INTERMESO

Anak Koto Gadang di Balik Perdamaian Israel-Mesir

"Waktu itu saya seperti punya dua istri. Dua kali seminggu saya pulang pergi naik pesawat atau jalan darat antara Sinai dan Yerusalem"

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 31 Maret 2018

Mundurnya Letnan Jenderal Bengt Liljestrand dari Swedia sebagai Panglima UNEF II membuat Rais Abin ditunjuk sebagai pelaksana tugas pada Desember 1976. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kurt Waldheim memanggilnya ke Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat. 

"Perintah saya cuma satu, ciptakanlah perdamaian," ujar Rais, mantan Wakil Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat, menirukan instruksi Waldheim.

Ketika itu, misi UNEF II untuk melerai pertikaian Mesir-Israel sudah hampir memasuki tahun ketiga. Waldheim meminta terobosan-terobosan khusus untuk mempercepat tercapainya jalan damai. "Kamu (Rais) harus dengan segala cara buat perdamaian di antara dua pemerintahan itu," kata Waldheim. Rais mengatakan kunci perdamaian terletak pada angkatan bersenjata kedua pihak. "Masalah kuncinya ada di militer, kalau bisa berkomunikasi saya yakin pemerintahnya akan mengikuti."

Kembali ke Ismailiyah, Markas Besar UNEF II, Rais bergerak cepat. Ia bertemu dengan pimpinan militer Mesir dan Israel. "Saya tanya apakah ada kemungkinan memperbaiki suasana dengan mengusahakan pembicaraan yang levelnya lebih naik. Keduanya mengatakan tak masalah," uajr Rais. Mendapat jaminan itu, komunikasi antara pimpinan militer dua belah pihak militer semakin diintensifkan. 

Tak mudah untuk melayani dua pihak yang bertikai tersebut. Pihak Israel tak mau kalau Panglima Rais hanya melulu berbicara dengan pihak Mesir. Begitu pula sebaliknya. "Dendam kesumat sudah mendarah daging, apalagi bagi Mesir, yang dalam empat kali peperangan kalah terus," ujarnya. "Waktu itu saya seperti punya dua istri. Dua kali seminggu saya pulang-pergi naik pesawat atau jalan darat antara Sinai dan Yerusalem, hanya ingin melihat agar dua belah pihak mau dialog." 

Rais Abin sedang berbincang dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kurt Waldheim.
Foto: dok. pribadi

Permintaan Jenderal Rais biasanya susah ditolak."

Sabam Siagian, wartawan

Persoalan paling sering terjadi di zona penyangga. Pihak Mesir menuduh Israel sering mengubah garis sempadan. Drum-drum yang dijadikan tanda tapal batas tahu-tahu bergeser. Sementara itu, Israel menuding ada tentara Mesir yang menyelinap ke zona penyangga. "Kami rutin melakukan pertemuan segitiga. Selain menemukan solusi bila ada persoalan, juga menjaga komunikasi terus berjalan." 

Mantan Duta Besar Repubik Indonesia untuk Australia yang juga seorang wartawan, Sabam Siagian, dalam laporan perjalanannya ke Timur Tengah menuliskan seorang perwira penghubung Israel mengakui Rais sebagai sosok yang disegani saat menjalankan tugasnya sebagai pimpinan tertinggi pasukan PBB. "Permintaan Jenderal Rais biasanya susah ditolak," ujar perwira itu seperti yang dilaporkan Sabam untuk harian Sinar Harapan, 22 Agustus 1979. Sedangkan bagi kalangan tentara Mesir, nama Rais saja sudah merupakan jaminan hubungan yang lancar.

Sabam juga melaporkan, rasa hormat pun diberikan perwira-perwira kulit putih yang menjadi staf Jenderal Rais. Tak ada yang meragukan keterampilan militernya. Ijazahnya sebagai tamatan Sekolah Staf dan Komando Australia di Queenscliff, Australia, menjadi jaminan. Saat masih berpangkat letnan kolonel dan berdinas di Makassar pada 1963, Rais bersama-sama dengan Letkol Sarwo Edhie Wibowo mendapat kesempatan tugas belajar di Australia selama 20 bulan.

Saat Waldheim mengunjungi Timur Tengah pada 1978, Rais diundang khusus berbicara empat mata di kamar Waldheim di sebuah hotel di Kairo, Mesir. Rais melaporkan pihak militer dua pihak sudah tak ada masalah untuk mengarah ke perundingan damai yang tingkatannya lebih tinggi. "Cuma saya minta kepada Sekjen harus ada tekanan dari atas pada masing-masing pihak," ujarnya. Rupanya menurut Waldheim, Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat saat itu, telah menyiapkan konsep perdamaian Mesir-Israel. 

Menjelaskan pencapaian misi UNEF II kepada Wakil Sekjen PBB Brian Urquhart (kiri)
Foto: dok. pribadi

Proses perundingan damai akhirnya terwujud pada 5 September 1978 di Camp David, sebuah tempat tetirah Presiden Amerika Serikat, di Taman Gunung Catoctin, Maryland, pinggiran Washington, DC. Dihadiri Presiden Mesir Anwar Sadat, Perdana Menteri Israel Menachem Begin, Carter, dan Presiden Rumania Nicolae Ceausescu. Ternyata perundingan pun berlangsung alot. Butuh 12 hari agar kedua pihak menyepakati isi perundingan itu hingga pada akhirnya dilakukan penandatangan perjanjian final di Gedung Putih pada 26 Maret 1979.

* * *

Rais begitu percaya diri dalam melakukan diplomasi. Ia mengakui salah satu faktor pendukungnya soal bahasa. Bahasa Inggris dikuasainya dengan baik. Kemampuan itu didapat sejak remaja. Saat bersekolah di Sukabumi, Rais bersama seorang kawannya Elmi Yoesoef mondok pada keluarga Inggris, Henderson. Semua bahan bacaan di rumah tersebut berbahasa Inggris. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah tabloid yang terbit tiap triwulan. "Isinya memuat kisah kalangan bangsawan di Inggris," ujar Rais. 

Kefasihan bahasa Inggrisnya pun semakin baik saat ditugaskan Markas Besar Tentara menyelundupkan senjata dari Singapura. Orang kepercayaan Adnan Kapau Gani, Gubernur Militer Sumatera Selatan yang bernama Osman Rahman, menyarankan Rais dan kawan-kawannya mengikuti kursus intensif bahasa Inggris. Tutornya seorang perempuan berdarah campuran Asia-Eropa. "Barang pertama yang saya beli dari kantong sendiri di Singapura itu kamus saku, Collier."

Jenderal kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat, itu juga rajin menonton film-film Amerika atau Inggris yang tentunya tak ada teks terjemahannya ketika berada di Singapura. "Satu-satunya cara bersantai sekaligus memperkaya pemahaman bahasa Inggris," ujar Rais. Salah satu film yang paling berkesan bagi Rais, film dari Inggris berjudul The Great Expectation yang dibintangi Jean Simmons. "Saya juga merasa tertolong karena pernah dapat pendidikan di Australia."    

Upacara penurunan bendera PBB menandai berakhirnya misi perdamaian UNEF II di Sinai
Foto: dok. pribadi

Rais mengakhiri tugasnya di Mesir pada 11 September 1979. Sebelum meninggalkan Ismailiyah, datang kawat telegram dari New York. Waldheim mengirimkan ucapan terima kasih atas pengabdian dan keberhasilan  Rais menyiapkan jalan menuju perundingan damai. "The United Nations owes you a debt of gratitude," demikian kutipan telegram bertanggal 4 September 1979 itu. Wakil Sekjen PBB Brian Urquhart juga menawarinya bertugas di Namibia. Tapi Menhankam/Pangab Jenderal M Yusuf menolak memberi izin. "Cukuplah itu kau naik kuda putih. Sekarang kau bantulah aku di sini," ujar Yusuf.

Sejak itu Rais Abin, yang berpangkat mayor jenderal, menjadi staf pribadi Jenderal Yusuf. Ia mendampingi perjalanan safari Jenderal Yusuf mengelilingi Indonesia. Empat bulan tanpa jabatan, Rais baru diangkat menjadi Asisten Perencanaan Umum Pangab. Lalu menjadi Duta Besar untuk Malaysia pada Agustus 1981, kemudian Dubes untuk Singapura pada 1984. Sampai saat ini,  belum ada lagi perwira asal Indonesia yang memegang jabatan sebagai Panglima Pasukan PBB. 


Reporter/Redaktur: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE