PD PAL Jaya, Subekti, mengatakan program LLTT belum berjalan memuaskan. Dari 31 armada truk tinja milik perusahaan pengelolaan limbah domestik ini misalnya, hanya setengahnya saja yang beroperasi rutin setiap hari. Kendala terbesar terletak pada tempat pewadahan tinja atau tangki septik.
Meski menyandang status sebagai kota metropolitan, rupanya masih banyak rumah yang tak memiliki ruang penampungan septik. Kalau pun ada tangki septik, kebanyakan ditemukan dalam kondisi rusak sehingga limbah tinja merembes ke dalam tanah. Bahkan ada anggapan umum di kalangan masyarakat bahwa tangki septik yang baik tidak perlu disedot. Padahal perilaku ini sama saja buruknya dengan tindakan buang air besar sembarangan alias BABS.
Perkampungan padat di Jakarta
Foto : Rifkianto Nugroho/Detik.com
Maka tak heran bila PBB memvonis Indonesia sebagai negara dengan tingkat sanitasi terburuk kedua di dunia. Penyumbang sanitasi terburuk di dunia diantaranya Brazil, China, india, Ethiopia, Kenya, Nigeria dan sebagainya.
“Saya ingin meningkatkan LLTT dengan program macam-macam tapi kok demand-nya kok relatif stabil. Ternyata hasil penelitian menunjukan bahwa dari 2 juta tangki septik di Jakarta, 85 persen di antaranya bocor. Kalau tangki rembes semua, ya mereka nggak akan mau sedot. Tapi kalau tangki septik kedap semua, maka permintaan jasa sedot otomatis meningkat,” kata Subekti.
Segala cara dipakai PD PAL Jaya agar warga Jakarta makin banyak pakai jasa mereka. Mereka melakukan pendekatan langsung ke warga melalui kegiatan Grebeg alias Gerakan bersih sehat lingkungan dengan gotong royong. Salah satu strateginya yaitu dengan menawarkan dari pintu ke pintu. PD PAL Jaya mengandeng banyak pihak untuk menjadi agen pemasaran. Mereka yang direkrut menjadi agen pemasaran memang harus ekstra sabar.
Boro-boro menjelaskan manfaat penyedotan lumpur tinja ini apa, baru perkenalan diri aja sudah ditolak
Banyak warga Jakarta menganggap permasalahan tinja hanya lah urusan kesekian, bukan perkara penting dan mendesak. “Boro-boro menjelaskan manfaat penyedotan lumpur tinja ini apa, baru perkenalan diri aja sudah ditolak, bahkan ada yang kira saya sales panci. Kadang kalau sudah dijelaskan mereka nggak paham sanitasi itu apa, bakteri E. coli itu apa, kok bahasanya aneh,” ungkap Arif Tri Sulistiyanto, anggota Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) BMT Bina Umat Sejahtera (BUS). Sudah sembilan bulan dia memasarkan LLTT di Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Baru sekali Arif mendapatkan pelanggan setia.
Ani, salah satu pelanggan sedot tinja di Koja. Sejak berlangganan awal tahun ini, sudah dua kali Ani menyedot lumpur tinja. Di sebuah gang sempit, Ani beserta suami dan tiga orang anaknya menghuni rumah kontrakan empat pintu. Satu tangki septik seharusnya hanya digunakan untuk satu KK. Tapi kini tangki septik dipaksa menampung hajat empat keluarga sekaligus dengan 25 penghuni. Tak hanya tinja saja yang masuk tangki, tapi juga air bekas piring dan bilasan baju. Maka tak heran jika tangki septik Ani cepat sekali penuh.
“Namanya juga kita ngontrak, ya terpaksa. Kalau nggak disedot, wc mampet, airnya suka keluar dari dalam toilet. Kami kan jijik juga ngeliatnya,” ujar Ani. Ia dan tetangganya patungan merogoh kocek Rp 330 ribu setiap kali hendak menyedot lumpur tinja dengan truk PD PAL Jaya. Harganya memang jauh lebih murah ketimbang menggunakan jasa swasta dengan biaya Rp 770 ribu sekali penyedotan.
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo