INTERMESO

Tinggalkan
Kuliah Master
demi Jadi Petarung

"Jangan banyak-banyak latihannya. Kami menyekolahkan kamu biar bisa jadi ini-itu. Begitu kata orang tua. Mereka tidak senang lihat aku jadi atlet.”

Inandya Citra
Foto: dok. pribadi via Instagram

Selasa, 5 Juni 2018

Teng… teng…. Bunyi bel terdengar dari telepon seluler milik instruktur Brazilian jiu-jitsu Jakarta Muay Thai MMA Training Camp di kawasan Jakarta Selatan. Tiga pasang atlet tanpa buang waktu segera bergelut di atas matras. Banjir keringat membasahi matras. Dengus napas mereka memenuhi ruang latihan, tak bisa disamarkan oleh alunan musik berirama cepat yang keluar dari ponsel. Masing-masing atlet memperagakan teknik-teknik kuncian yang mereka kuasai.

Tiap tiga menit, mereka berganti pasangan. Tak ada batas antara atlet perempuan dan laki-laki. Sedang seru-serunya para atlet ngotot saling mengunci, Inandya Citra, salah seorang petarung bela diri campuran (mixed martial arts/MMA) profesional, mengendurkan jepitan tangan pada leher pasangannya. Tangannya mengusap mata seperti kelilipan. Ia melihat pelipis kawan latih tandingnya terluka dan mengeluarkan darah. "Sepertinya kena tulang pipi gue," ujar Citra sambil menyeka peluh yang membanjiri wajahnya. Latihan akhirnya berhenti sesaat untuk membersihkan dan mengobati luka.

Citra adalah satu-satunya petarung perempuan profesional yang berlatih di Jakarta Muay Thai MMA Training Camp. "Luka seperti itu lazim kalau sedang latihan olahraga kontak fisik macam ini," kata Citra kepada detikX, yang menyaksikan latihannya pada Rabu dua pekan lalu. Petarung berusia 29 tahun ini awalnya merupakan atlet bela diri muay Thai. Ia mengaku agak terlambat terjun ke dunia gebuk-menggebuk. Adiknyalah yang mengenalkannya dengan muay Thai saat usianya sudah menginjak 21 tahun. "Saya dulu tidak punya olahraga, jadi ya kayak princess banget."

Inandya Citra (kanan)
Foto: dok. pribadi via Instagram

Sebenarnya sejak kecil Citra terobsesi menjadi atlet profesional. Namun kedua orang tuanya tak menghendaki putrinya memilih jalan itu. Bagi ayah dan ibunya, atlet bukan sebuah profesi yang menjanjikan. "Orang tua melihat olahraga itu buat hobi saja. Jadi mereka memang tidak membuka jalan bagi aku untuk jadi atlet," ujar Citra. "Karena itu, dari kecil aku memang nggak pernah olahraga." Izin untuk ikut olahraga baru keluar ketika ia sudah menginjak bangku kuliah. Kebiasaannya nongkrong, bahkan merokok, membuat orang tuanya berpikir ulang. "Orang tua mulai dukung aku olahraga, biar aku ada kegiatan lain."

Awalnya Citra bergabung dengan Baan Muay Thai Club di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Mendapat kesempatan, Citra menekuni muay Thai dengan serius. Sesekali perempuan yang kini mengecat sebagian rambutnya dengan warna biru itu mencoba masuk ring untuk bertanding. "Biar nggak bosan latihan terus," katanya. Tak tanggung-tanggung, dia mengejar kejuaraan sampai ke Thailand. Ia pernah menjajal Muay Thai Pro Fights kelas Belt-Light Flyweight Champion di Thailand pada 2011. Pada tahun yang sama, ia juga ikut kejuaraan yang digelar di Singapura.

Meski sangat serius berlatih, bahkan bertanding, Citra tak melupakan kuliahnya. Ia bahkan sempat meninggalkan ring muay Thai untuk menyelesaikan studinya di Jurusan Rekayasa Biomedis (Biomedical Engineering) di Swiss German University, Serpong, Banten. Salah satu hasil penelitiannya bersama Pratondo Busono, peneliti dari Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang berjudul ‘Analysis of Human Skin Texture Using Image Processing Technique’ dipresentasikan dalam Seminar Nasional Informasi Indonesia pada 2013. Penelitian itu bahkan masuk dalam jurnal Departemen Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.

Kalau pengin jadi atlet fokus di situ, nggak usah pakai kuliah karena akan buang-buang waktu atau pilih sebaliknya.”

Inandya Citra, petarung MMA, menirukan dosennya

Inandya Citra bersama calon lawannya, Linda Darrow
Foto: dok. pribadi via Instagram

Dunia riset rupanya tak mampu mengikis ‘candu’ adrenalin yang dirasakannya setiap kali baku tendang di arena muay Thai. Candu itulah yang menyeret Citra kembali ke ring muay Thai. Setelah resmi menyandang gelar sarjana, Citra kembali berlatih dan kembali bertarung di arena muay Thai. Saat tahu Citra bertanding muay Thai, orang tuanya kembali menunjukkan rasa tidak suka. "Jangan banyak-banyak latihannya. Kami menyekolahkan kamu biar bisa jadi ini-itu. Begitu kata orang tua. Mereka tidak senang lihat aku jadi atlet," kata Citra.

Citra akhirnya disekolahkan kembali. Orang tuanya mendaftarkannya di Universitas Prasetiya Mulya Program Master Manajemen Bisnis. Tapi Citra tak mengendurkan aktivitas latihannya. Sampai suatu saat seorang dosen memanggilnya. Ia diminta memilih antara kuliah dan menjadi atlet. "Semua mahasiswa kami itu serius. Kalau pengin jadi atlet fokus di situ, nggak usah pakai kuliah karena akan buang-buang waktu atau pilih sebaliknya," ujar Citra menirukan dosennya. Tak sampai setahun berkuliah, Citra menanggalkan status sebagai mahasiswa. Tekadnya sudah bulat menjadi atlet bela diri.

Terdorong ingin membuktikan pilihan hidupnya tak salah, Citra bekerja keras dengan melahap program latihan berat tiap hari. Ia kemudian bergabung dengan Jakarta Muay Thai MMA TC dan beralih mendalami bela diri Brazilian jiu-jitsu. "Aku cari kompetisi sebanyak-banyaknya biar aktif terus," katanya. Citra mengikuti kejuaraan tarung bebas pertamanya pada kejuaraan Indonesian Badass Championship (IBC) Unlocked.

Jadwal bertarung di ring heksagon ditetapkan pada April 2016. Baru dua bulan berlatih mempersiapkan diri, Citra terserang penyakit flu Singapura. Butuh waktu sebulan bagi Citra untuk pulih dan kembali berlatih. Cobaan kembali datang pada bulan terakhir persiapan. Ia malah tumbang dihajar demam berdarah. "Aku baru pulih seminggu sebelum tanggal pertandingan," katanya. Sembuh dari penyakit tak berarti fisiknya kembali normal. "Habis kena demam berdarah, rasanya otot hilang semua. Tapi, daripada kena penalti kalau mundur, aku bilang ya maju saja."

Inandya Citra dalam sebuah pertandingan 

Foto: dok. pribadi via Instagram

Citra harus bekerja keras memulihkan kondisi fisiknya dalam waktu singkat. Rupanya itu tak cukup. Ia takluk saat menghadapi Linda Darrow, petarung asal Han Academy, Solo, Jawa Tengah. Tahun berikutnya Citra terjun ke kejuaraan One Pride. Pertarungan awalnya pada Maret 2017 melawan Vita Nopanti, di kelas Straw. Kali ini ia berhasil menang dengan teknik cekikan di leher pada ronde pertama. Petarung dari Jakarta ini juga berhasil melewati pertandingan kedua dengan mengalahkan Defiantri Liatahi pada akhir April 2017 untuk melaju ke partai final.

Citra akhirnya kembali kalah saat melawan Linda Darrow di partai puncak. "Semua lawanku berat, ada yang pukulannya kencang, ada yang tenaganya besar," katanya. "Tapi lebih berat kalau kena penyakit."

Belakangan, Citra akhirnya mendapat restu orang tuanya. Selain menjadi atlet, Citra menjadi pelatih bela diri. "Saya juga jadi stuntwoman karena suka pada koreografi," katanya. Banyak juga orang yang mencibirnya dengan mengatakan lebih cocok jadi pemeran pengganti daripada seorang petarung. "Kata orang, jiwaku itu tidak bisa semarah kayak orang-orang lain yang lagi fight. Ya mungkin ada benarnya juga. Aku memang saat di ring pengin nunjukin skill, teknik."

Bagi Citra, Linda Darrow merupakan lawan di atas ring, tapi juga sekaligus sahabat sebagai sesama petarung perempuan. Linda mengatakan mereka berdua pernah berbagi impian sama-sama ingin meraih kesuksesan di dunia seni bela diri campuran. Pertemuan keduanya di partai final One Pride Mei 2017 bagi Linda adalah pertarungan yang mengesankan. Linda mengakui Citra merupakan petarung yang kuat dan cerdas. "Membuat saya banyak belajar menghadapi seorang grappler. Kami adalah sahabat, tapi kami juga harus berjuang untuk impian kami masing-masing," ujar Linda.


Reporter/Redaktur: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Habib Rifai

[Widget:Baca Juga]
SHARE