INTERMESO

Tukang-tukang Ojek Dikejar Tenggat

“Kami tidak pernah menganggap penonton bodoh.
Semua penonton pintar, makanya kami nggak
pernah bikin produksi asal-asalan.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 14 April 2018

Di ujung jarinya, Sokat Rachman punya kuasa besar. Jika dia sudah duduk di depan laptop MacBook Air miliknya, Sokat bisa menentukan ‘mati-hidup’ orang. Jika dia mau, bukan hal yang sulit baginya untuk ‘menamatkan hidup’ Dessy, Tisna, Mpok Tati, atau Rojak. Tentu saja hal itu tak terjadi di dunia nyata, melainkan di atas kertas skenario sinetron komedi yang digarap Sokat.

Sudah tiga tahun Sokat bersama tiga penulis lain di bawah payung Aris Nugraha Production menggarap naskah skenario sinetron Tukang Ojek Pengkolan (TOP). “Saya setiap hari bisa membuat cerita seperti ini berasa kayak punya tangan Tuhan,” ujar Sokat, 42 tahun, bercanda saat ditemui detikX beberapa waktu lalu. Sejak tayang perdana di satu stasiun televisi swasta pada April 2015, sinetron kisah para tukang ojek ini sudah lebih dari 1.000 episode.

Tak salah jika Sokat mengibaratkan profesinya bak punya tangan Tuhan. Sebab, hidup-mati karakter berada di tangan Sokat dan tiga penulis lain yang turut menggarap TOP. Meski wajahnya tak muncul di layar kaca, dan dia sangat jarang datang ke lokasi pengambilan gambar, setiap kali berkunjung ke lokasi syuting di Jalan Karang Tengah Raya, Jakarta Selatan, Sokat selalu mendapat sambutan hangat.

Mulai kru produksi hingga pemain menyalami tangannya satu per satu. Kunjungan itu hanya ia lakukan jika ada pertemuan penting dengan produser dan sutradara. Sebab, pekerjaan menulis biasa Sokat lakukan di rumah. Kesempatan langka tak disia-siakan para pemain untuk lebih akrab dengan si empunya cerita.

Salah satu adegan sinetron Tukang Ojek Pengkolan
Foto: dok. Aris Nugraha Production via Instagram

“Penulis punya beban untuk membagi adegan secara adil dan tersebar. Kalau kami nggak mainin satu atau dua orang nih, berarti kami tidak menafkahi mereka, dong,” bapak dua anak ini menuturkan. Tak sedikit orang tua merayu Sokat agar anaknya mendapat lebih banyak kesempatan dalam adegan TOP. “Tapi, masalahnya sekarang, setiap pemain punya rating, siapa yang rating-nya bagus akan tayang terus. Kalau rating-nya berkurang, bisa nggak dimunculkan dulu atau bahkan dihilangkan sama sekali.”

Ketika Sokat bergabung dengan tim Aris Nugraha Production, awalnya sinetron TOP hanya akan dibuat 60 episode. Ternyata respons penonton di luar dugaan. Kini TOP menjadi salah satu sinetron unggulan yang punya rating bagus dan tentu saja mendatangkan banyak fulus. Manis fulus dari TOP menetes pula ke kru dan pemain. Belum lama ini, 172 kru dan pemain Tukang Ojek Pengkolan diberangkatkan umrah ke Tanah Suci.

Setelah menembus 1.000 episode pada Januari 2018, sekarang TOP mengejar target lebih tinggi, yakni mengalahkan sinetron Tukang Bubur Naik Haji, yang masih menyandang rekor sebagai sinetron dengan jumlah episode terpanjang di Indonesia, yakni mencapai 2.185 episode.

Seperti halnya dua sinetron panjang Tukang Bubur Naik Haji dan Bajaj Bajuri, TOP tidak menyajikan kisah-kisah fantastis dengan konflik cinta segilima yang membuat kepala penonton pening. Tidak pula memajang cowok-cowok ganteng, gadis-gadis cantik, dan berderet-deret mobil mewah. TOP mengambil latar sebuah kampung yang berada di belakang gedung-gedung perkantoran Jakarta.

Ceritanya sederhana, menampilkan kisah keseharian pasangan muda Rojak, yang bekerja sebagai tukang ojek pangkalan, dan istrinya, Tati. “Cerita kami itu dialami setiap orang di rumah. Mulai sakit gigi, pompa rusak, susahnya cari kerja, sampai sakit pinggang. Kami bikin cerita yang simpel tapi dengan penyampaian yang menarik,” kata Sokat.

Saya nggak mau bergabung ketika tayangan itu jelek dan nama saya ada di situ."

Sokat Rachman, penulis skenario Tukang Ojek Pengkolan

Sokat Rachman
Foto: dok. pribadi via Instagram

Meski berangkat dari kisah-kisah sepele sehari-hari, proses pengerjaan TOP tidak semudah yang dikira. Terutama karena TOP harus kejar tayang, harus muncul di layar televisi setiap petang hampir setiap hari. Walhasil, Sokat dan tiga temannya harus benar-benar memeras otak agar bisa menulis naskah berbeda setiap kali tayang. Mereka harus pintar-pintar mengatur waktu dan berbagi tugas. Biasanya masing-masing penulis diberi waktu 48 jam untuk mengerjakan satu episode, yang mencakup sinopsis, story line, scene plot, dan skrip. Ritme kerja semacam ini bisa mendadak berubah lebih ekstrem jika jam tayang TOP dimajukan.

“Konsekuensinya ya terkadang saya harus kerja begadang walaupun nggak setiap hari. Soalnya, kami bikin cerita harus lucu. Kalau lagi mentok, saya tinggal tidur dulu. Itu pun tidur nggak tenang. Soalnya, tidur berasa sambil mikir,” Sokat menuturkan suka-duka menulis naskah sinetron kejar tayang. Meski hampir setiap saat dikejar tenggat, dia mengerjakannya dengan hati enteng. Apalagi dia sudah lumayan berpengalaman jungkir balik memenuhi tenggat ala TOP. “Saya mah santai saja dikejar deadline karena saya mendedikasikan hal itu sebagai bagian dari pekerjaan saya.”

Apalagi dia memang bukan ‘anak kemarin sore’ di dunia penulisan naskah sinetron. Sokat bergabung dengan Aris Nugraha sejak 2005. Sebelum ikut tim TOP, Sokat terlibat dalam pengerjaan naskah sinetron The Coffee Bean Show, yang tayang di TransTV. Lulus sebagai sarjana sastra Inggris dari satu kampus di Tangerang, Banten, Sokat belajar menulis skenario lewat Kursus Pengetahuan Umum Sinematografi Plus dan Penulisan Skenario Film di Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jakarta.

Sebagai penulis naskah sinetron, salah satu tantangan besar yang dihadapi Sokat adalah menyajikan ide segar dan lucu setiap hari. Jika tak ada ide di kepala, dia tak jauh-jauh mencari sumber inspirasi. Tinggal nongkrong di warung kopi atau warung Tegal. Ditemani secangkir kopi atau sepiring gorengan, Sokat bisa menggali cerita lewat obrolan santai ngalor-ngidul atau bercanda dengan tukang-tukang ojek di dekat rumah.

“Saya aslinya lebih serius. Kalau nggak ngobrol begini, saya pasti lebih banyak diam. Bukannya pendiam, tapi saya lagi mikirin naskah ini mesti bagaimana,” kata Sokat. Sebagai penulis skenario, dia memang tak bisa hanya mengurung diri di kamar. “Sebagai penulis ‘jaman now’, kami yang harus cari ide. Penulis itu setiap hari harus membuka mata hatinya. Apa yang terlewat dan dianggap orang biasa, bagi penulis bisa jadi nggak biasa.”

Sokat Rachman saat berada di Tanah Suci.
Foto: dok. pribadi via Instagram

Dengan hanya empat orang penulis naskah, sungguh tak terbayang bagaimana membuat cerita yang berbeda hingga lebih dari 1.000 episode. Sokat beruntung punya tim yang kuat, disokong pengalaman panjang dan perencanaan yang matang. Melvi Yendra, 43 tahun, salah satu penulis naskah TOP, bersyukur karena empat penulis naskah sinetron kejar tayang ini memiliki komitmen untuk menyelesaikan naskah tepat waktu.

Melvi punya gelar sarjana teknik mesin. Tapi dia senang bekerja sebagai penulis skenario, yang tak perlu ngantor setiap hari. Pekerjaan yang fleksibel membuat Melvi dapat sekaligus menunaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga, suami dan ayah.

“Memang beberapa bulan belakangan ini kadang hari Sabtu atau Minggu nggak dapat libur. Tapi saya kerja bisa di mana saja. Kalau istri minta diantar belanja, ya saya sambil bawa laptop. Antar anak les taekwondo juga sambil kerja. Memang kelihatannya kebangetan, sibuk banget, tapi kenyataannya ya begitu,” ujar Melvi. “Anak saya dua, perempuan. Yang paling tua masih kelas I SD dan yang kecil masih 15 bulan. Jadi sebetulnya keberadaan saya di rumah sangat bermanfaat buat jaga anak.”

Meski harus berkejaran dengan tenggat, menurut pria yang bergabung dengan Aris Nugraha Production sejak 2007 ini, tidak semua rumah produksi sinetron kejar tayang bekerja serampangan. Jika menyinggung tema soal kesehatan atau hal lain, Melvi juga mesti mengerjakan riset kecil untuk memastikan informasinya akurat. Di tim Aris Nugraha Production juga ada beberapa kata yang haram ada dalam naskah mereka, terutama kata-kata kasar yang dapat menyinggung perasaan penonton.

Sokat Rachman (kiri) bersama beberapa kru Tukang Ojek Pengkolan saat berada di Dubai.
Foto: dok. pribadi via Instagram

“Misalnya hal sepele, seperti kata ‘gendut’. Seandainya ada karakter yang gemuk, kata ‘gemuk’ atau ‘gendut’ itu dicoret, diganti dengan kata kelebihan berat badan,” dia menuturkan. Ada pula beberapa kesepakatan lain dalam tim mereka. “Kami tidak ikut dengan tren produksi lain yang suka lelucon slapstick. Kalau bisa, jangan sering kami pakai…. Kami tidak pernah menganggap penonton bodoh. Semua penonton pintar, makanya kami nggak pernah bikin produksi asal-asalan.”

Sokat dan Melvi punya idealisme kurang-lebih sama. Bekerja di industri sinetron televisi acap kali mereka mesti berbenturan dengan sutradara dan produser yang memiliki ‘idealisme’ berbeda. Ketika dipaksa untuk berkali-kali membuat adegan kekerasan demi mengejar rating, Sokat memilih mundur dari pekerjaannya.

“Konsekuensinya ya kami diberhentikan. Nggak jadi masalah,” kata Sokat. Dia lebih suka mundur ketimbang melawan kata hati. “Saya nggak mau bergabung ketika tayangan itu jelek dan nama saya ada di situ. Masih banyak kok yang bagus. Mending saya yang nggak dipakai daripada nggak nyaman di hati.”

Melvi juga pernah mengerjakan sinetron drama yang tak sesuai dengan kata hatinya. Sebagai penulis naskah, akhirnya Melvi mengikuti hati nurani. “Sebagai kreator, yang dipertanggungjawabkan adalah karyanya. Saya nggak ingin seperti bikin pakaian di pabrik konfeksi yang cetak banyak dan langsung jadi,” kata Melvi.


Reporter/Redaktur: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Habib Rifai

[Widget:Baca Juga]
SHARE