INTERMESO

KE MANA PERGI PARA JENIUS INDONESIA

Anak-anak Indonesia ini dulu memeras otak dan menjadi juara dalam Olimpiade Fisika atau Matematika. Ada di mana mereka sekarang?

Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 25 Juni 2018

Rangga Perdana Budoyo tak ingat persis, mengapa ketika anak-anak lain suka bermain atau menggambar, dia justru tergila-gila pada angka-angka dalam matematika dan sains. Tak sekadar suka matematika dan fisika, sejak masih di bangku sekolah menengah pertama, dia sudah ingin ikut Olimpiade Fisika.

“Saya ingat sudah ada keinginan ikut Olimpiade Fisika sejak SMP setelah saya membaca berita di koran tentang Tim Olimpiade Fisika Indonesia di International Physics Olympiad (IPhO),” Rangga menuturkan dua pekan lalu. Beberapa tahun setelah dia membaca berita itu, keinginan itu terwujud juga.

Rangga memang anak pintar. Lulus SMP, dia diterima di sekolah kondang di Magelang, SMA Taruna Nusantara. Seleksi masuk ke sekolah di Jawa Tengah ini dikenal sangat ketat dan berat. Bakat dan minatnya pada fisika dan matematikalah yang mengantarkan Rangga masuk Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).

“Saya ikut TOFI dua tahun,” kata Rangga, kini 33 tahun. Pada tahun pertama di TOFI, dia ikut tim Indonesia ke ajang Olimpiade Fisika Asia (APhO) 2002 di Singapura. Dia pulang dengan medali perunggu. Setahun kemudian, dia kembali bergabung dengan TOFI untuk berangkat ke APhO di Bangkok, Thailand. Tim Indonesia pulang dengan hasil gemilang. Rangga, Widagdo Setiawan, Yudistira Virgus, Bernard Ricardo, Hani Nurbiantoro Santosa, dan Triwiyono Darsowiyono merebut enam medali emas dan menjadi juara umum.

Tak cuma pulang berkalung medali emas, Rangga juga mendapat penghargaan Most Creative Solution in Experiment. “Meskipun sejujurnya saya kurang yakin kenapa eksperimen saya dianggap paling kreatif,” kata Rangga. Empat bulan setelah APhO, Rangga dan teman-temannya kembali terbang ke Taipei, Taiwan. Kali ini mereka berlaga di kompetisi lebih bergengsi, Olimpiade Fisika Internasional ke-34. Hasilnya sangat bagus.

Rangga Budoyo saat mempertahankan disertasinya di Universitas Maryland pada 2015. 
Foto: dok. pribadi Rangga Budoyo

Rangga dan teman-temannya menyikat soal-soal fisika yang tak pernah diajarkan di bangku SMA. Tim Indonesia menempati peringkat ke-6, setelah Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan, Iran, dan India. Widagdo menempati peringkat ketiga dari 154 peserta dan meraih medali emas, Rangga meraih peringkat ke-25 dan membawa pulang medali perak, demikian pula Bernard. Sedangkan Triwiyono dan Yudistira Virgus mendapat medali perunggu.

Tahun ini TOFI yang dirintis oleh Yohanes Surya tepat 25 tahun mengikuti Olimpiade Fisika. Pada 1993, untuk pertama kali, TOFI memberangkatkan tim ke ajang IPhO di Virginia, Amerika Serikat. Saat itu Yohanes masih mahasiswa doktoral di Departemen Fisika College of William and Mary. Kebetulan kampusnya dipilih menjadi tuan rumah IPhO. TOFI pertama beranggotakan lima pelajar SMA dari sejumlah kota di Indonesia: Oki Gunawan, Jemmy Widjaja, Yanto Suryono, Endi Sukma Dewata, dan Nikodemus Barli.

Sekarang banyak perusahaan, Google, Intel, Microsoft, IBM, dan grup riset, yang sedang berusaha membuat komputer kuantum."

Selama 25 tahun, TOFI sudah menghasilkan banyak medali dan penghargaan untuk Indonesia. Sudah lebih dari 100 alumni yang ‘lulus’ dari TOFI dan kini tersebar di seluruh dunia. Sebagian masih ‘berkubang’ dengan fisika, sebagian lagi melompat ke bidang lain, bahkan ada pula yang pindah ke bidang yang lumayan jauh dengan fisika.

Widagdo Setiawan misalnya. Dia mendapatkan gelar di bidang fisika dari kampus-kampus paling top di dunia, Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Universitas Harvard. Tapi sekarang dia malah bekerja di Global Electronic Trading Company (Getco), anak usaha dari perusahaan jasa keuangan KCG Holdings, yang berkantor di Chicago. Teman seangkatannya, Yudistira Virgus, yang mendapatkan gelar doktor fisika dari College of William and Mary, kini bekerja sebagai software engineer di perusahaan perantara penginapan Airbnb dan berkantor di San Francisco.

Jonathan Mailoa, absolute winner dan peraih medali emas dalam IPhO 2006, kuliah di MIT hingga mendapat gelar doktor, kini bekerja sebagai peneliti di Robert Bosch Research & Technology Center, Massachusetts. Ada pula yang kuliah dan berkarier di Indonesia, seperti Triwiyono. Dia berkuliah di Jurusan Farmasi Universitas Gadjah Mada, dan kini bekerja di Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Rangga masih ‘setia’ dengan fisika. Setelah meraih gelar doktor fisika dari University of Maryland, sejak April 2016 dia bekerja sebagai peneliti di grup Superconducting Quantum Circuit, NTT Basic Research Laboratories, Atsugi, Jepang. “Bidang risetnya hampir sama dengan riset waktu di Maryland,” kata Rangga. Di Maryland, riset Rangga berkaitan dengan superconducting quantum bits (qubit). “Qubit adalah komponen penting untuk komputer kuantum. Sekarang banyak perusahaan, Google, Intel, Microsoft, IBM, dan grup riset, yang sedang berusaha membuat komputer kuantum, baik dengan superkonduktor, semikonduktor, atau trapped ion.”

Bagi anak-anak pintar dan juara olimpiade seperti mereka, banyak kampus top dunia yang selalu siap menampung dan memberikan beasiswa. Tak mengherankan jika tak sedikit alumni TOFI kini sudah menyandang gelar doktor dan bekerja bertebaran di luar negeri. Oki Gunawan, anggota TOFI angkatan pertama, punya gelar doktor teknik elektro dari Universitas Princeton dan sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi peneliti di IBM Thomas J Watson Research Center, New York.

Tentu baik sekali jika ilmuwan-ilmuwan top Indonesia pulang. Tetapi menurut saya, saat ini belum perlu untuk di-push.

Halim Kusumaatmaja, alumni TOFI dan profesor fisika di Universitas Durham, Inggris

Andreas Dwi Maryanto, alumni Tim Olimpiade Matematika Indonesia
Foto: dok. pribadi

Jangankan suka, di mata banyak anak sekolah, fisika dan matematika sama sekali bukan hal yang menarik. Tapi tidak bagi Andreas Dwi Maryanto Gunawan. Jika ada orang bertanya bagaimana dia bisa suka matematika, bagi dia, pertanyaan itu sama seperti, ‘Mengapa kamu suka makan nasi?’. Dari kecil, kata Andreas, dia memang sudah suka pada angka-angka. “Mungkin salah satu faktor yang membuat saya suka matematika waktu saya kecil adalah karena, di matematika, kita tidak perlu menghafal terlalu banyak. Kita cukup mengerti saja. Dan waktu menjawab pertanyaan, tinggal pakai logika,” dia menuturkan.

Sejak masih di bangku SMP di Kota Malang, Jawa Timur, Andreas sudah rajin ikut lomba matematika dan sains. Dia masih kelas III SMPK Kolese Santo Yusup 2 saat sekolahnya mengirim dia mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN). Dia meraih medali emas di OSN 2006 dan dipanggil mengikuti seleksi Tim Olimpiade Matematika Indonesia (TOMI). Andreas dua kali mewakili Indonesia di ajang Olimpiade Matematika Internasional (IMO). Pada IMO 2008 di Madrid, Spanyol, Andreas mendapat medali perak. Setahun kemudian, Andreas pulang dengan medali perunggu dari IMO 2008 di Bremen, Jerman.

Lulus dari SMA, dia mendapat beasiswa kuliah di Jurusan Fisika Universitas Nasional Singapura (NUS). Baru setahun kuliah, Andreas memutuskan pindah jurusan. Dia pilih matematika terapan. Setelah mendapat gelar sarjana, dia melanjutkan kembali kuliah doktoral di NUS dengan jurusan matematika dengan spesialisasi komputasi biologi. Dia menuntaskan disertasi doktoralnya pada Januari 2018 dan sekarang bekerja sementara sebagai asisten riset di NUS.

Ada dua topik penelitian Andreas. Yang pertama tentang bagaimana membuat model matematika untuk menjelaskan sejarah evolusi spesies di dunia. “Ini tidak mudah, karena adanya proses-proses biologis, seperti rekombinasi gen dan hibridisasi,” kata Andreas. Di penelitian kedua, dia mempelajari interaksi gen dan protein yang ada di tubuh manusia. “Contohnya, bagaimana memprediksi gen penyebab kanker atau gen yang khusus bekerja di jaringan tertentu saja.”

Indonesia sudah mengirimkan tim ke IMO sejak 1988. Sudah ada ratusan alumni Tim Olimpiade Matematika Indonesia. Serupa alumni TOFI, banyak anak pintar alumni TOMI berkuliah dan bekerja di luar negeri. Lukito Muliadi, peraih medali perunggu di IMO dan alumni TOMI 1995, lulus dari Purdue University dan University of California, Berkeley, kini bekerja sebagai senior design manager di Apple dan berkantor di Cupertino. Sie Hendrata Dharmawan, yang meraih medali perak pada IMO 2001, menuntaskan sarjana dan S-2 Computer Science & Engineering di MIT. Francisca Susan, yang mewakili TOMI dari 2012 hingga 2014, sekarang berkuliah di jurusan matematika MIT.

Halim Kusumaatmaja, profesor fisika di Universitas Durham, Inggris
Foto: dok. pribadi

Tak terang benar ada berapa banyak orang pintar dari negeri ini yang berkuliah di negeri orang dan akhirnya mengejar karier di luar negeri. Di Amerika Serikat saja, menurut Deden Rukmana, profesor di Savannah State University dan Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4), ada 89 warga Indonesia bergelar doktor yang menjadi profesor di pelbagai kampus di negeri itu.

“Kita tidak bisa menghalangi anak-anak unggul Indonesia mendapatkan kesempatan bersekolah di luar negeri. Ini kesempatan baik buat mereka dan kita pun mestinya melihat mereka sebagai komponen bangsa yang suatu saat akan berbuat banyak untuk Indonesia,” kata Deden beberapa pekan lalu. Meski bersekolah dan bekerja di luar negeri, tak serta-merta mereka lupa pada negerinya. “Pengamatan saya selama ini menunjukkan bahwa diaspora ilmuwan Indonesia akan dengan senang hati berbuat untuk kemajuan Tanah Air sejauh ada media bagi mereka untukk berkiprah.”

Diaspora ilmuwan Indonesia akan dengan senang hati berbuat untuk kemajuan Tanah Air."

Apa boleh buat, kita mesti mengakui, penguasaan sains teknologi dan penelitian di Indonesia memang masih jauh tertinggal dari negara-negara maju. Tak usah bicara soal penghasilan. Di Amerika Serikat, rata-rata gaji untuk peneliti pemula yang baru lulus program doktor berkisar US$ 50 ribu atau hampir Rp 700 juta per tahun, lebih dari Rp 50 juta per bulan. Alokasi dana untuk riset di negeri ini juga kalah jauh dari negara-negara maju. Mengutip data dari Bank Dunia pada 2013, alokasi dana untuk riset Indonesia hanya 0,08 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Bandingkan dengan Israel dan Korea Selatan. Dua negara ini mengalokasikan hampir 5 persen dari GDP-nya untuk riset.

Menurut data dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan (UNESCO), besar dana riset China kini hanya kalah dari Amerika Serikat. Total dana riset China sebesar US$ 370 miliar atau Rp 5.154 triliun dalam setahun, nomor dua setelah Amerika Serikat sebesar US$ 479 miliar atau Rp 6.673 triliun setahun. Sementara itu, dana riset Indonesia dalam setahun hanya US$ 2 miliar, kurang dari seperduaratus dari dana riset Amerika. Infrastruktur penelitian di negara maju, seperti Amerika, menurut Deden Rukmana, sudah sangat kuat dan terintegrasi dengan industri dan dunia usaha.

Walhasil, jika anak-anak pintar Indonesia itu ‘dipaksa’ pulang kampung, mungkin malah bakal sulit berkembang. “Tentu baik sekali jika ilmuwan-ilmuwan top Indonesia pulang. Tapi menurut saya, saat ini belum perlu untuk di-push,” kata Halim Kusumaatmaja, alumni TOFI dan profesor fisika di Universitas Durham, Inggris. Apalagi jumlah dan kualitas diaspora ilmuwan Indonesia di luar negeri, menurut Deden Rukmana, juga masih kalah dari ilmuwan-ilmuwan asal China, Korea Selatan, atau India.


Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE