Ilustrasi: Edi Wahyono
Senin, 7 Mei 2018Inilah santri ‘zaman now’. Meski namanya santri, Abdul Wahab tak melulu bergumul dengan kitab-kitab kuning, mengaji sepanjang hari. Santri di Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Jember, Jawa Timur, ini juga sangat gaul dengan teknologi.
Saat duduk di tingkat terakhir SMA Nuris Jember, ia mengikuti Instrumentations and Control National Competition (Iconic) di Institut Teknologi Bandung. Untuk lomba tersebut, Wahab bersama dua kawannya menciptakan sebuah alat penentu kelamin ayam sekaligus penetas telur ayam. Sayangnya, alat yang dinamai D’tronicgator itu belum bisa menjadi yang terbaik.
Gagal menjadi yang terbaik tak membuat santri Ponpes Nuris ini lantas patah hati pada dunia teknologi. Niatnya menjadi insinyur justru semakin membara. Suatu ketika, tim dari Yayasan Indonesia Tiongkok Culture Center (ITCC) datang mengenalkan beberapa program belajar di sejumlah kampus di negeri China.
Wahab langsung tertarik ketika mendengar ada program kuliah sambil magang yang ditawarkan beberapa kampus. "Saya menyukai elektronika. Saya melihat, di Tiongkok, bidang elektronika itu berkembang sangat bagus. Ya sejalur dengan cita-cita saya," ujar Wahab kepada detikX, Selasa lalu.
Pilihannya pun jatuh pada jurusan teknik elektro di Guilin University of Technology. Guilin terletak di bagian timur laut kawasan otonomi Guangxi Zhuang. Selain kampus teknologinya, kota tersebut terkenal akan keindahan alamnya. Wahab tak berangkat sendiri dari Ponpes Nuris. Kawan seangkatannya bernama Irfan Maulana Ahsan turut bergabung menuju Guilin. "Kami berdua angkatan pertama yang berangkat ke China dari Ponpes Nuris," kata Wahab. Sama seperti Wahab, Irfan memilih jurusan teknik elektro.
Abdul Wahab, mahasiswa Guilin University of Technology
Foto: dok. Yayasan ITCC
Setelah mendapat pembekalan bahasa Mandarin selama lima bulan di Surabaya, Wahab dan Irfan berangkat ke Guilin pada akhir November 2017. Program kuliah plus magang yang dipilihnya mewajibkan Wahab bekerja di sebuah grup perusahaan elektronika yang salah satu bidang usahanya merakit laptop dengan merek Lenovo.
"Saya sengaja memilih program ini agar bisa lebih mandiri," kata Wahab. Dalam seminggu, aktivitasnya dibagi dua, yakni kerja dan kuliah. "Sekian hari magang, selebihnya buat kuliah."
Untuk memudahkan para mahasiswa yang mengambil program kuliah plus magang itu, perusahaan menyediakan asrama. Wahab tak perlu mengeluarkan duit sepeser pun untuk tempat tinggalnya tersebut. "Saya hanya bayar listrik karena setiap kamar punya meteran sendiri-sendiri," ujar pemuda kelahiran Juni 1999 itu. Sebenarnya kampus tempat Wahab belajar juga menyediakan asrama untuk mahasiswanya. Namun Wahab memilih tinggal di fasilitas asrama milik perusahaan. "Untuk memudahkan saja, kerja masuknya jam 8 pagi, kuliah agak lebih siang. Sedangkan perjalanan dari perusahaan ke kampus sekitar sejam."
Tak hanya pengalaman yang didapatkan Wahab selama magang, ia pun mendapatkan honor. Meski tak menyebut nilainya, ia mengaku jumlahnya lumayan besar. Selain dipakai untuk membayar uang kuliah, Wahab masih bisa menabung dari honornya tersebut. "Saya bahkan masih bisa kirim uang ke rumah untuk bantu biaya sekolah adik," katanya. Wahab berasal dari keluarga sederhana. Selama ini kehidupan keluarganya bergantung pada penghasilan ayahnya, yang bekerja sebagai petani di Desa Sumbersalak, Ledokombo, Jember.
Wahab bertekad menyerap ilmu elektronika sebanyak-banyaknya di negeri China. Peraih gelar juara III lomba robotika tingkat SMA se-Jawa-Bali pada 2015 itu punya angan-angan sederhana setelah menuntaskan masa kuliahnya. "Saya ingin menyempurnakan D'tronicgator biar bisa dimanfaatkan masyarakat peternak ayam di Indonesia," ujarnya.
Abdul Wahab berada di depan kampus 4 Guilin University of Technology
Foto: dok. pribadi
Kami sampai minta kepada dosen mata kuliah tersebut mengganti jam kuliah agar kami bisa Jumatan. Alhamdulillah, dia mengerti."
Nur Musyaffak, alumnus Universitas Huaqiao di Xiamen, ChinaHampir 90 persen siswa dari Jawa Timur yang diberangkatkan Yayasan ITCC ke China, menurut Koordinator ITCC Andre So, merupakan didikan pondok pesantren. Selain Pondok Nuris di Jember, Pesantren Genggong di Probolinggo, Pesantren Lirboyo di Kediri, serta Pondok Pesantren Nurul Jadid di Probolinggo juga aktif mengirimkan santri. "Kalau dari luar Jawa ada Pesantren Nurul Ikhlas di Sumatera Barat," ujar Andre.
Salah satu santri Nurul Jadid yang pernah kuliah di Universitas Huaqiao di Kota Xiamen, Provinsi Fujian, adalah Nur Musyaffak. Pemuda asal Bangkalan, Madura, ini terbang ke Negeri Panda pada 2012. Ia mendapat beasiswa untuk program pendidikan bahasa Mandarin. Jalannya untuk pergi ke China tak semudah mendapat beasiswa.
Restu ibunya tak kunjung turun. Sang ibu khawatir Musyaffak akan terpengaruh ideologi komunis. "Tapi mbak saya paksa saya tetap berangkat," ujarnya kepada detikX. Berkat bujukan sang kakak, ibunya akhirnya luluh. "Mbak bilang dapat kesempatan sekolah di luar negeri itu tak mudah. Apalagi dapat beasiswa."
Keyakinannya bertambah bulat saat para kiai pengasuh di ponpes turut mendukung. "Di sana harus terus menjaga akhlak walaupun mereka itu nonmuslim. Tunjukkan akhlak baik kepada mereka," ujar Musyaffak menirukan pesan para kiai. Empat tahun lamanya Musyaffak menuntut ilmu di kampus tersebut.
Banyak kesan yang didapatkannya, terutama soal ibadah. Masjid terdekat dari kampus harus ditempuh dalam satu jam perjalanan menggunakan kereta bawah tanah. Persoalan datang ketika ada jadwal kuliah bentrok dengan waktu salat Jumat. "Kami sampai minta kepada dosen mata kuliah tersebut mengganti jam kuliah agar kami bisa Jumatan. Alhamdulillah, dia mengerti," Musyaffak menuturkan. Begitu juga ketika tiba hari raya Idul Fitri. Para mahasiswa Indonesia ini harus berkompromi dengan realitas yang sama sekali berbeda dengan di Tanah Air.
Nur Musyaffak saat di Tembok Besar China
Foto: dok. pribadi
"Kalau jatuh pada hari kerja, kuliah tetap berjalan seperti biasa," ujar Musyaffak. Ia dan kawan-kawannya akhirnya sepakat meminta izin satu hari penuh kepada kampus untuk tidak mengikuti perkuliahan pada hari pertama Idul Fitri. "Selama saya di sana, kami selalu diizinkan. Sehari full kami meliburkan diri."
Musyaffak kembali ke Probolinggo pada 2016. Begitu sampai di Indonesia, godaan datang kepadanya. Sebuah perusahaan China menawarkan pekerjaan sebagai penerjemah. Ia diiming-imingi gaji yang menggiurkan dan terbilang besar untuk ukuran Jawa Timur. "Nilainya sekitar Rp 10 juta," katanya. Namun Musyaffak teringat janjinya sebelum berangkat. "Saya bilang, kalau nanti pulang, siap bantu di Nurul Jadid sebagai pengabdian."
Janji itu membuatnya tetap bertahan di pondok yang membesarkannya. Kini Musyaffak mengajar sebagai guru bahasa Mandarin di SMA Nurul Jadid. Ia juga memimpin organisasi Ikatan Keluarga Alumni Tiongkok (IKAT) Nurul Jadid sejak Agustus tahun lalu.
Sekretaris Ponpes Nurul Jadid, Faizin Syamwil, menuturkan program pengajaran bahasa Mandarin di SMA Nurul Jadid sudah berlangsung 20 tahun. Prediksi China akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia menjadi salah satu pertimbangan. "Ada peluang yang bisa dimanfaatkan kalau menguasai bahasa Mandarin," kata Faizin.
Masa itu, Ponpes Nurul Jadid meminta bantuan sebuah kelenteng di Probolinggo untuk mendidik beberapa guru. Sampai suatu ketika pada 2010 salah seorang santri berhasil menjadi salah satu pemenang dalam lomba bahasa Mandarin yang diselenggarakan sebuah lembaga. "Santri ini akhirnya dapat beasiswa dari lembaga itu untuk kuliah di China. Mulai dari situ, tiap tahun ada santri yang berangkat ke China."
Jumlah santri yang berangkat dari Nurul Jadid tiap tahun terus bertambah. Tak hanya santrinya, Nurul Jadid juga merekomendasikan sejumlah siswa dari beberapa pesantren dan sekolah di Jawa Timur untuk berangkat ke Tiongkok. "Mereka siswa sekolah binaan Nurul Jadid untuk bahasa Mandarin." Kini siswa Nurul Jadid tak hanya belajar bahasa Mandarin di China, bahkan terakhir, ada sembilan santri Nurul Jadid mengambil jurusan kedokteran di sejumlah kampus di Tiongkok.
Meninggalkan pesantren, bukan berarti para santri tersebut dilepas begitu saja oleh pengasuh pesantren. Memanfaatkan bantuan teknologi, pihak pesantren terus memantau dan mengontrol perkembangan mereka di China, termasuk gaya hidup dan perilaku. "Meski di negeri orang, tradisi maulid, istigasah, upacara 17 Agustus kecil-kecilan kami minta tidak mereka tinggalkan. Supaya jati diri mereka sebagai santri tidak hilang. Kami selalu minta foto atau video dari mereka," ujar Faizin. Setelah kembali ke Indonesia, sarjana-sarjana lulusan China ini pun punya kewajiban kembali ke pesantren. "Beberapa hari mendapat bimbingan lagi dari pengasuh, baru keluar. Jadi tidak dilepas begitu saja."
Nur Musyaffak saat mengunjungi makam sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqqash, di Guangzhou
Foto: dok. pribadi
Jumlah santri yang berangkat dari Nurul Jadid tiap tahun semakin banyak. Tak hanya santrinya, Nurul Jadid juga merekomendasikan sejumlah siswa dari beberapa sekolah dan pesantren di Jawa Timur untuk berangkat ke China. "Mereka siswa dari sekolah binaan Nurul Jadid untuk bahasa Mandarin," kata Faizin. Sementara di awal-awal santri Nurul Jadid hanya masuk program pendidikan bahasa Mandarin, kini lebih beragam. Terakhir ada sembilan siswa yang mengambil jurusan kedokteran di sejumlah perguruan tinggi di China.
Minat siswa Indonesia belajar di Negeri Panda dari tahun ke tahun memang mengalami peningkatan. Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia Priyanto Wibowo mengatakan salah seorang alumnus menyebut pada 1995 jumlah mahasiswa Indonesia yang terdata hanya puluhan. Menurut informasi dari Kementerian Pendidikan China, tahun ini jumlah mahasiswa asal Indonesia bisa 12-13 ribu. "Sebagian besar kuliah dengan biaya sendiri," ujar Priyanto ketika dihubungi detikX. "Tapi kuota beasiswa untuk siswa Indonesia juga naik."
Luluk Ariska, 21 tahun, gadis berhijab asal Bondowoso, Jawa Timur, salah satu penerima beasiswa itu. Luluk kuliah jurusan Ekonomi Internasional dan Perdagangan di Universitas Sains dan Teknologi Tianjin, berangkat ke Tiongkok dengan beasiswa penuh dari pemerintah kota Tianjin. Menurut Luluk, sama sekali tak susah mendapatkan beasiswa ke Cina. "Tidak susah, hanya harus sabar karena banyak berkas yang mesti diurus," ujar Luluk. Sebelum terbang ke Tianjin, Luluk sempat belajar bahasa Mandarin di satu kampus swasta di Surabaya. Di kampusnya, dia menyaksikan sendiri bagaimana negeri itu bisa berlari kencang yakni kegigihan. "Perpustakaan dan kelas yang tak terpakai selalu penuh oleh mahasiswa yang belajar."
Reporter/Redaktur: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim